oleh

Moezza Mau Jadi Penari Balet

-Humaniora-142 views

Moezza Raiqamahyra Eduardo, usianya baru enam tahun, namun semangatnya tak pernah padam.

Nama yang masih terlalu kecil untuk menanggung beban kesedihan yang datang begitu mendalam.

Lincah dan ceria bahkan terlihat cerdas, tak sungkan Moezza menyalami satu-persatu anggota Pemred klub di bawah komando pewarta Senior, Herman Batin Mangku.

Anak perempuan ceria ini, dengan tatapan mata yang penuh harapan, berbicara dengan tulus saat ditanya cita-citanya.

“Moezza mau jadi penari balet,” katanya dengan senyum yang meski terbata-bata, namun penuh percaya diri. Tak ada keraguan di wajahnya, hanya impian yang bersinar meski dunia seakan menekan.

Sejak kematian Detriani tahun 2020 lalu akibat Virus Covid-19,Ia mantab bercita-cita menjadi penari Balet, berubahnya Impian gadis kecil itu mungkin untuk melupakan sejenak kepergian sang Ibunda.

“Semenjak ibunya meninggal, Moezza tak lagi ingin jadi dokter. Dia ingin jadi penari balet,” kenang Nenek Moezza, Aina Sri Rahayu dengan suara bergetar. Kenangan itu masih segar dalam ingatannya, seperti angin yang membawa rindu yang tak pernah reda.

Tak ubahnya sang kakak, Muhamad Rai Qabil Aldriando pelajar SMP negeri 2 Kota Bandar Lampung yang masih berusia 15 tahun, dengan matanya yang lebih dewasa dari usianya, juga memiliki cita-cita.

Meski dunia terasa begitu gelap bagi mereka, Qabil memilih untuk menjadi pengusaha, harapan yang datang dari keinginannya untuk memberi yang terbaik untuk adiknya.

“Aku mau jadi pengusaha,” ucapnya dengan mantap, seolah mencoba menggenggam mimpi yang tak mudah diraih.

Dibalik cerianya Moezza dan mimpi Qabil menjadi Pengusaha, ada kisah tragis yang belum lama menimpa keduanya.

Mereka saat ini diasuh oleh kakeknya yakni Saukani, pria uzur 84 tahun yang rela menghabiskan waktu untuk merawat anak dari Eduardo yang belum lama meninggal dengan mengenaskan.

Baca Juga:  Peluncuran ‘Satu Ciuman, Dua Pelukan’, Fitri: Tugas Saya Mengantar!

Eduardo, ayah mereka yang penuh kasih, telah meninggal secara tragis dalam sebuah kecelakaan pada malam yang dingin, 22 Februari 2025 lalu.

Sepeda motor yang ia kendarai, terjatuh setelah menghindari lubang di jalan dan menghantam pagar besi Masjid Al Hikmah. Dalam sekejap, hidupnya yang penuh harapan itu harus berakhir.

“Eduardo sempat berteriak minta tolong sebelum akhirnya meninggal di tempat,” ujar Saukani ayah dari almarhum Eduardo, suaranya penuh duka yang tak bisa terucapkan dengan kata-kata.

Tragedi itu bukan hanya menghancurkan satu jiwa, tapi juga membekas dalam hati dua anak yang harus tumbuh dewasa lebih cepat dari seharusnya.

Belum lepas dari ingatan Nano, Marbot Masjid Al-Hikmah saat peristiwa tragis yang merenggut nyawa Eduardo.Malam yang meninggalkan kenangan pahit dan keheningan yang tak mudah dihilangkan.

“Gambaran itu masih jelas di mata saya. Ngeri rasanya, saat melihat matanya tertancap di pagar besi. Dia duduk di motor, tapi kepalanya miring, seperti tak bernyawa,” tutur Nano, suara lirihnya menggema, bagaikan bisikan angin yang datang dari masa lalu. Wajahnya tampak pias, seolah-olah malam itu masih terus menghantuinya.

Ambulans akhirnya datang setelah satu jam, namun tak ada lagi yang bisa diselamatkan. Nyawa Eduardo, yang sebelumnya penuh dengan harapan dan impian, kini terlepas begitu saja dari raganya, meninggalkan keheningan yang tak terucapkan.

Saukani Ayah dari Almarhum menceritakan, malam itu Eduardo hendak menuju konter servis ponsel milik kawannya. Tujuan yang tampaknya sederhana, namun takdir berkata lain.

Di tengah perjalanan, suara telepon datang dari anaknya yang masih kecil, Moezza. Di balik suara riangnya, terdengar permintaan yang tak bisa ditolak, permintaan anak yang ingin dibelikan makanan.

Baca Juga:  Bhabinkamtibmas Inspiratif Salurkan Beasiswa Sekolah Gratis Bagi Keluarga Kurang Mampu di Way Kanan

Mungkin bagi seorang ayah, itu adalah hal yang biasa. Namun, bagi Eduardo, itu adalah alasan untuk berhenti sejenak dalam perjalanan yang tak pernah ia duga akan berakhir tragis.

“Papa, beliin makanan ya,” suara Moezza yang ceria itu tetap terngiang di benaknya. Eduardo pun, dengan senyum yang hangat, membalikkan kendaraannya dan menuju tempat yang diminta anaknya.

Ia mungkin tak tahu, saat itu, bahwa keputusan sederhana untuk memenuhi permintaan anaknya akan membawa cerita yang tak akan pernah terlupakan.

Namun Saukani sadar jika peristiwa tragis itu bagian dari takdir Eduardo, tanggungjawab anak-anak Almarhum kini ada di pundaknya.

Pendidikan Moezza dan Qabil menjadi tugas penting Saukani agar kelak keduanya mampu mewujudkan cita-cita.

“Pendidikan anak-anak almarhum menjadi prioritas kami, sampai kapanpun kami akan tetap berusaha mewujudkan cita-cita mereka. Kalaupun ada bantuan dari pihak terkait tentunya kami sangat membuka diri,”harap Saukani.

Haru biru punggawa Pemred Club menyambangi kediaman Almarhum Eduardo, Herman Batin Mangku selain menyampaikan ucapan Bela Sungkawa dan menyerahkan santunan mengatakan tali asih ini adalah bentuk kepedulian kawan-kawan Pemred club terhadap kedua anak almarhum dan Almarhumah.

“Kami datang bukan sekadar memberikan bantuan materi, tetapi juga ingin menunjukkan bahwa mereka tidak sendiri. Ada banyak orang yang peduli dan siap membantu,” tegas HBM yang karib disapa Pak Ho.(Bung)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed