oleh

Catatan Kecil Sengketa Pilwakot Bandar Lampung

-Opini-295 views

Fajar Lesmana SH., MH. *  ; Jakarta, 31 Januari 2021

Menanggapi Pendapat Prof. Yusril Ihza Mahendra terkait Penanganan Sengketa Pilkada Bandar Lampung yang telah diputus oleh Mahkamah Agung R.I., sebagaimana pendapat yang dimuat dimedia cetak di penghujung bulan Januari 2021 beberapa waktu lalu, dengan Judul “Yusril : MA Langgar Asas Peradilan”.

Paska Putusan Mahkamah Agung R.I. terkait sengketa Pilwakot Bandar Lampung, mulai bermunculan beberapa pendapat yang mengkritik Mahkamah Agung R.I. dalam memeriksa, menangani dan memutus sengketa pilwakot Bandar Lampung tahun 2020 tersebut. Banyak pihak, bukan hanya Prof. Yusril yang secara nyata menjadi salah satu kuasa hukum dari Paslon didalam Pilwakot Bandar Lampung.

Mantan Ketua Bawaslu RI periode 2008-2011 Nur Hidayat pun turut berkomentar dan mengkritik Mahkamah Agung R.I. terkait putusan dalam sengketa Pilwakot Bandar Lampung, sebagaimana di rilis media rmollampung.id., yang menyebutkan “Menurutnya, atas putusan MA yang mencabut keputusan Bawaslu Provinsi Lampung, bahwa MA tidak bisa membedakan antara sengketa biasa, sengketa proses dan sengketa hasil. Padahal berdasarkan UU No.7 tahun 2017, menyatakan bahwa hakim pemilu yang di MA harus paham tentang pemilu”.

Menarik bagi saya, pendapat atau pun kritik yang dilontarkan oleh kedua tokoh tersebut, karena bagi saya, pendapat tersebut hanya mencerminkan kepanikan atas Putusan Mahkamah Agung R.I. terkait sengketa pilwakot Bandar Lampung.

Mantan Ketua Bawaslu R.I., mengkritik Mahkamah Agung yang memeriksa dan memutus Sengketa Pilwakot Bandar Lampung, dengan menggunakan dalih UU No.7 tahun 2017. Tentu adalah kritik yang sangat keliru, karena bagaimana mungkin melontarkan kritik dalam konteks sengketa Pilkada yang menjadi kewenangan Mahamah Agung R.I., dengan menggunakan Rezim Hukum PEMILU (UU No. 7 tahun 2017) ???

Sementara, Rezim Hukum Pilkada adalah UU No.1 tahun 2015 sebagaimana telah diubah beberapakali terakhir dengan UU No.10 tahun 2016 jo. Putusan MK No.48/PUU-XII/2019 tanggal 29 Januari 2020. Maka semestinya jika Nur Hidayat sebagai Mantan Ketua Bawaslu R.I. hendak mengkriktik MA, dalam memeriksa dan memutus sengketa pilkada, gunakanlah Rezim Hukum Pemilihan (Pilkada) dan bukan menggunakan Rezim Hukum PEMILU. Agar tidak memperkeruh dan membingungkan rakyat khususnya rakyat Bandar Lampung yang berkepentingan dalam Pilwakot yang lalu.

Kembali pada pendapat Prof Yusril soal MA Langgar Asas Peradilan, maka saya mengkritik pendapat beliau tanpa menggunakan tendensi dukungan terhadap salah satu paslon yang berkompetisi didalam Pilwakot Bandar Lampung.

Pertama soal, MA melanggar asas peradilan dan menyebutkan MA tidak boleh mengabaikan permohonan menjadi pihak terkait.

Asas peradilan mana yang dilanggar tidak dijelaskan secara terperinci oleh beliau, sehingga sulit untuk diterjemahkan, namun jika yang dimaksudkan adalah MA tidak boleh mengabaikan permohonan menjadi pihak terkait. Apakah yang dimaksudkan pihak terkait itu adalah intervensi yang dilakukan oleh Paslon lainnya didalam sengketa Pilwakot Bandar Lampung??? Jika ini yang dimaksudkan, maka seharusnya sebagai seorang Praktisi Hukum, akan sangat mudah membaca hal yang demikian. Apakah MA mengabaikan ataukah mempertimbangkan “masuknya pihak lain” kedalam suatu perkara. Maka, secara sederhana akan terjawab dengan membaca AMAR Putusan Mahkamah Agung R.I. No.1P/PAP/2021, pada halaman 101 berbunyi “Dalam Permohonan Intervensi : Menolak permohonan intervensi dari Pemohon H. Rycko Menoza, S.E., SH., M.B.A. dan Ir. Johan Sulaiman, MM”.

Baca Juga:  Kebangkitan Nasional 2023, Solusi Dasar Indonesia

Praktisi Hukum manapun pastinya akan segera mengetahui bahwa MA pastinya telah memberikan Pertimbangan Hukum sebelum menjatuhkan Amar Putusannya, untuk Mengabulkan atau Menolak permohonan intervensi yang dilakukan oleh pihak lain dalam suatu perkara. Adalah suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh MA dalam mengabulkan atau menolak permohonan intervensi tanpa memberikan pertimbangan hukumnya terlebih dahulu. Lantas “Pengabaian” yang bagaimana yang dimaksudkan oleh Prof Yusril telah dilakukan oleh MA???

Kedua, soal Constitutional Complaint. Maka perlu diuraikan lebih jauh soal Constitutional Complaint ini, jangan membuat rakyat terutama rakyat Bandar Lampung kebingungan mengenai hal ini. Maka saya mengkritik keras upaya Constitutional Complaint yang akan diajukan ke Mahkamah Agung yang sengaja dihembuskan dengan dalih mendapatkan kepastian hukum sebagaimana diamanatkan UUD 45 Pasal 28 D ayat (1), karena justru menciptakan ketidak pastian hukum.

Apa itu Constitutional Complaint?

Secara sederhana Constitutional Complaint atau Pengaduan Konstitusional adalah Upaya Pengaduan yang dilakukan oleh Warga Negara akibat dari dilanggarnya hak-hak konstitusional warga negara yang disebabkan oleh perbuatan atau kelalain pejabat public baik pemegang kekuasaan eksekutif, legislative ataupun yudikatif. Pengaduan Konstitusional dapat dilakukan setelah semua upaya hukum telah dilakukan oleh seoarang warga negara dan tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukannya. Maka baru dapatlah dilakukan Pengaduan Konstitusional ini.

Dalam Konteks apa constitutional complaint digunakan?

Pengaduan Konstitusional ini hanya dapat dilakukan oleh warga negara yang telah terlanggar hak-hak konstitusionalnya setelah melakukan segala upaya hukum dan tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan. Contoh : jika ada warga negara mengajukan gugatan di peradilan tata usaha negara mengenai Tindak Faktual yang dilakukan salah satu Lembaga / penyelenggara negara, dan telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap, namun Lembaga / penyelenggara negara dimaksud tidak kunjung melaksanakan putusan yang telah dijatuhkan sehingga merugikan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum. Maka Pengaduan Konstitusional ini dapat diajukan untuk mendapatkan kepastian hukum agar Lembaga penyelenggara negara mematuhi dan tunduk pada aturan hukum dalam menjalankan kewenangannya.

Apakah Constitutional Complaint dikenal dalam sistem hukum di Indonesia?

Jawabannya jelas tidak. Sistem hukum di Indonesia Tidak Mengenal adanya Constitutional Complaint sebagaimana yang dihembuskan oleh Prof Yusril. Namun meskipun demikian didalam praktek berperkara, terdapat upaya menghidupkan Constitutional Complaint itu sendiri. Persoalannya adalah KEWENANGAN siapa Constitutional Complaint ini? MK sendiri menyebutkan bahwa MK tidak memiliki kewenangan Constitutional Complaint. Lantas jika demikian apakah berarti MA yang memiliki kewenangan untuk itu?

Baca Juga:  Pengawasan Partisipatif : Upaya Efektif Mengatasi Pelanggaran Dan Politik Uang Dalam Pemilihan Umum

Maka jawabannya adalah Kembali pada UUD 1945, TIDAK ADA SATU KETENTUAN PUN didalam UUD 1945 yang mengatur tentang Lembaga yang memiliki KEWENANGAN untuk menangani Constitutional Complaint. Itu JAWABANNYA. Apakah Upaya pengajuan Constitutional Complaint ini adalah sebuah upaya untuk melakukan “AMANDEMEN” berikutnya terhadap UUD 1945 ??? Karena meletakkan kewenangan untuk menangani persoalan Constitutional Complaint tersebut tentunya harus diatur didalam UUD 1945 sebagai Konstitusi di Republik Indonesia.

Tentu, saya berbeda pendapat dengan Prof Yusril soal Constitutional Complaint yang digadang-gadang terkait konteks PILWAKOT Bandar Lampung.

Ketiga, menyoal upaya PK dalam sengketa PILKADA Kota Bandar Lampung. Tentu saya tersenyum mendengar hal itu. Peninjauan Kembali adalah suatu upaya hukum luar biasa dan memiliki persyaratan tertentu didalam pengajuannya. Praktisi Hukum atau pun Akademisi Hukum pastinya paham soal Peninjauan Kembali.

Namun lagi-lagi, saya hanya menegaskan bahwa PK tentunya tidak dilarang, tapi tidak pula diatur didalam Sengketa Pilkada. Maka tetap harus merujuk pada Rezim Hukum PILKADA (Pemilihan) bukan Rezim Hukum yang lainnya jika dalam Konteks Sengketa Pilwakot Bandar Lampung. Sederhananya, gunakan Rezim Hukum Pilkada yakni UU No.1 tahun 2015 sebagaimana telah diubah beberapakali terakhir dengan UU No.10 tahun 2016 jo. Putusan MK No.48/PUU-XII/2019 tanggal 29 Januari 2020. Namun saya akan lebih menggunakan Pakem Hukum yang digunakan oleh Mahkamah Agung R.I. dalam memeriksa, menangani dan memutus Sengketa Pilkada, yakni PERMA Nomor 11 Tahun 2016. Karena didalamnya secara tegas menyebutkan TIDAK didapat dilakukan Upaya Peninjauan Kembali didalam Sengketa Pilkada. Lantas, KEPASTIAN HUKUM yang mana yang hendak dicari? Bukankah justru upaya PK itu sendiri yang menimbulkan ruang bagi terciptanya suatu ketidakpastian hukum?

Keempat, menyoal Putusan Mahkamah Agung R.I., yang membatalkan Putusan Bawaslu Propinsi Lampung, yang seolah-olah digambarkan sebagai putusan sepihak.

Sejak awal Mahkamah Agung R.I. berdiri, dan sepanjang pengetahuan saya sebagai Praktisi Hukum. Mahkamah Agung R.I., memang selalu memeriksa, menangani dan memutus perkara secara sepihak. Tidak pernah MA melibatkan pihak lain dalam memeriksa dan memutus perkara. Hal ini terntunya terkait pada soal Independensi Mahkamah Agung R.I. dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.

Jika yang disebutkan oleh Prof Yusril adalah karena MA tidak mempertimbangkan pendapat yang disampaikan oleh pelapor, tentunya MA telah membaca dan mempertimbangkannya namun tidak berarti MA harus sependapat dengan hal-hal yang disampaikan oleh pelapor. Hal ini tentunya adalah semata-mata menjadi kewenangan Mahkamah Agung R.I. dalam memeriksa dan memutus perkara. Tidak sependapat dan berkeberatan atas putusan MA dalam Pilwakot Bandar Lampung adalah persoalan yang sangat wajar. Namun menjadi sangat kontraproduktif jika karena berbeda pendapat dengan Putusan MA lantas menuding MA memutus perkara secara sepihak. Bagaimana jika putusan MA justru menguntungkan baginya? Apakah beliau akan memuji MA setinggi langit dan mengatakan bahwa MA telah memberikan kepastian hukum?

Baca Juga:  "Menguliti" HBM

Saran saya, Soal keberpihakan terhadap salah satu pasangan calon adalah hal yang biasa, namun bersikap professional lah dan sesuaikan dengan keilmuan yang dimiliki jika hendak mengkritik atau memberikan pendapat hukum, jangan malah menimbulkan suasana yang semakin keruh dan membingungkan rakyat khususnya rakyat Bandar Lampung yang baru saja melaksanakan Pilkada ditengah-tengah Pandemi Covid-19.

Terkait Sengketa Pilwakot Bandar Lampung, sesungguhnya sangat sederhana untuk dianalisa :

Bawaslu Propinsi Lampung dalam memeriksa, menangani dan memutus sengketa Pelanggaaran Administrasi TSM pada Pilwakot Bandar Lampung menggunakan Dasar Teori Non Originalitas, sehingga merangkai ketentuan didalam UU No. 10 Tahun 2016, Pasal 71 Ayat (3) melarang gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri, maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih. Dikaitkan dengan Pasal 73 ayat (4) Selain Calon atau Pasangan Calon, anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan, atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk : a. mempengaruhi Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih ; b. Menggunakan menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak sah ; dan c. mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu. Sehingga menarik interpretasi bahwasanya perbuatan yang dilakukan oleh Walikota Bandar Lampung telah menguntungkan salah satu Paslon yang tercatat juga sebagai istri dari Walikota.

Sementara Mahkamah Agung R.I., dalam memeriksa, menangani dan memutus Sengketa Pilwakot Bandar Lampung menggunakan Dasar Teori Originalitas, sehingga perlu dibuktikan terlebih dulu Perbuatan Walikota yang mana yang dimaksudkan untuk menguntungkan salah satu Paslon. Karena, meskipun salah satu Paslon adalah istri dari Walikota, namun keduanya adalah merupakan entitas hukum yang berbeda, sehingga tidak dapat dicampuradukkan dalam merumuskan suatu perbuatan yang dilakukan oleh Walikota dalam menjalankan Tugasnya, dengan demikian tidak perlu dilakukan interpretasi terhadap suatu ketentuan hukum.

Kedua Dasar Teori itu, boleh saja dipergunakan dalam memeriksa dan memutus sengketa Pilkada, namun poin pentingnya adalah seberapa kuat dasar argumentasi yang digunakan beserta bukti-bukti untuk menopang setiap dalil yang disampaikan.

Kiranya catatan kecil atas Sengketa Pilwakot Bandar Lampung dapat bermanfaat dan tidak memperkeruh situasi Bandar Lampung.

Penulis adalah :

  • Advokat pada Yaskum Indonesia Law Office
  • Ketua DPP Yaskum Indonesia
  • Mantan Ketua KPW PRD Lampung

Yaskum Indonesia Law Office :

Jalan Kembangan Baru, No.21-22, Kembangan, Jakarta Barat, 021-5801369

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed