Ratusan petani Lampung Timur dan Kotabaru, Lampung Selatan pada Rabu 10 Januari 2024 mendatangi Kantor Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Lampung. Mereka mengeluhkan persoalan lahan garapan yang selama ini dipergunakan bercocok tanam.
Ratusan petani tersebut juga didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Bandarlampung menyampaikan aspirasi kepada pemerintah setempat.
Direktur LBH Bandarlampung Sumaindra Jawardi mengatakan, kedatangan petani ini merupakan aksi lanjutan yang sebelumnya telah dilakukan di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Lampung.
“Aksi ini sebagai bentuk lanjutan dari berbagai konflik agraria yang terjadi di Provinsi Lampung,” kata dia.
Dia menyampaikan, hal itu terjadi di beberapa kabupaten seperti Lampung Timur.
“Mereka berkonflik terkait dugaan mafia tanah. Begitu juga dengan masyarakat di Desa Malangsari Lampung Selatan, seperti kita ketahui kawan-kawan di sana sejak Tahun 2020 sampai 2023 merasakan konflik mafia tanah. Dan hari ini masyarakat Lampung Timur yang merasakan,” terangnya.
Menurutnya, kedatangan mereka ke Pemprov Lampung sebagai bentuk dorongan agar pemerintah terkait baik eksekutif maupun legislatif dapat menyelesaikan permasalahan lahan yang terjadi.
“Secara fakta mafia tanah ini sangat merugikan masyarakat. Yang lebih bahaya mafia tanah berkerja secara teroganisir,” jelasnya.
Salah satu petani asal Lampung Timur, Suparjo yang berasal dari Sri Pendowo mengatakan mereka datang menuntut Pemprov Lampung untuk membatalkan sertifikat yang diterbitkan di lahan yang mereka garap.
“Kami hari ini datang dengan permohonan untuk meminta sertifikat yang sudah diterbitkan di lahan kami namun bukan atas nama penggarap itu dibatalkan,” ungkapnya.
Dia mengatakan jika memang betul lahan itu sudah dibebaskan dari kawasan hutan, tentunya mereka berharap sertifikat itu atas nama penggarap. “Karena lahan itu kan dulunya lahan Register 38 Lampung Timur, namun sudah 90 persen digarap oleh warga Sri Pendowo,” jelasnya.
Dia melanjutkan, total masyarakat yang menggarap sebanyak 390 orang di luas lahan seluas 401 hektar yang terletak di 7 desa. Yang mana mereka telah menggarap di lahan tersebut sejak 1964 secara turun temurun.
“Lahan itu juga pernah dihutankan pada Tahun 1991. Kalo kami ini tahu nya itu lahan Register, memang dulu tidak ada surat apapun. Karena itulah kami juga kaget kok bisa tiba-tiba muncul sertifikat namun bukan nama penggarap, nama sertifikat itu justru nama oknum per orangan,” katanya.
Sayang, dia tidak menyebutkan nama oknum tersebut. “Yang jelas itu sifatnya masih dugaan,” ujarnya.
Selanjutnya, Maryono petani penggarap lahan Kotabaru, Lampung Selatan juga mengeluhkan terkait lahan yang mereka garap saat ini. Apalagi setelah Pemprov Lampung menerapkan sistem sewa pada lahan tersebut.
“Dulu kami diizinkan secara lisan menggarap lahan itu, tapi kok sekarang muncul sewa. Karena itu kami menolak,” kata dia.
Pihaknya merasa terintimidasi karena diminta untuk membayar sewa lahan. Mereka juga mengeluhkan hingga saat ini belum dapat duduk bersama Komisi I DPRD Provinsi Lampung, BPK dan KPK.
“Kami sudah meminta untuk bertemu dengan Komisi I, BPK, KPK tapi sampai saat ini belum terlaksana. kami ingin mengadukan hal yang kami rasakan, karena saat ini Kotabaru kondisinya kritis. Banyak bangunan mangkrak, padahal itu dari uang rakyat dan itu merupakan ruang hidup bagi kami petani sebagai lahan garapan,” terangnya.
Maryono menuturkan, pada aksi hari ini dihadiri ratusan petani.
“Kurang lebih kami hadir hari ini dengan jumlah ratusan. Kami datang menggunakan 37 kendaraan (mobil truk),” tuturnya.
Komentar