Ghirah anggota DPRD Lampung Utara (Lampura) kini benar-benar diambang keruntuhan. Mengapa demikian? Karena satu demi satu terungkap adanya praktik terindikasi manipulasi dalam kegiatan mereka selaku wakil rakyat. Contohnya, dalam kegiatan reses.
Semua tahu, kegiatan reses merupakan masa di mana para anggota Dewan Yang Terhormat menyerap dan menindaklanjuti aspirasi konstituen maupun pengaduan masyarakat guna memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Pada 2022 lalu, anggota DPRD Lampura melakukan tiga kali reses. Pertama pada tanggal 2 sampai 5 Februari, reses kedua pada 8 sampai 11 Juni, dan yang ketiga dilakukan pada 27 hingga 30 November.
Untuk kegiatan reses 45 anggota Dewan di 2022, Sekretariat DPRD Lampura menganggarkan dana Rp 2.626.000.000, yang dipergunakan sebanyak Rp 2.617.301.000 atau 99,67%. Yaitu untuk belanja alat tulis Rp 1.439.000, belanja kertas dan cover Rp 1.874.000, belanja bahan cetak Rp 13.500.000, dan untuk belanja benda pos Rp 500.000.
Selain itu, juga untuk belanja bahan komputer Rp 2.588.000, belanja makan dan minum rapat sebesar Rp 1.296.000.000, belanja sewa alat kantor lainnya Rp 507.600.000, belanja sewa alat musik Rp 540.000.000, belanja perjalanan dinas biasa Rp 166.800.000, dan perjalanan dinas dalam kota sebanyak Rp 81.000.000.
Lalu dimana ditemukan bukti bila reses Dewan Lampura tahun 2022 diwarnai praktik manipulasi?
Begini runtutannya. Merunut pada LHP BPK RI Perwakilan Lampung atas Laporan Keuangan Pemkab Lampung Utara Tahun 2022 yang dirilis 16 Mei 2023, pada reses tahap pertama yang menjadi konsentrasi pemeriksaan adalah bukti laporan pertanggungjawaban (SPJ) atas belanja makan minum rapat dan belanja sewa alat kantor lainnya. Adanya praktik mengakali anggaran dan pelanggaran terhadap ketentuan itu, memang terbukti.
Untuk diketahui, Sekretariat DPRD Lampura menunjuk tiga penyedia makan dan minum rapat atas reses tahap pertama ini. Yaitu CV RR B, CV SM, dan CV WDM. Ketiganya pun diikat dengan kontrak resmi.
Yakni kontrak dengan nomor: 024/25/PPK/SPK/12-LU/2022 untuk CV RR B, kontrak bernomor: 024/46/PPK/SPK/12-LU/2022 untuk CV SM, dan kontrak dengan nomor: 024/37/PPK/SPK/12-LU/2022 untuk CV WDM. Ketiga kontrak tersebut dikeluarkan pada 28 Januari 2022.
Berdasarkan isi kontrak tersebut, CV RR B melaksanakan kegiatan pengadaan makanan dan minuman rapat senilai Rp 143.586.000, kegiatan sewa alat kantor lainnya Rp 169.128.000, dan kegiatan sewa alat musik sebesar Rp 179.910.000. Totalnya mencapai Rp 492.894.000.
Sedangkan CV SM hanya menyiapkan makanan dan minuman rapat senilai Rp 143.928.000, dan CV WDM juga menangani kegiatan makan minum rapat saja, sebesar Rp 143.712.000. Keseluruhan anggaran untuk biaya makan minum rapat ini mencapai Rp 780.534.000.
Untuk belanja sewa alat kantor lainnya berupa kursi dan tenda, serta sewa alat musik berupa sound system untuk kegiatan reses tahap pertama 45 anggota DPRD Lampura, hanya CV RR B sebagai penyedia jasanya. Dan terikat dalam kontrak resmi bernomor: 024/10/PPK/SPK/12-LU/2022 dan 024/18/PPK/SPK/12-LU/2022, tanggal 28 Januari 2022.
Berdasarkan berita acara pembayaran, ditemukan fakta bila seluruh pembayaran sesuai isi kontrak telah direalisasikan, yaitu sebesar Rp 780.534.000. Dengan memperhitungkan PPh dan PPn sebesar Rp 85.149.165, maka yang diterima ketiga penyedia jasa riilnya sebanyak Rp 695.384.835.
Sampai disini, semua memang tampak senyatanya. Namun, setelah tim BPK melakukan “pemeriksaan” terhadap PPTK Sub Kegiatan Pelaksanaan Reses Sekretariat DPRD Lampura, berinisial DJP, adanya praktik manipulasi tersebut terungkap terang-benderang.
DJP mengakui, ketiga penyedia jasa yang terikat kontrak resmi dengan Sekretariat DPRD Lampura itu, senyatanya tidak melaksanakan kegiatan sebagaimana tercantum di dalam kontrak.
Jadi siapa yang melaksanakan kegiatan tanpa kontrak tersebut? DJP menyebut nama: PPH. Dialah pengatur semua kegiatan yang dalam kontrak atas nama CV RR B, CV SM, dan CV WDM.
Kepada tim BPK RI Perwakilan Lampung, PPH mengakui bahwa ketiga perusahaan yang terikat kontrak tersebut memang tidak pernah menyediakan makan minum kegiatan reses 45 anggota Dewan. Pun tidak menyediakan kursi, tenda, serta sound system sebagaimana tercantum dalam kelima kontrak yang mereka tandatangani. Tidak bisa disangkal, ini bukti pertama praktik manipulasi terhadap kegiatan reses wakil rakyat Lampura pada tahap pertama, yaitu tanggal 2 sampai 5 Februari 2022.
Mengenai telah dilakukannya pembayaran atas kegiatan yang tercantum dalam kontrak, PPH menguraikan, uang tersebut ditransfer oleh bendahara pembantu pengeluaran Sekretariat DPRD Lampura ke rekening penyedia jasa, yaitu CV RR R, CV SM, dan CV WDM. Namun, cek giro atas nama rekening ketiga penyedia jasa yang terikat kontrak tersebut, dikuasainya.
PPH juga mengaku, cek giro yang dipegangnya kemudian diserahkan kepada DW, pegawai wanita yang merupakan staf PPTK Sub Kegiatan Pelaksanaan Reses.
Untuk apa DW memegang cek giro milik tiga perusahaan tersebut? Masih menurut pengakuan PPH, cek giro itu digunakan oleh DW untuk pembayaran pelaksanaan kegiatan reses tahap pertama sebesar Rp 695.384.835.
Lalu apa yang didapat PPH sebagai “pengatur” dalam urusan ini? Terus terang, ia mengakui menerima fee dari “pekerjaannya” itu sebanyak Rp 15.000.000.
Benarkah DW menerima cek giro dari PPH? Staf di Sekretariat DPRD Lampura ini, tidak menampik. Bahkan ia menguraikan, dana sebesar Rp 613.000.000 yang ia tarik dari cek giro milik tiga perusahaan terikat kontrak dengan Sekretariat Dewan yang sebelumnya dikuasai PPH, diserahkan kepada 45 anggota DPRD Lampura, dengan jumlah yang bervariasi untuk masing-masing wakil rakyat dalam rangka kegiatan reses.
Dalam keterangan lainnya, DW mengaku yang benar-benar diserahkan kepada anggota DPRD Lampura hanya sebesar Rp 376.000.000 dari Rp 613.000.000 yang ia tarik dari cek giro milik CV RR B, CV SM, dan CV WDM.
Benarkah 45 anggota DPRD mendapatkan uang sejumlah yang dikatakan DW? Hanya 27 anggota Dewan yang menjawab permintaan keterangan oleh BPK. Dan menyatakan, hanya menerima dana reses sebesar Rp 347.800.000 saja. Bukan Rp 376.000.000 sebagaimana pengakuan DW. Sehingga terjadi selisih sebanyak Rp 28.520.000.
BPK mengakui, sampai batas akhir pemeriksaan, keberadaan anggaran yang telah dicairkan atas nama tiga penyedia jasa kegiatan reses sebesar Rp 237.000.000, belum dapat ditelusuri.
Dana rakyat Lampura sebanyak itu adalah hasil perhitungan dari: Rp 613.000.000 yang dicairkan DW dikurangi Rp 347.480.000 yang diterima anggota Dewan, dan dikurangi lagi oleh selisih atas pengakuan DW terhadap dana yang dikeluarkan untuk anggota Dewan, sebanyak Rp 28.520.000. Hal ini layak disebut sebagai praktik manipulasi kedua dalam kegiatan reses 45 anggota DPRD Lampura tahap pertama di 2022.
Terungkap juga bila sebagian anggaran yang dikelola DW diserahkan kepada pihak lain yang tidak terkait langsung dalam kegiatan reses. Misalnya, pemberian fee untuk PPH sebanyak Rp 15.000.000, diberikan kepada sembilan tenaga kerja sukarela (TKS) yang bekerja di lingkungan Sekretariat Dewan sebesar Rp 2.500.000, masing-masing TKS menerima Rp 250.000, juga diberikan kepada empat orang TKS Sekretariat Dewan lainnya serta satu orang staf Bidang Perbendaharaan BPKA yang membantu administrasi pembayaran kegiatan reses sebesar Rp 6.000.000, dengan jumlah yang bervariasi untuk masing-masing orang.
DW juga mengaku, menyerahkan uang kepada jajaran pejabat di lingkungan Sekretariat DPRD Lampura sebanyak Rp 37.000.000, dengan jumlah yang bervariasi bagi masing-masing pejabat.
Itu pun masih ditambah Rp 13.400.000 dengan alasan untuk kebutuhan operasional Sekretariat DPRD, antara lain konsumsi makan minum. Juga dinyatakan, mengkeluarkan dana tambahan sebesar Rp 3.500.000 untuk pihak-pihak lain.
Dengan demikian, jumlah uang yang dikeluarkan sesuai pengakuan DW untuk kegiatan yang tidak sesuai ketentuannya, sebanyak Rp 77.150.000. Namun, berdasarkan hasil penelusuran lebih lanjut dan permintaan keterangan kepada pihak-pihak terkait kegiatan reses, BPK menemukan fakta jika keterangan dari pihak-pihak terkait berbeda dengan apa yang dijelaskan DW dalam penggunaan dana Rp 77.150.000 tersebut.
Lalu apa kata DW? Kepada tim BPK, staf PPTK Sub Kegiatan Pelaksanaan Reses Sekretariat DPRD Lampura itu mengaku, tidak memiliki bukti serah terima uang maupun dokumentasi lain untuk mendukung pernyataannya. Tentu, hal ini bisa disebut praktik manipulasi kegiatan reses yang ketiga.
Dari penelisikan terhadap penggunaan anggaran reses tahap pertama 45 anggota DPRD Lampura yang sarat praktik manipulasi ini, BPK menilai terjadi indikasi kerugian keuangan daerah sebanyak Rp 82.384.835, serta belanja kegiatan reses yang tidak dapat diyakini kewajarannya sebesar Rp 613.000.000 atas belanja yang diserahkan secara tunai kepada anggota DPRD.
Terjadinya praktik manipulasi atau memainkan anggaran reses ini, menurut BPK, akibat PPTK Sub Kegiatan Pelaksanaan Reses, DJP, terindikasi menyalahgunakan kewenangannya dalam melaksanakan dan mempertanggungjawabkan belanja barang dan jasa. Sedangkan DW selaku Pembantu PPTK Sub Bagian Kegiatan Pelaksanaan Reses telah melaksanakan kegiatan yang bukan wewenangnya.
Apa rekomendasi BPK? Direkomendasikan kepada Bupati Lampura agar memerintahkan Sekretaris DPRD memberi sanksi sesuai ketentuan kepada PPTK Sub Kegiatan Pelaksanaan Kegiatan Reses, DJP, serta memproses indikasi kerugian daerah dan mengembalikannya ke kas daerah, berupa belanja kegiatan reses sebesar Rp 82.384.835, dan belanja makan minum senilai Rp 484.679.500.
Sudahkah rekomendasi BPK tersebut dijalankan Sekretaris DPRD Lampura? Sampai berita ini ditayangkan, belum didapat penjelasan dari yang bersangkutan.
Komentar