oleh

ASU, Pamer Paha Susu

-Din Bacut-318 views

Di sebuah warung kopi pinggir jalan, saat senja mulai bergulir, para tokoh masyarakat berkumpul. Ada Din Bacut, Lek Parno, Kyai Sudir, Sleman Kijing, dan Ali Bekot.

Warga provinsi Lontong ini tak mampu lagi menahan kegeraman mereka atas kampanye pasangan calon Arjun Galer dan Sutomo, yang lebih dikenal dengan sebutan “Pasangan ASU”.

Mereka merasa kampanye ASU kali ini bukan lagi tentang rakyat, tapi lebih mengedepankan hiburan orgen dan DJ yang memperlihatkan aurat biduan di atas panggung.

Lek Parno: “Nek kayak ngene kampanye pemimpin, wes ora bener iki. Mbok ya ngedukasi rakyat, ngono lho. Ora malah ngangkat biduan nganggo pakaian kurang sopan, sambil musik orgen kenceng-kencengan.”

Din Bacut: mengangguk keras “Benar, Parno! Kok malah sibuk mempertontonkan paha dan susu biduan. Apa mereka lupa ini provinsi Lontong, yang adat dan agamanya dijunjung tinggi?”

Kyai Sudir: mengelus janggut panjangnya dengan raut wajah prihatin “Na’udzubillah min dzalik. Saya sendiri tak habis pikir. Kampanye itu harusnya mendidik, menyadarkan rakyat, bukannya mempertontonkan hal yang jauh dari nilai agama.”

Sleman Kijing: dengan suara geram “Dari awal, aku sudah nggak percaya sama si Arjun Galer itu. Dulu saat kampanye lima tahun lalu, dia janjikan Kartu Petani Bergaya, biar katanya petani hidup lebih sejahtera. Mana buktinya? Janji palsu semua!”

Ali Bekot: “Lha iya! Kartu Petani Bergaya itu malah katanya meniru program pusat, bukan idenya sendiri. Nggak ada yang jalan. Itu cuma sekedar cara menarik simpati saja.”

Lek Parno: “Belum lagi jalan provinsi yang banyak berlubang kayak wajan bocor. Apa pernah dia lihat kondisi rakyat di pelosok sana? Semua dibiarkan begitu saja!”

Baca Juga:  Komisioner Makelar Suara

Din Bacut: “Iya, benar. Utang provinsi juga makin numpuk! Katanya, pemerintah provinsi punya utang besar ke kabupaten dan kota, itu gara-gara Sistem Beras Hutang (Sibeha) Nilainya sampai triliunan!”

Kyai Sudir: “Bukan hanya soal utang, Din. Arjun Galer itu temperamental! Ingat waktu dia tampar pegawai bandara? Terus hina wartawan dengan kata-kata kasar. Apa pantas pemimpin seperti itu jadi contoh?”

Sleman Kijing: “Nah! Itu lagi. Ini sudah bukan soal kinerja saja, tapi moral juga. Pemimpin kok nggak punya etika!”

Ali Bekot: “Dan yang lebih menyakitkan lagi, mereka pakai biduan untuk menarik massa. Menampilkan aurat di depan khalayak ramai! Apalagi di provinsi Lontong yang warganya sangat menjaga adat dan agama. Mereka pikir ini hiburan? Tidak, ini penghinaan!”

Para lelaki tua itu menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah murka. Mereka kecewa karena kampanye yang seharusnya menjadi panggung edukasi untuk masyarakat justru berubah menjadi panggung hiburan penuh kontroversi.

Arjun Galer dan Sutomo, yang diusung Partai Pedihnya Perjuangan, malah menuai kecaman karena mengabaikan norma-norma dan etika setempat.

Kyai Sudir: dengan nada tegas “Sudah saatnya rakyat Lontong membuka mata. Kita tidak bisa lagi membiarkan mereka yang hanya mementingkan hiburan dan melupakan tanggung jawabnya sebagai calon pemimpin. Rakyat harus sadar dan cerdas memilih, jangan lagi termakan janji manis!”

Para warga Lontong yang berada di warung itu saling berpandangan. Mereka tahu, di balik segala drama kampanye ini, ada harapan besar agar provinsi Lontong bisa kembali dipimpin oleh sosok yang mengerti amanah rakyat. Mereka sudah tak mau lagi tertipu janji kosong.

Beberapa hari setelah kampanye kontroversial yang menghebohkan warga Lontong, muncul kabar lain yang menguatkan asumsi bahwa jalan politik Arjun Galer semakin terjal.

Baca Juga:  Iming-iming Tim Sukses

Din Bacut, Lek Parno, Kyai Sudir, Sleman Kijing, dan Ali Bekot kembali berkumpul di warung kopi yang sama. Kali ini, mereka membicarakan kabar terbaru tentang pencalonan Arjun melalui Partai Pedihnya Perjuangan karena tidak dicalonkan oleh partainya sendiri yakni Partai Golongan Barbar Suka Berkelompok (Partai Gobar Sodok) .

Lek Parno: menyentakkan kopi dari gelasnya “Wajar Kalau si Arjun Galer nggak dicalonkan lagi sama Partai Gobar Sodok, Elektabilitasnya merosot jauh, itu pasti karena tingkah Arjun sendiri, ”

Din Bacut: tertawa kecil “Wah, Partai Gobar Sodok sudah sadar kalau Arjun itu hanya akan menurunkan nama partai. Bayangkan saja, lek! Dengan segala kontroversinya, partai bisa hancur kalau dia masih diusung.”

Kyai Sudir: menyilangkan tangan di dada “Namun dia bersikeras maju lewat Partai Pedihnya Perjuangan. Karena itu, Pimpinan Pusat Partai Gobar Sodok sampai pecat dia dari jabatan ketua di provinsi Lontong. Tanda-tanda karma, mungkin?”

Ali Bekot: “Karma! Memang dia dulu merebut jabatan ketua partai dari Gozier Tabrunay, politikus senior yang selama ini dikenal punya prinsip teguh. Arjun pakai segala cara, termasuk minta bantuan ke pengusaha gula bernama Lipuryanti.”

Sleman Kijing: mendengus “Benar-benar politisi tanpa malu. Arjun dulu itu naik ke jabatan ketua dengan langkah licik, merebut posisi dari Gozier yang sudah lama membangun Partai Gobar di Provinsi Lontong. Tapi lihat sekarang, malah dipecat. Itu balasan dari perbuatannya.”

Din Bacut: “Lihatlah, betapa cepat roda politik berputar. Hari ini di atas, besok bisa di bawah. Apalagi kalau perjalanan politiknya penuh dengan intrik. Ada harga yang harus dibayar.”

Kyai Sudir: “Lipuryanti dulu memang mendukung penuh Arjun untuk kepentingannya sendiri. Wanita itu punya banyak modal, punya pengaruh di kalangan pengusaha. Tapi setelah Arjun jadi petahana, apa yang ia lakukan? Hanya menyisakan kerusakan dan utang.”

Baca Juga:  Skandal Cinta Penyelenggara Pilkada

Lek Parno: menghela napas “Ini pengingat bagi kita semua. Seorang pemimpin seharusnya memperjuangkan rakyat, bukan memperjuangkan ambisi pribadinya saja. Arjun Galer terlalu sibuk mengejar kekuasaan dan lupa pada amanah.”

Ali Bekot: “Dan sekarang, melihat partai yang dulu ia rebut dengan licik malah mencampakkannya. Karma memang ada di dunia ini.”

Di tengah hiruk-pikuk kabar pencalonan Arjun yang penuh kontroversi, para tokoh tua ini semakin yakin bahwa sikap dan moral adalah hal utama dalam kepemimpinan.

Politik yang dilandasi ambisi semata hanya akan berujung pada kehancuran. Mereka berharap rakyat provinsi Lontong akan belajar dari kisah Arjun dan berhati-hati dalam memilih pemimpin di masa depan.

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed