oleh

Pengawasan Partisipatif : Upaya Efektif Mengatasi Pelanggaran Dan Politik Uang Dalam Pemilihan Umum

-Opini-312 views

Oleh:

Deki Kurniawan, S.Sos

Pendahuluan

Demokrasi saat ini sudah menjadi pilihan yang dianggap terbaik untuk mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara oleh sebagian besar negara-negara di belahan dunia. Di Indonesia setelah melalui dinamika kehidupan politik yang panjang. Dalam negara demokrasi, partisipasi pemilih menjadi elemen penting demokrasi perwakilan. Ia adalah fondasi praktik demokrasi perwakilan. Persoalannya, terdapat sejumlah masalah partisipasi pemilih yang terus berputar dalam setiap pelaksanaan pemilu. Sayangnya, persoalan itu tidak banyak diungkap dan sebagian menjadi ruang gelap yang terus menyisakan pertanyaan.

Beberapa persoalan terkait dengan partisipasi dalam pemilu diantaranya adalah fluktuasi kehadiran pemilih ke TPS, suara tidak sah yang tinggi, gejala politik uang, misteri derajat kesadaran politik warga, dan langkanya kesukarelaan politik. Masalah tersebut perlu dibedah sedemikian rupa untuk diketahui akar masalah dan dicari jalan keluarnya. Harapannya, partisipasi dalam pemilu berada pada idealitas yang direalisasikan. Oleh karena itu, program riset menjadi aktivitas yang tidak terhindarkan dalam manajemen pemilu.

Partisipasi politik rakyat tentu tak lepas dari kondisi atau sistem politik yang sedang berproses. Sistem kepolitikan bangsa Indonesia hingga dewasa ini telah berkali-kali mengalami perubahan, mulai dari orde baru sampai pada reformasi. Disadari bahwa reformasi sering dimaknai sebagai era yang lebih demokratis. Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih di TPS (Voter turn-out). Partisipasi pemilih sejak pemilu 1999 sampai dengan pemilu 2014 bergerak fluktuatif. Anggka Non Voting dari pemilu ke pemilu meningkat pula, tercatan pada pemilu 2014 partisipasi masyarakat secara nasional sebesar 75,10% sedangkan sebanyak 24,90% tidak mengikuti pemilu. Pemilu tahun 2019 partisipasi masyarakat meningkat sebesar 81,9 persen, melebihi angka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar 77,5 persen.

Dengan tingginya partisipasi masyarakat tentunya hal ini tidak menjadi alasan bagi penyelenggara pemilu untuk berhenti meningkatkan kualitas kepemiluan. Baik dari segi penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum dan perangkatnya, dari segi kualitas pemilih dan juga perbaikan sistem kepemiluan yang saat ini dirasa kurang efektif dan efesien.

Secara umum tujuan utama dari pemilihan umum secara langsung adalah terbentuknya sebuah struktur politik lokal dan nasional yang demokratis serta sistem pemerintahan yang mampu berjalan secara efektif. Pemilu yang berkualitas pada dasarnya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dilihat dari sisi proses dan hasilnya. Pemilu dapat dikatakan demokratis dan berkualitas dari sisi prosesnya apabila pemilu itu berlangsung secara demokratis; aman, tertib, dan lancar sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sedangkan apabila di lihat dari sisi hasilnya, pemilu itu harus dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat dan pemimpin negara yang mampu mensejahterakan rakyat, di samping dapat juga mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata dunia Internasional. (Rozali Abdullah, 2009).

Selain persoalan tingkat partisipasi pemilih, dan suara sah dan tidak sah terdapat masalah yang sangat marak dan mengemuka di masyarakat, yaitu terkait menguatnya praktek politik uang dan semakin pragmatis serta transaksionalnya pemilih. Hal ini sejalan dengan hasil data riset yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia tentang praktik politik uang pada Pemilu 2019 :

Baca Juga:  Angka Merah Raport 3 T di Lampung

“Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyatakan bahwa pemilih yang terlibat politik uang dalam pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standard internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai Negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia”.

Fenomena politik uang tentunya dipengaruhi banyak faktor, mulai dari prilaku caleg, kapasitas pemilih, profesionalisme penyelenggara, penerapan fungsi parpol, serta ketersediaan perangkat hukum yang tidak handal. Politik uang tentu sangat menggagu kualitas demokrasi yang ingin dicapai, oleh karena itu mengkaji persoalan politik uang tersebut merupakan bagian dari usaha untuk memetakan praktek politik uang terjadi, bagaimana polanya, serta bagaimana formula menekan praktek politik uang melalui pelibatan masyarakat dalam mengatasi masalah politik uang.

Ditengah maraknya praktek politik uang terdapat kondisi yang anomali, dimana banyaknya penyelenggara pemilu yang justru menjadi sumber masalah. Berdasarkan laporan kinerja DKPP yang disampaikan Dr. Ida Budhiati masiih terdapat aduan yang berkaitan pelaksanaan tuugas penyelenggara Pemilu pada tahun 2019, khususnya untuk Pemilu 2019 sebanyak 415 aduan yang diterima DKPP dari Januari hingga 4 Desember 2020 melibatkan 698 orang diadukan. Berdasarkan lembaga, penyelenggara Pemilu dari KPU Kabupate/Kota adalah yang terbanyak diadukan dengan 334 orang. Di posisi kedua adalah penyelenggara Pemilu dari Bawaslu Kabupaten/Kota dengan sebanyak 229 orang.

Berangkat dari beberapa problem pemilu di atas, maka untuk memperkuat penyelenggaraan pemilu di masa yang akan datang membutuhkan keterlibatan masyarakat dalam mengawasi penyelenggaraan pemilu dalam bentuk gerakan pengawasan pemilu partisipatif. Khususnya dalam mengatasi Pratik politik uang yang sangat mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.

Konsep Pemilihan Umum

Pemilihan umum sering disebut juga dengan ”Political Market”, artinya bahwa pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu/masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial (perjanjian masyarakat) antara peserta pemilihan umum (partai politik/perorangan) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik melalui media massa cetak, audio (radio) maupun audio fisual (televisi) serta media lainnya seperti spanduk, pamflet, selebaran bahkan komunikasi antar pribadi yang berbentuk face to face (tatap muka) atau lobby yang berisi penyampaian pesan mengenai program, platform, azas, idiologi serta janji-janji politik lainnya guna meyakinkan pemilih sehingga pada pencoblosan dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai politik/peserta perorangan yang menjadi peserta pemilihan umum untuk mewakilinya dalam badan legislatif maupun eksekutif.

Pemilu dalam pandangan minimalis merupakan proses pengambilan kebijakan umum, mempunyai makna penting, yaitu merupakan proses terbaik dibanding, misalnya sistem karir atau pengangkatan untuk menentukan pemimpin politik, kemudian, memungkinkan pergantian kekuasaan secara berkala dan membuka akses bagi aktor-aktor baru masuk ke dalam arena kekuasaan, dan memungkinkan partisipasi rakyat secara langsung untuk menentukan pemimpin sesuai dengan kehendak mereka. (Sutoro eko, 2006). Pemilihan umum adalah pemberian suara oleh rakyat melalui pencoblosan atau pencontrengan tanda gambar untuk memilih wakil-wakil rakyat menjadi anggota legislatif, atau menjadi kepala pemerintahan. Fungsi pemilu adalah mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota legislatif atau kepala pemerintahan. Sementara tujuan dari pemilu ada tiga :
Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum.

Baca Juga:  Marah Tanpa Solusi Itu Ciri Tidak Kompeten

Mekanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada legislatif maupun eksekutif sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin.
Sarana memobilisasikan atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.

Pemilu sebagaimana kita pahami merupakan perwujudan dari negara yang menganut sistem demokrasi. Sutoro Eko (2006) mengemukakan bahwa pemilu yang demokratis (kompetitif, liberal, dan partisipatif) membutuhkan partisipasi pemilih yang rasional-otonom, yaitu pemilih yang menggunakan hak pilihnya secara bebas, terbuka, dan mandiri dengan menggunakan referensi secara rasional berdasarkan idiologi dan program partai. Sementara itu, Eep Syaepulah Fatah mengatakan bahwa pemilu yang demokratis harus memiliki dua syarat; yaitu: (1) Ada pengakuan terhadap hak pilih universal, semua warga negara, tanpa pengecualian yang bersifat politik dan idiologis, diberi hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. (2) Ada keleluasaan untuk membentuk tempat penampungan bagi pluralitas aspirasi masyarakat.

Uang Dalam Politik: Resiko Potensial

Tanpa uang dalam politik, persaingan sistem multipartai yang demokrasi tidak dapat berjalan, meskipun pemerintah terlibat dalam pembiayaan partai. Seperti kebebasan berbicara, pendanaan politik berhubungan dengan demokrasi yang sehat dan kuat. Hukum dan peraturan diperlukan untuk mengontrol resiko pendanaan politik tanpa mengganggu hak dasar warga negara untuk menyediakan pendanaan bagi calon anggota legislatif atau partai politik pilihan mereka.

Resiko potensial yang muncul dalam keterlibatan uang dan politik, diantaranya:
Permainan yang tidak adil, biasanya partai politik yang berkuasa mengontrol aparatur pemerintah dan menggunakannya untuk kepentingan mereka. Dan partai politik yang berkuasa juga memiliki akses ke dalam sumber pendanaan negara. Serta kontrol partai politik yang berkuasa terhadap media massa.
Tidak adanya kesempatan yang sama untuk masuk dalam Kantor (Kepengurusan Partai atau Daftar Caleg, Calon Kepala Daerah), di negara yang menggunakan daftar partai kemungkinan calon membayar untuk masuk dalam daftar.

Politisi yang Terkooptasi, ketakutan yang umum dalam keterlibatan uang dalam politik adalah pendanaan oleh perusahaan besar atau individu kepada partai politik dan kandidat. Yang dapat mempengaruhi proses politik tergantung besaran uang atau kontribusi pendanaan.

Politik yang tercemar, korupsi bisa dikarenakan ketika politisi mendapatkan uang dari sumber yang ilegal.

Beberapa contoh ilegal dari pendanaan politik ketika pemilihan dan setelah pemilihan. Contoh ilegal dari pendanaan politik ketika pemilihan, yaitu: (1) Membeli suara, dan (2) Menyuap media massa. Sedangkan contoh ilegal dari pendanaan politik setelah pemilihan (setelah terpilih), antara lain: (1) Menyuap, (2) Menjual suara, dan (3) Memberikan hadiah, memberikan paket wisata, dan lainnya.

Mengawasi Politik Uang

Masalah politik uang sangat sulit untuk diatasi, hal ini dikarenakan praktek politik uang sudah menjadi sistem yang akut. Mulai dari partai politik yang tidak selektif, penyelenggara yang serba terbatas, calon-calon wakil rakyat yang instan, dan masyarakat yang tidak berpikir panjang serta ketiadaan aktor-aktor demokrasi yang mengawal proses pemilu secara independen. Namun demikian, terdapat beberapa upaya yang bisa dilakukan dalam mengawasi politik uang, yaitu:

Baca Juga:  Dunia Baru Di Hari Buruh

Pembatasan kontribusi pendanaan (batas minimal pendanaan), terdapat beberapa negara yang memiliki tipe aturan pembatasan pendanaan kampanye dan partai, pendekatan ini memberikan batas legal kontribusi pendonor.

Pelarangan kontribusi bagi WNA, hampir beberapa negara melarang pendanaan dari beberapa grup dan individu, terutama perusahaan asing, organisasi asing.

Pembatasan pengeluaran, Pembatasan waktu kampanye Pelaporan Keuangan terhadap Masyarakat Pendanaan dari masyarakat
Pendanaan dari pemerintah untuk partai politik
Pendanaan untuk para kandidat dalam kampanye Insentif pajak Siaran media massa secara gratis atau mendapatkan potongan harga Subsidi yang lain.

Selain upaya pengawasan, upaya yang mutlak dilakukan adalah penegakan hukum yang konsisten dan tegas terhadap segala pelanggaran politik uang. Selama ini penegakan hukum cenderung gagal disebabkan oleh: (1) Kurangnya kemauan untuk menegakkan hukum, (2) Halangan dari aturan hukum yang tidak jelas, (3) Sumber pendanaan yang kurang, dan (4) Lemahnya institusi penegakan hukum. Beberapa kelemahan tersebut pula yang mendorong, praktek politik uang semakin menggurita dalam penyelenggraan pemilihan umum di Indonesia, termasuk dalam pemilihan kepala daerah bahkan saat pemilihan kepala desa.

Penutup : Model Pengawasan Partisipatif

Bawaslu telah diberikan mandat undang-undang untuk menjalankan fungsi pengawasan dalam keberlangsungan pemilihan umum. Bawaslu juga telah dibekali struktur kelembagaan yang kuat, bahkan hingga tingkat paling bawah. Begitu juga dengan anggaran pengawasan, diberikan negara untuk mengontrol secara berkala. Selain itu, bawaslu sebagai struktur yang terlembaga memiliki keterbatasan, khususnya personil dan struktur yang bertugas mengawasi.

Bawaslu hanya diisi oleh lima orang di tingkat pusat dan tiga orang di tingkat provinsi yang bertugas lima tahun, sedangkan Panitia Pengawas Pemilu kabu-paten/kota beranggotakan tiga orang bersifat ad hoc, serta beberapa anggota di tingkat kecamatan dan lapangan yang jumlahnya sangat terbatas. Tantangan penyelenggaraan pemilu kedepan semakin kompleks, yakni kecenderungan hadirnya beragam pelanggaran. Pelanggaran pemilu tidak hanya mengganggu kerja penyelenggara, tetapi juga hak politik warga negara.

Namun di sisi lain, terdapat sejumlah hambatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilihan umum khususnya dalam menekan permasalahan masalah politik uang, diantaranya: (1) Disparitas jumlah laporan dengan tindaklanjut penanganan pelanggaran; (2) Kesenjangan persepsi penanganan pelanggaran; dan (3) Tidak adanya kekuatan pendorong terhadap instansi terkait dalam penegakan hukum pemilu.

Berangkat dari kondisi tersebut, seluruh elemen kepemiluan perlu memperkuat kerjasama dalam mengelola pemilu, khususnya partisipasi masyarakat secara utuh dan nyata, berupa: (1) Memantau daftar pemilih; (2) pengawasan semesta dan penyediaan teknologi informasi untuk memudahkan pelaporan pelanggaran pemilu seperti politik uang; (3) memotivasi masyarakat dengan pemilihan duta pengawasan dan democracy heroes; (4) kerjasama dengan pemantau dan pembentukan paralegal; (5) internalisasi partisipasi dalam pengawas pemilu; dan (6) kemitraan terpadu pengawasan dengan melibatkan perguruan tinggi, ormas, tokoh-tokoh keagamaan dan dunia usaha. Dengan demikian kesadaran partisipasi secara aktif di setiap lapisan masyarakat dapat tumbuh dan berkembang dalam mewujudkan suatu sistem politik yang ideal guna menekan pelanggaran yang dapat terjadi dalam proses demokrasi khususnya pemilihan umum.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed