Lampung – Dihadapan masyarakat Desa Bernung kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Anggota Komisi I DPRD Provinsi Lampung, Watoni Noerdin mengatakan Perda Nomor 2 tahun 2021 lahir, didasari banyaknya tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak di 3-4 tahun lalu. Sehingga, para aktivis perempuan berdiskusi bersama sejumlah unsur dan pihak, dengan harapan agar Lampung dapat meminimalisir, dan tidak terjadi lagi persoalan tindakan kekerasan.
“Saya bersyukur bisa bertemu masyarakat Bernung di kegiatan sosperda ini. Saya berharap, tolong pahami oleh kedua Pemateri yang sudah hadir. Agar, masyarakat disini bisa memahami isi Perda tersebut, dan diimplementasikan dilingkungan keluarga dan sekitar,” ungkapnya.
Karena, fakta di lapangan. Banyak jumlah kasus yang terjadi tindak kekerasan dilingkungan sekitar, rumah tangga dan sejenisnya. Dan warga atau tetangga melihat didiamkan saja. Tentu, respon dan sikap diam akan berimbas hukum kepada yang melihat dan mendiamkan tindakan kekerasan itu.
“Jadi, Ibu-ibu. Apabila kita melihat ada tindakan kekerasan dan berdiam diri, maka kita bisa dituntut. Artinya, kita harus ikut terlibat dan tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi. Minimal, cegah dengan melibatkan aparat Desa dan Babin,” tegasnya.
Selain itu, ada fakta menarik dilingkungan masyarakat sekitar. Yaitu, para perempuan lebih mengedepankan perasaan ketika proses ranah hukum sedang berjalan ketika terjadi tindakan kekerasan. Yaitu, meminta menghentikan proses hukum untuk suami tidak ditahan dan dikeluarkan,dengan dalih anak.
“Nah, ini sebenernya tidak boleh Bu. Padahal, ketika terjadi tindakan kekerasan, dan diproses hukum biarkan saja berjalan. Agar, ada efek jera dari sang suami. Minimal, di hukum 2-3 hari,” tegas Watoni.
Ditempat yang sama, Dosen Universitas Lampung, Handi Mulyaningsih mengatakan banyak hal tindakan kekerasan yang terjadi di provinsi lampung, terhadap perempuan dan anak. Diantaranya, kekerasan, fisik, seksual, ekonomi dan mental/mental.
Komentar