oleh

Iming-iming Tim Sukses

-Din Bacut-93 views

Din Bacut adalah seorang pemuda idealis yang muak dengan permainan politik kotor di kotanya.

Sebagai jurnalis muda yang masih memiliki integritas, ia mengamati bagaimana tim sukses pasangan calon bupati dan wakil bupati setempat berusaha menciptakan citra sempurna untuk calon mereka.

Meski faktanya kedua calon itu adalah sosok korup yang gemar berpesta dan menghamburkan uang rakyat, tim sukses mereka tanpa ragu menyebarkan propaganda yang menutupi borok tersebut.

Setiap kali ada pemberitaan kritis dari media, tim sukses langsung bergerak, menekan wartawan, mengancam stasiun TV, dan melancarkan kampanye hitam terhadap pihak yang berani membuka aib calon.

Din merasa mual dengan semua itu. Ia tahu betul bagaimana uang dan kekuasaan bisa membutakan banyak orang, termasuk orang-orang di sekitar calon yang bahkan tidak ragu membela kesalahan demi keuntungan pribadi.

Terjadi konflik batin Din, yang dipaksa memilih antara menyuarakan kebenaran atau menutup mata seperti banyak orang lainnya.

Sambil mengamati bagaimana tim sukses bekerja dengan wajah penuh kepalsuan, Din menyadari bahwa politik sering kali hanya soal citra, bukan kenyataan.

Dan ia bertanya-tanya, bagaimana mungkin kota mereka akan berubah menjadi lebih baik dengan dipimpin oleh pemimpin seperti itu?

Din Bacut memandang ke layar televisi di kafe kecil tempat ia biasa menyusun berita. Pidato kampanye dari pasangan calon bupati itu sedang tayang, dengan janji-janji kosong yang terdengar menggema.

Janji memberantas kemiskinan, korupsi, dan membangun masyarakat sejahtera. Ironis, pikir Din. Dirinya tahu fakta di balik wajah-wajah sumringah yang terpampang di layar kaca itu.

“Apa yang bisa kita harapkan dari calon yang suka korupsi, berpesta, dan tidak punya etika?” keluh Din kepada dirinya sendiri.

Baca Juga:  Komisioner Makelar Suara (Bagian II)

Seorang temannya, sesama jurnalis, duduk di sebelahnya dan menggeleng, “Tim sukses mereka itu luar biasa. Sampai pemberitaan media tentang mereka pun diawasi dan harus diancam kalau ada yang macem-macem.”

Din mendesah, “Kita hidup di negeri di mana uang adalah segalanya, bahkan di dunia pemberitaan.”

Namun, semakin hari, kegelisahannya semakin menjadi. Ia tahu dirinya harus melakukan sesuatu. Tapi beranikah ia melawan penguasa yang bertopeng di balik uang dan pengaruh, sementara banyak orang lain justru berlomba mencari muka?

Din Bacut baru saja selesai menyusun naskah beritanya saat ponselnya berdering. Di layar muncul nama yang sudah lama ia kenal,

Farid, seorang kerabat sekaligus tim sukses dari pasangan calon bupati yang kerap ia liput. Farid berbicara dengan nada yang terdengar dingin, hampir tanpa basa-basi.

“Din, aku bicara baik-baik karena kita sudah lama kenal. Kamu tahu sendiri, kota ini sangat menjunjung tinggi persaudaraan. Tapi pemberitaan tentang Mbak Sarah, kamu harus hapus. Jangan tambahkan berita buruk lagi. Kamu tahu kan bagaimana pengaruh keluarga kita di kota ini?”

 

Din terdiam, menimbang. Di satu sisi, ia menganggap Farid seperti kakaknya sendiri. Di sisi lain, ia tahu persis bahwa berita yang ia tulis adalah kebenaran.

Warga kota berhak tahu bahwa Sarah, calon bupati yang dielu-elukan sebagai “pemimpin ideal,” baru saja terciduk mabuk berat di klub malam terkenal.

Namun Farid terus berbicara, menawarkan iming-iming yang tidak sedikit demi menghapus berita itu.

“Ini bukan cuma soal uang, Din. Tapi kalau itu yang kamu mau, aku bisa berikan. Jangan bikin repot keluarga kita,” suara Farid mulai terdengar sedikit menekan.

Din merasa kecewa dan muak. Dia tahu bagaimana hubungan kekerabatan di kotanya menjadi pegangan, sesuatu yang tak mudah ia abaikan. Tetapi ada harga yang harus dibayar untuk setiap kompromi.

Baca Juga:  Sebelum Penggrebekan Walikota Sudah Lama Pisah Ranjang

Dan, bagi Din, harga itu terlalu mahal jika ia harus mengorbankan integritasnya.
“Farid, kamu tahu aku menghargai kita sebagai saudara,” kata Din pelan namun tegas,

“Tapi aku punya tanggung jawab pada masyarakat juga. Apa yang kita harapkan dari calon pemimpin yang mabuk-mabukan dan tak punya etika? Mereka pantas tahu siapa yang akan mereka pilih.”

Farid tidak senang dengan jawaban itu, dan ancaman mulai dilontarkan, terselubung di balik kata-kata manis. Namun Din tetap pada pendiriannya. Semakin keras tim sukses berusaha menekan dan menutupi kebenaran, semakin ia ingin berjuang agar suara rakyat tidak dibungkam.

Ketika telepon berakhir, Din merasakan konflik batin yang semakin mengurasnya. Ia harus memilih antara mempertahankan nama baik keluarga dan menjunjung kebenaran.

Di kota kecilnya, di mana kekeluargaan menjadi nilai utama, tindakannya akan dianggap sebagai pengkhianatan. Tapi ia tahu, kejujuran adalah harga mati bagi seorang jurnalis.

Dan sekeras apapun tekanan tim sukses untuk menutupi, Din berjanji tidak akan tunduk.

Di tengah gempuran intimidasi dan godaan uang yang tak terhitung jumlahnya, Din Bacut berjuang mempertahankan integritasnya.

Konflik ini menggambarkan realitas pahit seorang jurnalis yang ingin memegang teguh kebenaran, meskipun dihadapkan pada kekuatan keluarga, pengaruh uang, dan tekanan politik.

Kisah ini mengajak pembaca untuk mempertanyakan batasan etika dalam politik dan peran media yang seharusnya menjadi suara rakyat, bukan menjadi alat propaganda. Din Bacut adalah simbol harapan bagi mereka yang masih percaya pada kebenaran, meskipun di sekelilingnya sudah tertutup oleh kebohongan dan kemunafikan.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed