oleh

Indonesia Harus Bersatu dan Fokus Hentikan Sebaran Virus Korona Oleh SBY

Indonesia Harus Bersatu dan Fokus Hentikan Sebaran Virus Korona Oleh SBY
Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.

Bandar Lampung – Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan rasa prihatin terhadap wabah virus korona lewat tulisan yang diterima redaksi Fajar Sumatera. Dalam tulisannya ini, SBY mengulas tentang pengalaman pribadinya saat menjadi Presiden Indonesia dalam hal menangani persoalan. Sedikit banyak ia bercerita tentang andil dari sang isteri tercinta. Juga menyampaikan doa kepada PM Inggris Boris Jhonson. Demikian isi tulisannya…

Kemarin, 7 April 2020, melalui TV saya mengetahui bahwa Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Jhonson dipindahkan ke rumah sakit di London dengan perawatan intensif. Kita mengetahui bahwa pemimpin eksekutif Inggris tersebut 11 hari yang lalu dinyatakan positif korona. Berita itu kini menjadi “headline” media massa di seluruh dunia.

Saya tidak mengenal Boris Johnson secara pribadi. Ketika memimpin Indonesia dulu, saya mengenal dan bekerja sama dengan 3 perdana menteri Inggris, yaitu Tony Blair, Gordon Brown dan David Cameron. Tony Blair pernah bekerja sama dalam membangun hubungan yang harmonis antara Dunia Islam dan Dunia Barat. Waktu melakukan kunjungan ke Jakarta, Blair dan saya melakukan dialog dengan tokoh-tokoh Islam terkemuka di Indonesia. Setelah tak lagi menjadi PM, Blair masih menjalin persahabatan dengan saya.

Dengan Gordon Brown saya bekerja sama dalam forum G20, utamanya ketika para pemimpin dunia harus bersatu dan berkolaborasi menangani krisis ekonomi global tahun 2008-2009 yang lalu. Untuk diingat, dalam situasi yang penuh kepanikan, pertemuan puncak G20 pertama dilaksanakan di Washington DC dengan Presiden Bush sebagai tuan rumahnya. Pertemuan kedua dilaksanakan di London dengan Perdana Menteri Gordon Brown sebagai chair. Saya masih ingat bahwa untuk menghadiri pertemuan penting G20 di London tersebut saya harus meninggalkan tanah air, meskipun waktu itu saya tengah berada pada puncak kampanye Pemilihan Presiden Tahun 2009.

Sedangkan dengan David Cameron, sebagaimana banyak diketahui, saya pernah bekerja sama (juga dengan Presiden Liberia Johnson Sirleaf) sebagai Ketua Bersama Panel Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diminta oleh Sekjen PBB Ban-Ki Moon, untuk memberikan masukan terkait dengan SDGs, pengganti MDGs yang jatuh tempo pada tahun 2015.

Sungguhpun saya tidak mengenal Boris Johnson secara pribadi, sebagai mantan Presiden Indonesia dan sebagai warga dunia (world citizen) saya mendoakan secara tulus agar Johnson diberikan kesembuhan. Semoga beliau diselamatkan dari serangan virus korona yang ganas itu, dan bisa kembali memimpin Inggris dalam masa krisis sekarang ini, untuk keselamatan warga negaranya.

Mengapa saya menyampaikan doa tulus untuk kesembuhan pemimpin Inggris itu? Mengapa saya memiliki empati kepada seorang pemimpin yang jatuh sakit ketika sedang bekerja keras untuk menyelamatkan bangsa dan negaranya dari sebuah krisis?

Semuanya bertolak dan berkaca dari pengalaman pribadi saya sendiri. Pengalaman pribadi seseorang, yang pernah berada dalam situasi yang sama. Dalam perjalanan hidup saya, khususnya ketika selama sepuluh tahun memimpin Indonesia, beberapa kali saya memimpin negara dan pemerintah dalam mengatasi krisis. Sebagai contoh, sewaktu bersama Wapres Jusuf Kalla mengatasi bencana alam terbesar awal abad 21, yaitu tsunami Aceh dan Nias; sewaktu mengatasi krisis meroketnya harga minyak dunia di tahun 2005, 2008 dan 2013; dan sewaktu mengatasi krisis ekonomi global tahun 2008-2009 bersama Pak Jusuf Kalla, Pak Boediono, Ibu Sri Mulyani dan para pejabat negara baik pusat maupun daerah yang lain.

Dalam masa krisis dan “darurat” tersebut, saya harus memimpin secara langsung. Bertanggung jawab secara penuh. I must be at the driving seat. Ibarat sedang menjalankan kendaraan, saya sendiri yang harus mengemudikannya, sementara rakyat Indonesia sebagai penumpangnya. Tentu saja perjalanan kendaraan itu dalam cuaca yang buruk, menembus hujan lebat dan badai, sementara jalannya berliku dan kiri kanannya pun tebing dan bukit. Secara manusiawi dalam keadaan seperti ini semua merasa tegang, “stress” bahkan takut.

Nah, dalam suasana krisis tersebut, seorang pemimpin sering lupa atas keamanan dan keselamatan dirinya. Bisa lupa makan dan minum, kurang tidur dan bahkan tidak mengenal waktu untuk beristirahat. Karena …. dalam hati dan pikirannya, tugaslah yang harus diutamakan. Mission must be well accomplished. Krisis harus bisa diatasi. Negaranya harus selamat. Rakyat harus dilindungi. Semuanya dipandang sebagai tugas dan kewajiban moral seorang pemimpin.

Dalam keadaan seperti itu, pemimpin di samping mengalami tekanan psikologis sangat mungkin justru jatuh sakit. Saya jadi ingat mendiang isteri tercinta. Setiap berada dalam situasi seperti itu, Ani tak pernah lupa mengingatkan untuk tetap menjaga kesehatan saya. Sambil terus mendampingi dan memberi semangat kepada saya, Ani juga memperhatikan makanan dan vitamin yang saya perlukan. Juga menemani saya ketika menjalankan sholat, karena setelah semua diikhtiarkan melalui kerja keras, pertolongan Allah-lah yang kita mohonkan.

Saya yakin, saat ini, para pemimpin di seluruh dunia juga berada dalam situasi yang saya gambarkan tadi. Termasuk pemimpin Inggris, dan tentunya pemimpin kita sendiri, Presiden Jokowi. Sehingga, doa saya ini ~ doa keselamatan dan kesehatan ~ juga berlaku bagi para pemimpin yang lain. Termasuk semua pihak yang tengah berada di “garis depan” dalam mengatasi serangan virus korona ini. Secara khusus, doa tulus dan terima kasih juga saya tujukan kepada para dokter dan perawat, yang tugasnya memiliki risiko yang paling tinggi, karena sehari-hari mesti bersinggungan dengan para pasien Covid-19.

Indonesia Harus Bersatu dan Tetap Fokus pada Penghentian Penyebaran Virus Korona

Mengapa melalui artikel ini, dengan segala kerendahan hati saya masih mengingatkan perlunya kita terus dan tetap bersatu? Mengapa pula kita harus makin intensif melakukan segala upaya untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dari ancaman korona, termasuk bisa dihentikannya penyebaran Covid-19 di negeri kita? Tentu ada sejumlah alasan.

Pertama, krisis virus korona di negeri kita belum berakhir. Belum selesai. Indonesia juga belum aman. Salah besar kalau kita merasa sudah berhasil mengatasi wabah korona ini, dan kemudian mulai menjalani kehidupan seperti biasa. Di samping itu, saya melihat masih ada elemen di negeri ini yang belum benar-benar fokus dan tidak bekerja sesuai prioritasnya. Ingat, first thing first. Waktu dan sumber daya kita terbatas, sehingga harus diarahkan kepada kepentingan dan sasaran utama kita saat ini.

Prioritas kita adalah menyelamatkan saudara kita yang sudah terjangkit korona (to save their life), serta membatasi dan menghentikan penyebaran virus korona (to contain and to stop the spread of Covid-19). Kalau sasaran ini dapat dicapai, kita bisa menyelamatkan lebih banyak lagi jiwa rakyat Indonesia. Kalau virus korona bisa kita lumpuhkan, kehidupan masyarakat akan kembali normal. Ekonomi Indonesia juga akan tumbuh dan berkembang lagi.

Kedua, saya perhatikan beberapa hari terakhir ini justru ada situasi yang tak sepatutnya terjadi. Apa itu? Kembali terjadi ketegangan antara elemen masyarakat dengan para pejabat pemerintah, bahkan disertai dengan ancaman untuk “mempolisikan” warga kita yang salah bicara. Khususnya yang dianggap melakukan penghinaan kepada Presiden dan para pejabat negara.

Mumpung ketegangan ini belum meningkat, dengan segala kerendahan hati saya bermohon agar masalah tersebut dapat ditangani dengan tepat dan bijak. Kalau hal ini makin menjadi-jadi, sedih dan malu kita kepada rakyat kita. Rakyat sedang dilanda ketakutan dan juga mengalami kesulitan hidup karena terjadinya wabah korona ini. Juga malu kepada dunia, karena saya amati hal begini tidak terjadi di negara lain.

Berkaitan dengan alasan pertama, agar kita tetap fokus pada penanganan virus korona saya pikir tak perlu saya elaborasi. Saya percaya semua pihak pasti sepakat untuk melakukannya, termasuk jajaran pemerintah yang saat kini juga sedang berupaya sekuat tenaga. Saya juga menyambut baik semua kebijakan dan tindakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk meningkatkan penanggulangan Covid-19. Termasuk penyediaan anggaran yang disampaikan Presiden Jokowi beberapa saat yang lalu, yang saya pandang cukup memadai, terutama untuk saat ini.

Anggaran yang saya maksud adalah yang ditujukan untuk menanggulangi Covid-19, serta bantuan kepada rakyat yang mengalami kesulitan hidup akibat terjadinya wabah saat ini. Itu kebijakan yang tepat dan sangat diperlukan. Saya berharap, sebagaimana harapan rakyat kita, dana itu dapat disalurkan secara tepat sasaran dan tepat waktu, sehingga mendapatkan hasil yang maksimal.

Yang ingin saya tanggapi adalah terjadinya ketegangan baru antara unsur masyarakat dengan pihak pemerintah. Ketegangan vertikal seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Tidakkah kita justru harus makin kompak, makin bersatu dan makin efektif dalam kerjasama memerangi virus korona saat ini?

Isu yang muncul sebenarnya klasik dan tidak luar biasa. Intinya adalah bahwa negara, atau pemerintah, akan mempolisikan siapapun yang menghina presiden dan para pejabat pemerintah. Saya pahami ini sebagai peringatan (warning), bukan ancaman, dari pihak yang memiliki kekuasaan di bidang hukum.

Mengapa saya katakan ini sebenarnya klasik dan tidak luar biasa, karena hal begini kerap terjadi di sebuah negara. Sekalipun negara itu menganut sistem demokrasi. Biasanya terjadi di negara yang demokrasinya tengah berada dalam masa transisi dan atau konsolidasi. Ataupun negara yang demokrasinya masih mencari bentuk dan model yang paling tepat. Atau negara yang memiliki pranata hukum warisan era kolonialisme. Sistem hukum yang memberikan hak (power) kepada penguasa, untuk menghukum warga negara yang didakwa menghina atau tidak menghormatinya.

Yang menjadi luar biasa adalah kalau hukum-menghukum ini sungguh terjadi ketika kita tengah menghadapi ancaman korona yang serius saat ini. Jujur, dalam hati saya harus bertanya mengapa harus ada kegaduhan sosial-politik seperti ini?

Melalui artikel ini, kalau diperkenankan, saya ingin menyampaikan pandangan saya. Sekaligus saran dan harapan saya baik kepada masyarakat maupun pemerintah.

Saat ini, di negeri ini, bahkan di seluruh dunia, kehidupan masyarakat sedang dalam situasi yang sangat “stressful”. Dalam hal ini saya mengartikan stressful secara luas, yaitu sebagai tegang, gamang, takut, emosional dan bahkan cepat marah.

Manusia dan masyarakat takut kalau kena korona. Takut kalau sakit dan kemudian meninggal dunia. Sebagian bingung, tak percaya diri dan mudah terpengaruh tanpa bisa berpikir secara rasional. Masyarakat golongan bawah, terutama yang kehilangan pekerjaan, mengalami kesulitan hidup yang luar biasa. Di antara mereka ada yang mudah menyalahkan pihak lain, termasuk pemerintah dan pemimpin-pemimpinnya.

Sebuah studi mengatakan bahwa 75 % anggota masyarakat tergolong kuat menghadapi situasi pandemi seperti sekarang ini. Sementara, 25 %-nya tergolong rentan dan kondisi mentalnya mengalami gangguan. Di sejumlah negara, yang paling ekstrim bahkan melakukan bunuh diri.

Pihak pemerintah pun sebenarnya juga mengalami tekanan-tekanan psikologis. Memang sering dibantah oleh mereka-mereka yang tengah berkuasa, dengan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Pemerintah takut kalau rakyatnya banyak yang kena korona dan meninggal. Takut kalau upaya dan tindakannya gagal. Juga takut kalau kebijakannya disalahkan oleh rakyat, baik sekarang maupun di hari nanti.

Tanpa disadari, sebagian penguasa dan pejabat pemerintah menjadi sensitif. Menjadi kurang sabar dan tak tahan pula menghadapi kritik, apalagi hinaan dan cercaan.

Situasi seperti inilah yang bisa memunculkan “benturan” antara elemen masyarakat dengan pihak pemerintah. Apalagi kalau sebelumnya sudah ada benih-benih ketidak-cocokan dan ketidak-sukaan. Misalnya, sebagian masyarakat tidak suka sama pejabat A dan pejabat B. Atau pemerintah sudah memasukkan si C dan si D sebagai lawan pemerintah. Saya mengamati ada benih-benih dan masalah bawaan seperti ini di negara kita. Dalam situasi sosial yang tidak stabil dan penuh “tension”, seperti di era wabah korona saat ini, benturan sangat mungkin terjadi.

Saya bukan ahli psikologi, termasuk psikologi sosial dan psikologi pandemi. Saya juga bukan seorang dokter yang ahli tentang virus korona. Saya hanyalah seorang yang pernah berada di dalam pemerintahan ketika menghadapi situasi krisis, dan kini berada di barisan masyarakat yang mengerti apa perasaan dan harapan mereka. Barangkali hanya inilah modal yang saya miliki. Karenanya, saya mohon maaf kalau pandangan saya ini keliru dan pemerintah tidak berkenan menerimanya. Atau juga kalau masyarakat tidak menyukai pemikiran saya ini.

Yang pertama-tama harus saya sampaikan adalah saat ini kita semua sedang diuji. Termasuk pemerintah dan masyarakat. Apakah kita kuat, sabar, tegar dan berhasil menjalani kehidupan yang berat ini. Kita juga diuji apakah kita bisa saling menahan diri, saling bertenggang rasa dan saling berempati. Apakah kita bisa saling berbagi (sharing the hardship), termasuk antara pemerintah dan masyarakat. Karena negara dan pemerintah “lebih kuat” dan “lebih berkuasa”, pemerintah juga sedang diuji apakah secara moral memiliki empati yang tinggi terhadap rakyatnya.

Menghadapi situasi yang berat saat ini, inilah saran-saran sederhana saya.

Pertama kepada masyarakat. Kepada masyarakat saya berharap janganlah selalu apriori terhadap apa saja yang dilakukan pemerintah. Termasuk, kebijakan dan tindakannya. Jangan terlalu cepat menuduh pemerintah sebagai tidak serius, bahkan tidak berbuat apa-apa. Menurut saya, tidak ada di dunia ini yang pemerintahnya berpangku tangan dan tidak berbuat yang semestinya dalam menghadapi wabah korona dewasa ini.

Secara pribadi saya melihat bahwa pemerintah kita juga telah menjalankan kewajibannya. Dalam setiap krisis, situasinya memang tidak mudah dan persoalannya pun banyak. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, termasuk keterbatasan keuangan negara, pemerintah telah berupaya untuk menanggulangi wabah korona ini.

Sebaiknya, warga masyarakat jika berbicara atau berkomentar tidak melampaui batas. Termasuk jika mengkritik atau berkomentar tentang presiden dan para pemimpin kita yang lain. Kebebasan berbicara yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang pun ada batasnya. Masyarakat yang baik dan cerdas akan tetap bisa menyampaikan pendapat dan kritik-kritiknya, tanpa harus melakukan penghinaan, hujatan dan caci maki yang kasar dan melampaui kepatutannya. Saya berpendapat, di negeri ini siapapun bisa mengutarakan pandangan bahkan mengkritik secara lugas dan terbuka. Namun, tetaplah pandangan dan kritik itu disampaikan dengan kata-kata yang “berkeadaban”.

Mungkin saja sejumlah pejabat pemerintah tidak bisa menerima kata-kata yang keras dan kasar, karena merasa sudah berbuat dan berupaya dalam mengatasi krisis korona saat ini. Karena merasa dihina, beliau-beliau ingin mengganjar para “penghina” itu dengan penalti hukuman. Itulah sebabnya, saya ikuti pihak kepolisian secara proaktif juga ikut memberikan peringatan kepada masyarakat, bahwa siapapun yang melanggar akan dipidanakan. Tentu ini serius.

Karenanya, agar tidak ada gelombang penahanan dan pemenjaraan kepada rakyat yang dianggap menghina pejabat, sebagai sesama anggota masyarakat saya mengajak marilah kita kontrol (kendalikan) ucapan-ucapan kita. Marilah dengan niat yang baik, kita sampaikan pandangan kita apa adanya, tanpa harus menghina pemimpin kita.

Mungkin sebagian masyarakat masih ingat ketika saya sedang mengemban amanah sebagai Presiden dulu. Saya juga mengalami nasib yang sama. Bahkan lebih pahit pengalaman hidup yang saya alami. Lebih “sadis” cacian dan hinaan yang ditujukan kepada saya dulu. Termasuk ketika saya sedang mengatasi krisis yang datang silih berganti.

Masih segar dalam ingatan saya, apa yang saya alami dulu. Kalau isteri tercinta Ani belum dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dia bisa menjadi saksi dan bisa memberikan testimoninya. Ketika itu juga sedang ada krisis ekonomi. Saya dan jajaran pemerintah tengah bekerja keras, siang dan malam. Terus terang saya juga tegang, letih dan takut kalau Indonesia tidak selamat. Kalau ekonomi Indonesia jatuh lagi, betapa kasihannya rakyat kita.

Nah, dalam suasana seperti itu, secara bertubi-tubi dan di banyak tempat saya diserang dan dihina. Di parlemen, di media massa, dan di jalanan dengan macam-macam unjuk rasa. Kata-katanya sangat kasar dan menyakitkan. Beberapa kali isteri tercinta menangis. Terkadang saya juga hampir tidak kuat dengan hinaan-hinaan yang melampaui batas itu. Namun, saya berpikir dalam-dalam. Saya harus kuat, harus tegar, dan harus sabar. Saya menghibur diri saya sendiri, …. saya dibeginikan karena saya pemimpin, karena saya presiden. Semua menjadi tanggung jawab saya, kodrat saya. Kalau saya tidak kuat dan patah di tengah jalan, justru negara akan kacau. Rakyat justru akan menderita. Karenanya saya tetap fokus pada tugas dan kewajiban saya. Saya yakin bahwa badai pasti berlalu.

Apa yang ingin saya sampaikan dengan mengangkat kisah yang saya alami ini?

Ada kaitannya dengan situasi sekarang. Meskipun saya dulu tidak pernah mempolisikan mereka-mereka yang menghina saya, (lain halnya kalau memfitnah), melalui artikel ini saya menyerukan agar apa yang dulu dilakukan kepada saya, janganlah dilakukan kepada pemimpin-pemimpin yang lain. Meskipun saya dulu kuat dan sabar, bagaimanapun cacian dan hinaan yang melampaui batas itu tidak baik. Tidak baik jika terjadi di negara Pancasila ini. Di negara yang berke-Tuhanan ini.

Saya pernah berjanji, dan alhamdulillah janji itu saya tepati, tidak pernah membalas hinaan itu dengan hinaan kepada mereka-mereka yang menghina saya dulu. Jika selama ini saya dan keluarga tidak melakukan hinaan dan sumpah serapah kepada pemimpin lain, karena saya dan keluarga telah merasakan betapa sedih dan menyakitkannya perlakuan seperti itu.

Inilah pandangan dan saran saya kepada siapapun, agar tak ada satupun warga Indonesia yang kena “ciduk”. Yang harus menjalani hukuman di penjara karena salah berucap, padahal hidup mereka sedang susah di era wabah korona ini. Jangan sampai… sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sekarang, ijinkan saya menyampaikan pandangan dan saran kepada pemerintah.

Dalam keadaan darurat dan sekaligus krisis seperti sekarang ini, sebaiknya pemerintah bisa mencegah terjadinya masalah baru. Misalnya masalah sosial, ataupun masalah politik, yang bisa mengganggu upaya pemerintah menyelamatkan rakyat dari wabah virus korona yang mematikan ini.

Dengan keadaan psikologi masyarakat di era pandemi besar ini, sebagaimana yang saya utarakan sebelumnya, bisa saja warga kita ada yang salah berucap. Misalnya, di media sosial, ada kata-kata yang melampaui batas. Menghadapi masalah ini, alangkah baiknya kalau yang diutamakan adalah tindakan yang persuasif terlebih dahulu. Tindakan pencegahan terlebih dahulu. Pendekatan dan penyelesaian yang non yudisial dulu. Kalau sudah tidak mempan, memang benar-benar keterlaluan dan tidak ada cara lain, barulah pendekatan hukum yang dilakukan.

Saya hanya tidak ingin negara dan pemerintah menghadapi banyak “front”. Sebagai seorang prajurit yang hampir 30 tahun mengabdi di bidang pertahanan dan keamanan negara, kita diajarkan janganlah membuka medan permusuhan yang terlalu banyak. Padahal, sebagaimana pandangan saya sebelumnya, justru saat ini kita harus kompak dan fokus pada upaya besar menghentikan virus korona di tanah air kita.

Saya juga bermohon, janganlah pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan antipati baru, bahkan perlawanan dari rakyatnya. Jangan pula pernyataan itu melukai mereka-mereka yang justru ingin membantu pemerintah. Misalnya, dengan mudahnya mengatakan yang bersuara kritis itu pastilah mereka yang berasal dari pemerintahan yang lalu. Berarti pemerintahan yang saya pimpin dulu. Atau berasal dari kalangan yang tidak ada di kabinet sekarang ini. Tuduhan gegabah seperti ini hanya akan membuka front baru. Front yang sangat tidak diperlukan ketika kita harus bersatu menghadapi virus korona dan tekanan ekonomi yang berat saat ini.

Saya juga bermohon agar pemerintah tidak alergi terhadap pandangan dan saran dari pihak di luar pemerintahan. Banyak kalangan yang menyampaikan pikirannya, mungkin sedikit kritis, tetapi mereka-mereka itu sangat pro pemerintah. Juga sangat mendukung Presiden Jokowi.

Amat berbahaya jika ada pihak yang menyampaikan pandangan kritisnya, dan kebetulan mereka itu pernah bertugas di pemerintahan SBY, atau sekarang tidak berada dalam koalisi pemerintahan Presiden Jokowi, lantas dianggap sebagai musuh pemerintah. Sebagai musuh negara. Menurut saya, pandangan dari pihak di luar pemerintah itu tetap ada gunanya jika pemerintah sudi untuk mendengarkannya.

Melalui mimbar ini saya harus menyampaikan, bahwa kami-kami ini juga sangat mencintai negeri ini. Mencintai Pancasila. Mencintai NKRI. Mencintai kebhinekaan. Mendukung pemerintah agar benar dan sukses, tidak salah dan kemudian gagal.

Apapun yang terjadi di negeri ini, kami akan tetap tinggal di sini. Jika ada prahara dan masalah besar yang dihadapi negara, kami juga siap dan akan menjadi bagian dari solusi bersama negara dan pemerintah.

Kami juga punya semboyan “right or wrong is my country”. Benar atau salah, Indonesia negeri kita. Tentu sebagai nasionalis dan patriot sejati, karena benar atau salah adalah negeri kita, mari kita bikin negeri kita benar dan tidak salah.

Menutup artikel ini, dan berangkat dari cara pandang di atas, saya ingin menyampaikan satu hal yang saya pandang sangat penting dan fundamental.

Sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya, saya mendukung berbagai kebijakan dan tindakan pemerintah untuk mengatasi krisis korona dan tekanan ekonomi saat ini. Semua itu saya pandang tepat dan sangat dibutuhkan (necessary) dan juga “timely”.

Namun, ada satu isu kritikal yang perlu saya sampaikan. Mungkin pemerintah tidak berkenan mendengarkan pandangan ini. Jika demikian halnya, pandangan saya ini mohon diabaikan saja. Saya hanya ingin berkontribusi untuk kesuksesan dan keselamatan pemerintah, baik sekarang maupun masa nanti.

Isu yang saya maksud adalah berkaitan dengan “hak budget”, dalam arti siapa yang oleh konstitusi dan sistem ketatanegaraan kita, diberikan kewenangan untuk itu. Siapa yang diberikan kewenangan (power) untuk mengumpulkan dan mendapatkan uang, siapa yang berwenang untuk menetapkan uang itu digunakan untuk apa, dan bagaimana pengawasan dan pertanggung jawabannya. Hal ini bukan hanya berkaitan dengan sistem, proses dan akuntabilitas keuangan negara kita, tetapi mengait pula pada “power relations” antar para penyelenggara negara. Ini juga berkaitan dengan hak rakyat untuk mengetahui kesemua proses itu secara transparan, termasuk di dalamnya para wajib pajak (tax payers). Kita tahu, lebih dari 70 % pendapatan negara kita berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat.

Sebagaimana rakyat ketahui, akhir-akhir ini pemerintah mengeluarkan sejumlah instrumen hukum dan administrasi, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Presiden (Keppres) dan berbagai perangkat turunannya. Dalam keadaan darurat atau krisis hal begitu memang dibenarkan dan juga diperlukan.

Dalam keadaan tidak normal, Presiden (pemimpin puncak eksekutif) memerlukan kewenangan tambahan (extra power). Kewenangan tambahan ini diperlukan untuk “mengatur, memaksa, melarang dan menghukum”, yang diperlukan untuk mengatasi krisis. Inilah yang disebut keadaan darurat atau keadaan bahaya.

Sejauh ini krisis yang kita hadapi adalah krisis korona (kesehatan) dan tekanan ekonomi yang diakibatkan oleh wabah korona ini. Karenanya, extra power itu tentunya sebatas yang diperlukan dan sesuai pula dengan jenis ancaman yang kita hadapi. Pemberian dan penggunaan extra power ini juga ada batas waktunya. Tidak boleh digunakan dalam waktu yang berkepanjangan, dan apalagi dianggap sebagai “new normal” atau berlaku selamanya.

Sudah benar pemerintah tidak memberlakukan “keadaan darurat sipil”, karena konteks dan jenis ancamannya berbeda. Keadaan darurat sipil itu lebih mengait pada penanganan dan pemulihan keamanan dan ketertiban publik. Berada di wilayah “public security” atau “law and order”.

Dalam artikel ini saya tidak bermaksud menanggapi Perppu No 1 Tahun 2020 misalnya, karena itu menjadi domain dan wilayah parlemen untuk membahasnya. Juga tidak akan berkomentar tentang berbagai pasal dalam Perppu yang memiliki singgungan kewenangan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Juga yang berkaitan dengan akuntabilitas dan prinsip-prinsip “good governance” yang harus dijaga oleh pemerintah.

Saya juga memahami, dalam keadaan seperti sekarang ini pemerintah ingin bertindak cepat tanpa halangan, termasuk halangan perundang-undangan. Pemerintah ingin melakukan “bypass” dan bisa mengambil keputusan sendiri, tanpa harus melibatkan DPR RI dan DPD RI misalnya, sebagaimana yang diatur dalam konstitusi. Sekali lagi, di sini saya hanya akan menyampaikan pandangan saya tentang “penggunaan dan pertanggung jawaban keuangan negara”.

Kalau tidak salah, melalui Perppu pemerintah menentukan bahwa anggaran untuk penanganan korona, bantuan kepada masyarakat dan penyelamatan ekonomi, menjadi kewenangan pemerintah. Artinya, tidak harus dibahas dan ditetapkan secara bersama oleh Presiden (pemerintah) dan DPR RI. Tidak perlu “dimasukkan dalam sistem”, yaitu melalui APBN Perubahan, sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi, UUD 1945, yang produknya berupa Undang-Undang.

Kalau hal itu benar adanya, saya menyarankan pemerintah perlu berhati-hati. Pastikan aturan itu tidak bertentangan dan melanggar konstitusi negara. Jangan sampai pemerintah melakukan tindakan yang inkonstitusional. Kehatian-kehatian perlu juga dimiliki oleh DPR RI jika akhirnya membenarkan aturan ini dengan menyetujui Perppu No 1 Tahun 2020. Juga perlu dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi jika pada saatnya juga mengukuhkan atau membenarkan tindakan sepihak pemerintah dalam penggunaan keuangan negara tersebut.

Khusus pengelolaan keuangan negara ini bagi saya sangat esensial dan fundamental. Jiwa, semangat dan substansi konstitusi di banyak negara, termasuk Indonesia, adalah mengatur kewenangan dan batas kewenangan lembaga-lembaga negara dalam manajemen keuangan negara. Jangan sampai kewenangan (power) untuk mengelola keuangan negara ini berada di satu tangan. Ingat “power tends to corrupt”, dan “absolute power tends to corrupt absolutely”. Kekuasaan yang sangat besar sangat mungkin di salahgunakan. Juga diingatkan bahwa “power must not go unchecked”, dan “power must be checked by another power”. Inilah yang mendasari prinsip “checks and balances” di antara eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Lazimnya, eksekutif diberikan kewenangan untuk mendapatkan keuangan negara, termasuk menarik pajak dan berhutang jika penerimaan negara kurang. Legislatif mendapat kewenangan dan tugas untuk membahas RAPBN bersama eksekutif, sampai dengan dicapainya persetujuan bersama untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN. Sedangkan pengawasan dan urusan akuntabilitasnya diamanatkan kepada lembaga audit nasional, untuk negara kita BPK.

Mungkin pemerintah berpikir bahwa justru Perppu itulah, yang nantinya akan menjadi undang-undang, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur anggaran sebesar 405,1 triliun rupiah itu. Aturan itu cukup dengan Peraturan Presiden, dan tidak harus dengan Undang-Undang. Menurut hikmat saya, undang-undang tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, atau menggugurkan aturan konstitusi. Kecuali, kalau ada sistem dan aturan baru dalam ketatanegaraan kita yang saya tidak mengikutinya. I am no longer in the loop.

Mungkin pemerintah berpikir kalau “anggaran tambahan” untuk menanggulangi krisis korona ini harus melalui APBN Perubahan, diperlukan lagi waktu untuk membahasnya. Belum kalau ada fraksi yang tidak setuju karena motif politik misalnya. Kalau hal itu yang dikhawatirkan pemerintah, menurut saya ada solusinya. Misalnya, sesuai dengan suasana darurat korona, pembahasan APBNP tersebut dilakukan dengan cepat. Sama atau lebih cepat dengan jangka waktu persetujuan DPR RI terhadap Perppu (1 bulan) yang dikeluarkan pemerintah. Misalnya, dalam 2 minggu pembahasan harus selesai. Hal itu sangat dimungkinkan. Saya yakin semua fraksi, sama dengan semua partai politik yang punya fraksi di DPR RI, akan bersikap bipartisan. Akan mengutamakan kepentingan negara, kepentingan rakyat. Akan bisa menyisihkan perbedaan dan kepentingan partainya masing-masing. Sebagai pembina Partai Demokrat, saya pastikan Partai Demokrat akan mendukung penuh dan akan menjadi bagian aktif dalam proses percepatan disetujuinya APBNP untuk tangani krisis korona ini.

Di Amerika Serikat, yang hubungan antara Presiden Trump dengan Kongres (DPR) kurang baik, lantaran dia dimakzulkan beberapa saat yang lalu, dan hubungan antara Partai Republik dan Partai Demokrat juga “bermasalah”, proses persetujuan anggaran stimulus sebesar 2,2 triliun dolar AS yang diusulkan pemerintah berjalan relatif mulus.

Saat ini, situasi di Amerika Serikat jauh lebih buruk dibandingkan di Indonesia dalam krisis pandemi korona. Hingga hari ini, 8 April 2020, yang terjangkit Covid-19 berjumlah 400 ribu orang lebih. Sedangkan yang meninggal hampir mencapai 13.000 orang. Situasinya lebih gawat dan lebih darurat. Namun, keputusan dan kebijakan Presiden tak ada yang bertentangan dengan konstitusi mereka. Kemarin, saya ikuti Presiden Trump akan “meminta anggaran tambahan” kepada DPR dan Senat mereka. Sedarurat apapun Presiden tidak mem-bypass proses yang ditetapkan dalam konstitusi negara itu.

Inilah pandangan saya. Saya minta maaf kalau ada pihak-pihak yang tidak berkenan. Tetapi, satu hal yang harus diingat, saya, sama dengan ratusan juta rakyat Indonesia juga sangat mencintai negeri ini. Sangat ingin pula pemerintah berhasil mengatasi krisis korona dan tekanan ekonomi saat ini, dengan kebijakan dan tindakan yang tepat dan benar.

Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, melindungi dan menyelamatkan kehidupan dan perjalanan bangsa dan negara Indonesia. Semoga pula Allah membimbing, merahmati dan memberikan pertolongan kepada para pemimpin Indonesia dalam mengatasi tantangan besar bangsa saat ini.

Padamu negeri kami mengabdi,
Bagimu negeri jiwa raga kami

Cikeas, 8 April 2020.

Baca Juga:  Tindakan Polisi Tuai Apresiasi

News Feed