oleh

Mau Ketawa Takut Dosa, Istri Gubernur Diduga Salah Sebut Mesin Donor Plasma

Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Lampung Riana Sari Arinal yang nota bene istri Gubernur Lampung Arinal Djunaidi diduga salah sebut alat pendonor plasma konvalesen untuk diberikan kepada pasien Covid-19.

Saat audiensi pengurus PMI Lampung dengan Gubernur di Mahan Agung kemarin, Ketua PMI Provinsi Lampung Riana Sari Arinal mengatakan alat terapi tersebut adalah sterile connecting devices yang merupakan alat pendonor plasma konvalesen untuk diberikan kepada pasien Covid-19.

“Sepertinya Ketua PMI yang kebetulan istri Gubernur salah sebut nama mesin yg digunakan untuk memisahkan plasma darah dan media kemudian tanpa crosscheck langsung memuat mentah-mentah keterangannya. Setahu saya nama mesinnya “Apheresis”, sementara yang disebut Bu Riana “sterile connecting devices” itu adalah prosedur penggunaan alat penghubung antar tabung (tube) yang steril, sejak pertengahan tahun 90-an prosedur ini populer disebut dengan STCD,”jelas Pemerhati Pembangunan Lampung Nizwar Affandi melalui pesan WhatsApp, Kamis (22/7).

Affan menjelaskan, Apheresis” adalah mesin yang mampu memisahkan trombosit (trombaferesis), eritrosit(eritraferesis), leukosit (leukaferesis) dan plasma (plasmaferesis) dalam darah. Dalam konteks donor plasma konvalesen, yang dilakukan “plasmaferesis” karena yang diambil plasmanya saja sementara yang lainnya dimasukkan kembali ke tubuh pendonor.

“Harga mesin Apheresis per unitnya memang berkisar antara 1,1-1,2 miliar. Sementara harga STCD yg disebut Bu Riana hanya berkisar antara 65-70 jt saja per unit, Lampung memang sering banget ketinggalan, mulai dari mesin PCR Test di awal pandemi dan sekarang terulang lagi untuk mesin Apheresis,”katanya.

Dia menambahkan, sejak Januari sudah ada 31 UDD (Unit Donor Darah) PMI yang memiliki mesin Apheresis, tidak termasuk UDD PMI Lampung. PMI Babel misalnya salah satu UDD yg telah memiliki Apheresis dan perlengkapan lain yang diperlukan untuk terapi plasma konvalesen.

Baca Juga:  Ketua LPPL Lampung Dukung Sikap Koyu

 Apheresis memang membuat pendonor plasma konvalesen dapat kembali berdonor setelah 14 hari, tidak perlu menunggu selama 10 minggu untuk boleh kembali berdonor jika (dilakukan secara manual tanpa Apheresis).

“Tetapi tetap maksimum hanya diperbolehkan sebanyak 3 kali donor saja agar titer antibodi pendonor dapat dijaga.Kita berharap semoga  dikemudian hari tidak terulang lagi tabiat buruk; “sudah basah kuyup tersiram hujan, baru sibuk mencari payung”. Mestinya sebagaimana provinsi-provinsi lainnya, “plasmaferesis” sudah bisa dilakukan di Lampung sejak Januari yg lalu bukan di akhir Juli baru sibuk berencana mendatangkannya,”paparnya.

Diluar urusan salah sebut, Affan mengaku heran dengan kinerja Pemprov yang selalu terlambat dibanding dengan Provinsi lain.

“Di luar urusan salah sebut itu, bagi saya yg lebih menjengkelkan mengapa Lampung selalu terlambat dibandingkan provinsi lainnya? Dulu di awal pandemi kita ingat polemik soal mesin PCR Test, ketika Sumsel sudah ada 2 unit bahkan Sumut sudah 3 unit, Lampung baru mau menerima kiriman 1 unit,”ujarnya.

Sekarang terulang lagi di mesin Apheresis-Plasmaferesis, sejak awal tahun 2021 sudah ada 31 UDD PMI yang punya mesin ini, ternyata belum termasuk Lampung dan di akhir Juli ini setelah ledakan penyebaran terjadi barulah sibuk mendatangkannya.

“Secara subyektif bagi saya itu sebuah keputusan terlambat yang tampaknya ingin dikemas secara dramatis agar terkesan patriotik. Tidak apa-apa walaupun terlambat daripada tidak sama sekali,”tandasnya.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed