Bandar Lampung – Praktisi Hukum Pahrozi menilai saran yang diberikan ahli pers Dr Eddy Rifai justru sebenarnya mengandung niat untuk mengintimidasi insan pers di Provinsi Lampung. Loh… Kok bisa begitu?
“Kan begini, apa sih yang dibahas di Dewan Pers? Kenapa sampai di bawa ke sana? Sudah barang tentu, ada wartawan yang tidak profesional kan gitu. Sekarang, apa parameter dari profesionalnya wartawan? Itu saja. Wartawan disebut dia profesional, pertama dia tegak pada analisis kepentingan pemberitaan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi apa? Analisanya, bukan permintaan orang tertentu, bukan permintaan orang atau kelompok, bukan orderan. Itu yang paling penting,” ujar Pahrozi kepada Fajar Sumatera, Minggu, 27 April 2020.
“Yang kedua, itu bicara teknis. Bagaimana teknis kerjanya (wartawan_read)? Dia meminta dulu sumber datanya dari mana, dia klarifikasi, sehingga seimbang isinya. Ujung dari produk junalistik itu, ya tinggal masyarakat yang menyimpulkan. Sepanjang kode etik itu dijalankan wartawan, clear itu menurut saya. Jangankan dibawa ke Dewan Pers, dibawa ke malaikat pun kita sanggup,” lanjutnya.
Eddy Rifai memang menyarankan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkum-HAM) Provinsi Lampung agar, produk jurnalistik dari pewarta –yang memuat informasi tentang dugaan pungutan liar (pungli) kepada napi program asimilasi– untuk diadukan ke Dewan Pers. Saran itu diberikan oleh Eddy Rifai, karena ia dimintai pendapatnya sebagai ahli oleh Nofli, pimpinan Kanwil Kemenkum-HAM Provinsi Lampung. Eddy Rifai pun meletakkan saran itu melalui pendapat ahli atau legal opinion-nya. Dasar aduan produk pers tersebut, bertujuan untuk memudahkan ‘tim investigasi’ mendapat informasi sebenar-benarnya dari pewarta; karena pewarta tidak dimungkinkan untuk membuka sumber sebenarnya kalau tidak melalui aduan di Dewan Pers. Walau memang, sampai sekarang, hasil kerja dari ‘tim investigasi’ itu belum membuahkan hasil.
“Makanya, dimana menyalahi? Yang menyalahi itu sebenarnya, ada wartawan diundang, kumpul-kumpul, lalu apa? Dapat duit. Apa tujuannya dapat duit itu? Biar nggak diberitakan. Kalau diberitakan kenapa? Nama baik, track record dari pejabat itu akan dinilai oleh pimpinannya. Mungkin dia akan didemosi. Makanya bahasa umum bilang begini, udah masuk anginnya ini (wartawannya_read). Yang perlu dipahami oleh publik, Dewan Pers itu menyidangkan, atau mempermasalahkan aduan terkait kode etik. Kode etik itu mengatur profesionalisme suatu profesi. Sekarang temukan dulu nih, pasal berapa dalam kode etik itu, yang dilanggar oleh wartawan, dalam konteks pemberitaan itu. Baca dulu kode etiknya itu, kalau nggak ada, ya aman,” tegas Pahrozi.
Menurut Pahrozi, tujuan yang disampaikan oleh Kanwil Kemenkum-HAM Provinsi Lampung sebenarnya bukan ide yang sebenarnya. Ia menuding ada agenda lain di balik permintaan itu. Jika dilihat lagi, untuk mencari informasi dugaan pungli itu, ada dua ‘tim investigasi’ yang diturunkan. Memang, menurut Eddy Rifai, tim itu dinilainya mumpuni dan ahli dalam urusan mengungkap persoalan dugaan pungli di jajaran Divisi Pemasyarakatan (Divpas).
“Jadi sebenarnya, yang dipermasalahkan itu bukan teknis pembuatan berita itu. Tapi inti dari pemberitaan itu. Ada orang yang tidak suka, ada orang yang terganggu kepentingannya karena pemberitaan itu. Ini intimidasi justru. Untuk mencari kambing hitam. Sesungguhnya, bukan kode etik itu yang disasar mereka. Tapi mereka sesungguh tidak suka wartawan membuka terang-terangan membuka peristiwa itu. Jadi sesungguhnya, banyak orang yang terganggu kepentingannya, panggungnya dengan pemberitaan itu. Makanya dicari-cari masalah. Agar berita itu nggak naik lagi, agar mereka (wartawan_read) itu takut. Intimidasi ini,” jelas Pahrozi.
Dia menegaskan, bahwa apa yang diucapkan olehnya, dapat dipertanggungjawabkan, apabila ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. “Saya memberikan tanggapan ini dengan bertanggungjawab. Apa yang sampaikan ini, sudah saya komparasi sekurang-kurangnya di bidang saya,” lanjutnya.
“Sekarang begini, ada polisi menangkap, dan oleh pengacara diajukan praperadilan. Itu forumnya. Kemudian, ada seorang wartawan memberitakan, kemudian ada orang yang tidak suka, tidak senang mengajukan ke dewan pers. Ingat. (Dua hal) Ini mengenai teknis. Praperadilan itu mengenai teknis. Contoh kepolisian apakah sudah sesuai belum dengan aturan main. Wartawan dalam melakukan peliputan dan menghasilkan produk jurnalistik, sudah sesuai belum dengan kode etik. Dua forum tadi itu membahas teknis. Nah kalau semua teknis sudah dijalankan sesuai dengan aturan main, maka praperadilan itu sudah dapat dipastikan, kalah. Tapi ingat, praperadilan itu adalah suatu cara, untuk menjegal perkara pokoknya tidak disidangkan. Sama dengan upaya untuk memberedel wartawan itu, agar berita itu tidak keluar. Itu hakikatnya,” pungkasnya.
Kemudian, dari semua yang dijelaskan barusan, lantas siapa yang dimaksud Pahrozi dalam hal ini pihak yang ingin mencari kambing hitam?
“Saya pikir begini, dalam teori konspirasi, orang-orang yang paling patut diduga terganggu kepentingannya, maka dia akan mencari alibi, mencari argumentasi, mencari alasan bahwa dia tidak salah dan bahwa dia benar. Jadi kalau itu terjadi di wilayah tertentu, tentu yang bertanggungjawab adalah pimpinan wilayah itu sendiri. Lah yang bertanggungjawab menghukumnya siapa? Ya pimpinan pusatnya. Pimpinan pusatnya juga nggak jelas, ya pimpinannya lagi. Kalau pimpinan barusan adalah presiden, kalau presiden nggak jalan ya kepada MPR. Kalau semua nggak jalan, yasudah, itu lah peradaban kita sekarang, mau apa lagi?” tutupnya.
(Ricardo Hutabarat)