Operasi pasar minyak goreng yang digelar oleh Dinas Perdagangan Lampung Utara, Senin (21/02/2022), nampaknya bakal berbuntut panjang. Diketahui, OP Migor kali ini dilaksanakan di tiga titik lokasi, yaitu di Kantor Dinas Perdagangan, Pasar Dekon, dan Pasar Sentral. Ironinya, niat baik pemerintah membantu masyarakat telah menimbulkan kerumunan masyarakat yang luar biasa untuk mendapatkan minyak goreng, padahal Kabupaten Lampung Utara masuk dalam Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3.
Praktisi hukum William Mamora, SH, mengatakan, seharusnya pelaksanaan OP Dinas Perdagangan Kabupaten Lampung Utara dapat dicegah agar tidak terjadi, dengan memberi sumbang saran pemikiran, karna selain potensi pidana, ini merupakan kebijakan yang tidak populer (Blunder).
” Dinas pasar sebaiknya bisa koordinasi dengan dinas sosial terkait Data KPM ( Kelompok Penerima Manfaat) untuk mendistribusikan minyak goreng bersubsidi atau melalui aparatur Lurah dan Desa. Karena, pemerintah saat ini melarang adanya kerumunan, dengan kerumunan penyebaran covid 19 bisa meluas. Harusnya ada sanksi itu,” ujarnya, saat ditemui di PN Kotabumi, Hari ini.
Willi sapaan akrabnya, mengingatkan, bahwa pelanggar kerumunan di tengah masa pandemi Covid-19 merupakan salah satu bentuk pelanggaran pidana. Aturan tersebut jelas tertuang dalam UU No 6 Tahun 2018, tentang Kekarantinaan Kesehatan. Di dalam pasal 93 UU No.6/2018 tersebut merupakan norma dan asas yang mengikat sanksi pidana bagi siapapun yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
” Bahkan siapapun yang menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan juga bisa menjadi subyek pelaku tindak pidana,” ucapnya.
“Mereka (Pejabat) tersebut kan dalam keadaan penuh kesadaran, pengetahuan, Kapasitas Jabatan dan levelitas edukasinya harusnya sadar dan mengetahui bahwa menciptakan kerumunan massa adalah perbuatan melawan hukum dalam hal ini melanggar penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan bahkan konyolnya melanggar aturan yang mereka buat sendiri,” Imbuh Willi.
Menyikapi pelanggaran kerumunan massa di tengah massa pandemi seperti sekarang, dalam hal ini tidak melihat Subyek hukumnya. Artinya, siapapun pelanggar kerumunan bisa dijerat hukum pidana, kita berkaca pada Kasus Imam besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Syihab.
” Jeratan hukum ini tidak melihat siapakah RS (Rizieq Syihab) dalam kapasitas sebagai Salah Satu ulama besar. Mengingat Indonesia memegang prinsip rule of law dengan persamaan kedudukan di hadapan hukum, sehingga tidak ada sikap eksepsionalitas dan diskriminasi hukum dalam kasus seperti ini,” Kata Willi.
Selain itu, menurut William, Pasal 216 juga dapat dipergunakan sebagai alternatif atas dugaan pelanggaran atas penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Karena itu, menurutnya, siapapun yang dengan sengaja dan secara sadar (Opzet bij Als Oogmerek) bahwa membuat penyelenggaraan kegiatan seperti Operasi Pasar yang baru saja digelar oleh Dinas Perdagangan LU yang diketahui baik secara langsung maupun pantauan dari media sosial mengakibatkan kerumunan massa adalah melanggar ketentuan UU (Pasal 93 UU No. 06/2018), maka perbuatan itu adalah wederrechtelijkheid (perbuatan melawan hukum) yang dapat dianggap sebagai Subjek Tindak Pidana.
“UU ini yang dapat dikenakan sanksi pidana, tanpa ada diskriminasi kepada siapapun subjek pelakunya, apalagi Pejabat,” tukasnya.
Komentar