oleh

Dugaan Mark Up Disinfektan Chamber, APH-Pemkab Diminta Bertindak

Bandar Lampung-Adanya dugaan mark pada kegiatan Pengadaan 53 disinfektan chamber di Dinas Kesehatan (Dinkes) Lampung Utara (Lampura) dinilai Masyarakat Transparansi Lampung (Matala) sebagai bentuk kejahatan anggaran dan tidak berempati terhadap kondisi yang tengah di hadapi saat ini.

Direktur Eksekutif (Matala), Agus Hermanto berpendapat, semestinya Pemkab Lampura tegas terhadap tindak kejahatan anggaran dan melakukan pemanggilan terhadap dinas terkait guna meminta keterangan terhadap adanya dugaan tersebut.

“Aparat Hukum juga harus mensikapi persoalan ini, sikap mengambil keuntungan dan memperkaya diri saat kondisi wabah seperti ini tentunya tidak bisa kita tolerir. Pemkab Lampura juga semestinya tanggap dan panggil pihak-pihak terkait,”tegasnya, Minggu (21/2).

Dengan adanya temuan BPK sambung Agus, bisa menjadi pintu masuk bagi aparat hukum dan Pemkab untuk mengambil tindakan terhadap adanya dugaan mark up tersebut.

“Apalagi BPK mengakui jika ada temuan dan dugaan mark up, aparat hukum serta Pemkab harus mengambil upaya-upaya tegas terhadap persoalan ini,”tandasnya.

Terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinkes Lampura, Maya Manan saat dikonfirmasi berdalih jika pada saat kegiatan pengadaan itu berlangsung Ia belum menjabat di Dinkes Lampura.

“ Bunda belum ada di Dinkes saat itu jadi tidak tahu, coba tanya Sekretaris dinas,”singkatnya.

Diberitakan sebelumnya, pengadaan 53 disinfektan chamber untuk mengatasi pandemi Covid-19 diduga di-mark up hingga 300 persen. Disinfektan chamber adalah alat berbentuk bilik untuk penyemprotan disfektan.

Harga pembuatan alat atau produksinya Rp3 juta per unit lalu diduga dijual Rp17.500.000 per unit atau total Rp927.500.000 ke Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Utara.

Namun, alat yang sama diduga dijual Rp4 juta per unit ke Dinas Perhubungan Lampung. Dinas Perhubungan Lampung cuma membeli dua unit.

Baca Juga:  Sambut HBP ke 59 , Lapas Narkotika Gelar Pekan Olahraga WBP

BPK Perwakilan Lampung konon tengah menyelusuri hal ini. Perbandingan BPK, Dinas Perhubungan Lampung membeli alat serupa sekitar Rp4 juta.

Rangga yang dketahui dari BPK Perwakilan Lampung saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon meengakui jika ada temuan dalam pengadaan tersebut. Namun untuk detil hasil pemeriksaan Ia menyarankan untuk mengajukan permintaan secara resmi ke BPK.

“Oh iya ada temuannya, kalau soal temuannya secara detil silahkan baca hasil laporannya saja, bias minta secara resmi ke kantor,”singkatnya.

Proyek yang diperoleh IZ dari PT SPB tersebut sekitar bulan Mei 2020, awal-awal pandemi Covid-19 mulai masuk ke Provinsi Lampung.

IZ ketika dikonfirmasi adanya dugaan mark up lewat lewat ponselnya, orang yang mengangkat telepon genggam  nomornya mengatakan IZ tidak ada di tempat.

Ketika didatangi ke kantornya untuk konfirmasi dugaan mark up tersebut di Pahoman, Kota Bandarlampung, putranya mengatakan orangtuanya tidak ada di tempat, sedang keluar.

Media ini minta disampaikan, baik nomor telepon maupun pertanyaan seputar dugaan mark up tersebut. Namun, setelah sepekan lebih, tak juga ada tanggapan dari IZ.

Julian, kepala Bidang Pengadaan Barang dan Jasa Dinkes Kabupaten Lampung Utara, ketika dikonfirmasi mengatakan tak lagi di Dinkes, sejak akhir tahun lalu pindah ke Dinas Sosial.

Dia enggan menjawab soal proyek pengadaan disfektan chember tersebut. Malahan, Julian balik mempertanyakan kebenaran wartawan yang mengkonfirmasinya.

JN, pemasok disinfektan chamber ke Dinas Perhubungan Lampung mengaku sebagai pembuat barangnya, bukan yang memasoknya ke Dinas Perhubungan Lampung.

Dikatakannya, harganya tak lebih dari Rp3 juta per unit. Dinas Perhubungan Lampung hanya memesan disinfektan chember.

RJ ketika dikonfirmasi membenarkan sebagai subkon, pembuatan disfektan chember untuk Dinas Kesehatan Lampung Utara dan Dinas Perhubungan Lampung.

Baca Juga:  "Ini Apa-apa Dikaitkan Jaringan Lapas" Kakanwil Kemenkum-HAM Lampung Dinilai Jadi Saran Bagi BNN Supaya Tidak Tebar Hoax

Ketika dikonfirmasi apakah jualnya Rp3 juta kepada IZ dan JN, EJ membenarkan. “Ya, saya jual sigitu,” katanya.

“Wajar dong, saya ada keuntungan atas pembuatan alat tersebut,” katanya.

Dia kaget ketika dikonfirmasi bahwa harga jualnya mencapai Rp17,5 juta per unit di Dinas Kesehatan Lampung Utara dan Rp4 juta per unit di Dinas Perhubungan Lampung.(Bg)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed