Oleh: Yulius Andesta
Bahwa adalah suatu fakta, istilah hukum hibah digunakan oleh pemerintah dalam penggunaan anggaran dan lain-lain, yang ujung-ujungnya menjadi lahan korupsi dan menimbulkan persoalan-persoalan hukum.
Salah satu pintu masuk perbuatan korupsi adalah melalui penggunaan istilah hukum Hibah dalam mengelola anggaran dan aset negara atau daerah. Mengapa dapat terjadi demikian?
Bahwa suatu fakta saat ini pun terjadi, istilah hukum hibah digunakan oleh pemerintah dalam penggunaan anggaran. Diuraikan dalam LHP BPK RI Perwakilan Lampung, pada Peraturan Pemerintah Nomor: 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai acuan ketentuan perundang-undangannya.
Pasal 62 ayat (1) PP tersebut menyatakan: Belanja hibah sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (1) huruf e, diberikan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, dan/atau badan dan lembaga, serta organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali ditentukan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang saat ini menimbulkan persoalan hukum di Kabupaten Lampung Timur.
Pada LHP BPK RI Perwakilan Lampung atas Laporan Keuangan Pemkab Lamtim Tahun 2022, dengan nomor: 32.B/LHP/XVIII.BLP/05/2023, yang dirilis Mei 2023, ada tujuh OPD yang bermasalah dalam penyaluran dana hibah, terdiri dari Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfotik), Bagian Kesra Sekretariat Daerah, Dinas Sosial, Dinas Lingkungan Hidup dan Perkim, Dinas Perikanan dan Peternakan, dan Dinas Kesehatan, dengan anggaran yang terindikasi disalahgunakan sekitar Rp 7,8 miliar.
Persoalan hukum terjadinya tindak pidana korupsi dari penggunaan istilah dana hibah ini telah terjadi di tingkat pusat dan daerah. Menngapa terjadi demikian dan dari mana asal istilah hukum hibah tersebut, bagaimana syarat hukum hibah? Apakah istilah hukum hibah dapat dipakai untuk penggunaan anggaran dan aset negara atau pemerintah daerah?
Ini bedahannya: Pertama; Bahwa hukum itu mengatur agar menggunakan sesuatu sesuai pada tempatnya. Oleh karenanya, perlu dan penting mengetahui atau memahami terlebih dahulu istilah hibah tersebut, digunakan untuk apa, apa syaratnya dll. Sehingga persoalan menjadi terang dan jelas.
Pengertian hibah dalam Islam, berasal dari kata wahaba, yang artinya lewat satu tangan ke tangan yang lain.
Hibah juga dapat dihubungkan dengan kesadaran untuk melakukan kebaikan.
Hibah dilakukan dengan memberikan sesuatu kepada orang lain selama masih hidup sebagai hak miliknya tanpa mengharap balasan.
Berbeda jika seseorang tersebut mengharapkan balasan dari Allah SWT, maka hal ini dinamakan dengan sedekah.
Bahwa istilah harta yang diberikan sebagai hibah, ada sejumlah syaratnya; punya nilai kebaikan dan manfaat. Merupakan harta yang sah dimiliki wahib (pemberi hibah), dan tidak lebih dari sepertiga harta yang dimiliki wahib.
Sebagai pemberi hibah, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1) Ia harus menjadi pemilik sah dari barang yang dihibahkan. 2) Dewasa (baligh). 3) Tidak ada halangan dalam melakukan perbuatan hukum.
Bedahan kedua; Bahwa hibah mempunyai akibat perpindahan hak milik, otomatis pihak penghibah dituntut untuk sebagai pemilik yang mempunyai hak penuh atas benda yang dihibahkan itu, tidak boleh terjadi seseorang menghibahkan sesuatu yang bukan miliknya. Bila hal ini terjadi maka perbuatan hibah batal demi hukum.
Syarat akad hibah terdiri dari; a. Keikhlasan niat. Pemberi hibah harus memiliki niat yang tulus dan ikhlas dalam memberikan harta atau properti kepada penerima hibah.
b. Kepemilikan ak yang sah. c. Penyerahan hibah kepada penerima. d. Tidak ada ganti rugi atau pembayaran balik. e. Kesepakatan dan persetujuan para pihak.
f. Ada ijab dan kabul dalam pelaksanaan hibah.
Mesti dipahami bahwa hibah merupakan transaksi langsung, maka penerima hibah harus berada dalam wujud. Artinya, penerima hibah tidak boleh berada dalam kandungan dan harus sudah cukup umur untuk bertransaksi.
Selain itu, ada pula syarat mawhub atau syarat yang mengatur benda/harta yang diberikan.
Sedangkan rukun hibah yang paling penting adalah ijab kabul, karena ini merupakan akad yang mirip seperti transaksi jual beli. Tercantum pada kitab Al-Masbuth, ada penambahan berupa qabdhu, yang artinya pemegangan atau penerimaan, sebab hibah harus memiliki ketetapan dalam kepemilikan.
Menurut ulama Hanafiyah, meski penerima hibah boleh mengembalikan barang yang telah disepakati, hukumnya makruh, karena termasuk perilaku penghinaan terhadap pemberi hibah.
Pembedahan ketiga; Sangat jelas bahwa: 1. Istilah hukum hibah berasal dari hukum Islam.
Berasal dari Bahasa Arab, dari kata wahaba atau hibah, yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain selama masih hidup sebagai hak miliknya tanpa mengharap balasan.
2. Subjek hukum selaku pemberi hibah adalah orang atau personelijk yg bukan badan hukum atau lembaga.
3. Barang/ objek yg dihibahkan bersumber dari hak milik pribadi si pemberi hibah, (personelijk) pemilik sah dari barang yang dihibahkan.
Yang keempat; Bahwa dari point 1 sampai 3 di atas, hukum hibah dipergunakan bagi seseorang (personelijk) pemilik hak atas suatu barang/harta yang memberikan harta hak miliknya bertujuan untuk kebaikan ataupun kepentingan umum.
Bahwa sangat jelas, istilah hibah tidak dapat dipergunakan oleh lembaga negara/ pemerintah daerah dan suatu badan.
Sebab anggaran dan aset negara atau pemerintah daerah adalah bukan milik perorangan dan atau bukan hak milik negara/pemerintah melainkan hak milik rakyat dan untuk kepentingan umum.
Oleh karena penempatan, penggunaan istilah hukum hibah bukan pada tempatnya, sehingga terjadi banyak permasalahan hukum dan disalahgunakan, memberikan pintu bagi pelaku korupsi. *praktisi hukum.
Komentar