oleh

Kadis Pemukiman Dalam Pelukan Masayu

-Din Bacut-217 views

Pagi itu, udara di pelataran parkir kantor Gubernur Latak Litung masih beraroma solar dan birokrasi. Di pojokan yang nyempil, berdirilah Kedai Kopi Slemon (Sekali Minum Langsung Move0n) milik Dek Yanti, janda mantan TKW Arab yang sukses bukan karena keahlian membuat kopi, tapi karena naluri bisnisnya yang bisa membedakan mana pelanggan biasa dan mana pejabat yang doyan main belakang.

Meja dan kursi di kedainya bukan sekadar perabot, tapi artefak sejarah dari pengadaan fiktif biro perlengkapan. Kayunya masih ada label “Barang Bukti,” dan salah satu meja bahkan bolong bekas rokok Kepala Biro yang kini mendekam di Lembaga pemasyarakatan.

Di meja paling pojok, duduk empat orang, Din Bacut, aktivis separuh pensiun yang lebih sering mengomentari politik lokal dari status medsosnya, Edi Gambreng, wartawaan senior yang lebih kredibel dalam urusan gosip daripada investigasi, Amir Bingut, mantan staf honorer yang dipecat karena terlalu rajin dan Rudi Balakteduh, PNS senior yang selamat dari mutasi karena jago cari angin dan menjilat kaki atasan.

Sambil menyeruput Kopi Slemon,yang terkenal karena pahitnya bisa menyadarkan istri-istri pejabat dari mimpi rumah tangga harmonis, mereka membicarakan satu topik panas, ya tentang Rhomas Bodewin Hutajulung,Kepala Dinas Pemukiman Provinsi Latak litung dan Masayu, tenaga honorer berhijab cantik berwajah selebgram, yang konon sudah lama menjadi ‘mitra kerja’ nonstruktural kadis dalam berbagai hal, terutama membantu persoalan kadis dalam bidang selangkangan.

Kisah ini sebenarnya bukan berita baru. Tapi seperti jembatan rusak yang tidak diperbaiki karena dianggap “tidak terlalu rusak,” skandal ini juga hanya bergema di kedai, tidak pernah sampai ke ruang inspektorat.

Edi Gambreng, yang biasanya memecahkan sunyi dengan suara kunyahan kue cucur kali ini membuka diskusi dengan cerita yang bahkan tidak ia catat di medianya sendiri.

Baca Juga:  Sebelum Penggrebekan Walikota Sudah Lama Pisah Ranjang

Katanya, sejak Rhomas menjabat, Masayu tidak pernah lagi terlihat menumpang ojek atau angkot. Ia datang ke kantor dengan Fortuner putih yang platnya lebih kinclong dari reputasi kepala dinasnya. Bahkan, beberapa kali terlihat mengantar “berkas penting” ke hotel saat Rhomas sedang dinas luar.

“Ruang kerja Rhomas itu sekarang bukan sekadar ruang dinas,” ujar Edi sambil menyeka bibirnya yang belepotan sisa kopi. “Sudah kayak suite hotel. Ada minibar, tirai otomatis, dan aromaterapi. AC-nya tiga PK, dinginnya bisa bikin cinta bersemi ulang.”

Dek Yanti tertawa kecil dari balik bar. “Kopi Slemon kalah kelas berarti, padahal ini juga bikin orang move on,terutama istri pejabat yang ditinggal ‘rapat koordinasi’ tiap Jumat malam.”

Din Bacut, yang sejak tadi menghisap rokok tanpa menyalakan api karena dilarang merokok di area parkir hanya manggut-manggut. Baginya, ini hanyalah salah satu dari sekian ratus sandiwara di panggung birokrasi Latak Litung.

Amir Bingut, yang dulunya menginput absensi Masayu sebelum dipecat karena terlalu sering melaporkan kehadiran yang “tak sinkron dengan kenyataan,” mengaku pernah diminta menghapus rekaman CCTV. “Katanya demi keharmonisan organisasi,” ujarnya datar.

Rudi Balakteduh mengunyah tahu bunting isi kecambah tanpa emosi. “Kalau skandal kayak gini bisa dibikin sinetron, kita semua udah kaya dari royalti.”

Tak ada yang tertawa. Karena meskipun lucu, kisah ini terlalu nyata.

Kopi Slemon pagi itu menjadi saksi bisu betapa skandal yang sudah menjadi rahasia umum, hanya tinggal menunggu momen untuk menjadi bahan meme. Sementara itu, Rhomas tetap menjabat, Masayu tetap melenggang, dan meja bekas barang bukti tetap menopang diskusi yang tak pernah berakhir.

Dek Yanti, yang paling paham makna diam dan tawa sinis, menyeduh gelas lain. Kopi Slemon tak pernah bohong. Rasanya pahit, tapi jujur.

Baca Juga:  Komisioner Makelar Suara (Bagian II)

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed