Bandar Lampung – Minggu ketiga setidak-tidaknya di bulan April 2020, Dr Eddy Rifai tidak sendiri ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkum-HAM) Provinsi Lampung di Jl. Wolter Monginsidi. Ia ditemani mahasiswa magister hukumnya, Juniardi –yang juga Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Lampung.
Kedatangan itu sudah kedua kali dilakoni Dr Eddy Rifai. Tujuannya sama yakni untuk menemui pimpinan Kanwil Kemenkum-HAM Provinsi Lampung, Nofli. Dr Eddy Rifai datang ke sana bukan tanpa sebab; ia diminta untuk memberikan pendapat hukum tentang produk jurnalistik –yang memuat informasi tentang dugaan pungli napi asimilasi. Karena dalam produk tersebut tidak menyebutkan informasi detail tentang dimana lokasi dugaan pungli yang dilakukan oknum sipir.
“Jadi pak Nofli tahu bahwa saya juga menguasai bidang UU Pers jadi dipanggil gitu. Jadi pada waktu itu, habis berita itu muncul,” ujar Dr Eddy Rifai, saat kami wawancarai, 25 April 2020.
Dia yang membawa Juniardi dalam pertemuan itu. Dasarnya; untuk menjadikan Juniardi sebagai penghubung antara jajarannya Nofli dengan insan pers di Provinsi Lampung.
“Makanya itu, waktu hari berikutnya, saya membawa kebetulan ada Juniardi, Juniardi itu kan dulu murid saya di S2 Unila gitu. Juniardi, sekretaris, Jun Jun. Saya bawa Jun, dia kan juga pimred Sinar Lampung itu, saya perkenalkan, nah saya bilang, kalau pak Nofli ini kalau bisa, pak Jun ini jadi koordinatornya untuk komunitas Kemenkum-HAM dengan media. Jadi dengan begitu nanti, ya bisa dijembatani ada hal-hal yang kurang pas, atau apa, itu kan bisa dibicarakan. Artinya kan tidak perlu ada seperti sekarang ini kan ada apa, hal-hal yang seolah-olah tegang-tegang gitu. Nah akhirnya pak Nofli terima,” kata Eddy Rifai.
Fajar Sumatera telah meminta klarifikasi Juniardi selaku Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bidang Pembelaan Wartawan, hanya saja belum mendapat respon dan tanggapan.
Ini juga merupakan saran Eddy Rifai ke Nofli untuk menanggapi upaya somasi yang akan ditujukan kepada pewarta –yang khusus menerbitkan pemberitaan tentang dugaan perbuatan melawan hukum oleh oknum sipir. “Saya bilang gini, kalau dengan media massa saya bilang, kita sebaiknya berteman gitu”.
Selain mempertemukan Nofli dengan Juniardi, Dr Eddy Rifai kemudian menyampaikan langkah-langkah untuk Nofli dalam menjalin hubungan yang baik dengan pewarta, juga kepada publik, sehingga mendapat penilaian baik dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
“Dan dengan begitu untuk kelanjutannya, ya harapannya dia akan jalan berdasarkan UU Pers dan artinya, dengan media ini kita dalam hal ini adalah kan dengan kondisi media online sekarang ini yang berita-berita itu cepat segala macam, ada hal-hal yang tidak berkenan dan sebagainya. Itu semua bisa dimediasi. Bisa dibicarakan gitu,” terangnya.
“Dan sekarang adalah dia meningkatkan prestasinya terus juga dengan media, kita apa, dirangkul gitu, berteman. Artinya di dalam berteman itu, kan awal mula begitu ada berita dan sebagainya bawaannya kan mau somasi. Nah saya kan kaget, kok dari Jakarta perintahnya seperti itu. Itu kan kalau seperti itu kan, malah kontraproduktif. Artinya, bukan menyelesaikan masalah, tapi malah menimbulkan masalah-masalah baru gitu. Karena di dalam UU Pers tidak begitu,” ujarnya.
“Artinya bahwa yang penting sekarang, pak Nofli tunjukkan aja Kemenkum-HAM itu kerja dengan baik. Nah akhirnya dia, kan dia kemarin dipuji oleh menteri yaitu terkait dengan adanya kartu prakerja itu. Di Indonesia yang dapat kartu prakerja napi asimilasi itu cuma Lampung gitu. Artinya dia nunjukkan dengan kerja berprestasi,” timpal Eddy Rifai.
Nofli seperti digambarkan Eddy Rifai sangat tertekan atas informasi dari pewarta. Duo tim ‘investigasi’ sudah diturunkan. Namun, saran dari Eddy Rifai itu bukan poin dari pemecahan persoalan ini. Walau berteman dengan media massa, benang merah tentang pengungkapan dugaan kejahatan itu harusnya menjadi perhatian.
“Nah mengenai masalah pungli dan sebagainya itu, kan sudah diupayakan oleh tim investigasi, inspektorat-inspektorat (masih) dicari sumbernya. Kalau memang ketemu, ya diupayakan bisa dapat, akhirnya petugasnya itu bisa ditemukan. Tapi kalau nggak bisa ditemukan, ya artinya dari Kemenkum-HAM juga nggak bisa apa-apa kalau itu haknya ada pada wartawan untuk merahasiakan sumber berita,” terangnya.
Pun menemui kesulitan seperti itu, Dr Eddy Rifai mengaku sudah memberikan pemahaman secara meluas sesuai dengan keahliannya. Dr Eddy Rifai memastikan saran dia ini adalah jalan satu-satunya untuk membuka kepingan-kepingan misteri tentang dugaan pungutan-pungutan yang tidak berdasar. Jalan satu-satunya itu diyakini adalah pintu masuk yang juga akan membantu ‘tim investigasi’. Cara ini sangat efektif.
“Jadi cara satu-satunya untuk bisa membuka apakah itu hoax atau itu sebenarnya, kalau melalui hak jawab itu masih tidak menyelesaikan, ya itu melalui pengaduan ke Dewan Pers. Nanti di prosedur pengaduan di Dewan Pers, itu ada di dalam UU Pers, cara penyelesaian dan sebagainya. Begitu terbuka sumber, nanti itu akan dipanggil si wartawannya. Kemudian berhasil investigasi kalau narasumber dibuka. Itu cara satu-satunya di dalam yang sesuai dengan UU,” tandasnya.
Saran Eddy Rifai ke Pewarta
Dr Eddy Rifai menyarankan agar pewarta dalam menulis produk pers yang bernilai investigatif atau bila itu berdampak luas, supaya tidak samar-samar. Ini disampaikannya untuk menanggapi pemberitaan tentang dugaan pungli asimilasi yang terbit tanpa menuliskan lokasi peristiwa.
Pemberitaan tentang dugaan pungli tersebut bukan hanya muncul di Provinsi Lampung. Tapi juga di Jakarta. Hanya saja, kata dia, pemberitaan di lokasi lain menyebutkan Tempat Kejadian Perkara (TKP).
“Di Jakarta itu terjadi juga (pemberitaan pungli asimilasi_read) itu di Cipinang, di Bangka Belitung, di beberapa daerah. Jadi kan gini, kalau di dalam kode etik jurnalistik itu kan gini, jadi dalam hal dia memberitakan, dia harus beritakan dengan detail, lengkap, kemudian juga beritanya berimbang, artinya berimbang itu walaupun dia menyebut itu ada nama narasumber dan sebagainya tapi paling tidak dia menyebutkan lokasinya dimana gitu, sehingga dengan begitu secara jelas apabila memang benar itu terjadi, itu dapat diketahui. Artinya, supaya bukan (dinilai_read) hoax,” terangnya. (Ricardo Hutabarat)