oleh

Demokrasi Drama Korea

-Din Bacut-265 views

Tak banyak meja di sana. Kursi pun plastik. Jangan berharap ada live music, fasilitas karaoke, bahkan wifi gratis untuk membuat pengunjung betah. Kedai Dek Yanti sangat sederhana. Maklum hanya memanfaatkan sisa lahan parkir di sebuah gedung perkantoran, tanpa sekat, tanpa hiasan mencolok, yang ada hanya grafiti mesum hasil keisengan remaja sekitar.

Namun kesederhanaan itu tak membuat siapa pun merasa risih. Justru ada sesuatu dari tempat itu yang selalu membuat orang ingin kembali. Terutama kopi racikan Dek Yanti, Janda cantik penuh pesona dari Pulau Seberang, yang selalu berhasil menahan empat sekawan: Din Bacut, Mat Bingut, Rustam Silobilobi, dan Lek Parno, yang lebih rajin berutang daripada membayar. Alhasil Kitab dagang Dek Yanti pun penuh coretan nama mereka.

Malam itu, Din Bacut tengah asyik menyeruput kopi. Di sebelahnya, Rustam Silobilobi sibuk dengan ponsel, membaca berita terbaru dari Provinsi Limpung.

“Proses pergantian anggota dewan Provinsi Limpung yang menimpa Iyus Blewah masih terus menuai polemik. Alasan pemberhentian itu terjadi karena Iyus mendukung calon lain dalam Pilkada lalu,” lantang Ia membaca.

Lek Parno yang tengah berdiri di balik etalase, pura-pura sibuk menyusun pisang goreng seperti biasa, melirik dengan antusias.

“Eh Rustam, duduk aja. Jangan cuma nyorot status orang dari jauh. Lu itu pengamat politik, bukan tukang ngintip bintang,” sindir Din Bacut sambil tersenyum miring.

Rustam, sang pengamat politik lokal yang gayanya lebih heboh dari komentator Bola, segera duduk sambil membetulkan posisi kacamatanya yang selalu miring.

“Ini bukan sekadar status, Din. Ini tragedi demokrasi lokal! Iyus Blewah disingkirkan karena mendukung suaminya sendiri? Cuih..Demokrasi rasa drama Korea!”

Mat Bingut ikut nimbrung. “Tapi suaminya kan juga dari partai yang sama, si Awam Lorobojo. Kok bisa ribut?”

Baca Juga:  Dewan Nyolong Singkong

Rustam mencondongkan tubuh, suaranya serius. “Masalahnya bukan itu. Ini soal kekuasaan. Ninik Gemoy makin mirip tokoh anime jahat. Dia bukan cuma nyingkirin Iyus, tapi juga naruh orang-orangnya di posisi strategis. Contohnya Bedul Jais. Padahal yang layak itu Denti Mahmanah atau Risman Busing. Tapi ya, dua-duanya dibuang kayak bungkus gorengan.”

Lek Parno menyeka keringat, lalu nyeletuk, “Mapas Sadis amat, kayak Idi Amin! Penjagal dari Uganda! Tapi versi cewek.”

Dek Yanti yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang, tapi mengandung ketegasan, “Perempuan juga bisa kejam, Lek. Apalagi kalau udah candu kekuasaan. Tapi kekuasaan tanpa arah, hanya bikin luka. Hari ini Iyus, besok siapa?”

Din Bacut menepuk meja. “Tapi kok bisa partai semudah itu ganti orang? Katanya suara rakyat wajib dijaga.”

Rustam mengangguk. “Karena setelah pemilu selesai, suara rakyat cuma jadi alat legitimasi. Yang pegang kendali ya partai. Wakil rakyat bisa-bisa jadi boneka partai.”

Mat Bingut ikut menyambung, “Ninik Gemoy itu kan emang penuh sensasi. Waktu kasus mantan Bupati Lenteng, Mastupah, namanya juga disebut. Katanya dia terima uang 1 M dari kasus itu, buat dikasih ke Kanjeng Ratu.”

“Lah, itu dia. Ninik lagi, Ninik lagi,” sahut Din Bacut. “Emang biasa dipanggil Kanjeng Ratu, kan.”

Lek Parno nyengir, “Ninik tuh kayak wifi gratisan. Nyambung ke mana-mana, tapi gampang disadap. Urus proyek aja sampe ke pusat.”

Dek Yanti lalu menyodorkan kopi ke Rustam. “Tapi kalian jangan cuma bisa nyinyir di sini. Kalau tahu ini salah, ya bersuara dong. Jangan cuma nyalinya di kedai kopi.”

Rustam menerima cangkir itu, senyum kumis tipis terukir. “Tenang, Dek. Mungkin suara di sini kalah sama amplop di sana. Tapi percayalah, dari kedai sederhana kayak gini, sejarah bisa lahir. Obrolan kecil bisa jadi perlawanan besar.”

Baca Juga:  Kartu Pak Tani Bergaya Versus Singkong Goreng

“Aguy Kidah Wah… udah kayak pejuang revolusi,” cibir Din Bacut setengah ngakak.

Rustam menjawab mantap, “Gak apa-apa. Kadang revolusi itu lahir dari secangkir kopi dan keberanian berkata jujur. Teman gue, si Rendri jurnalis senior, Pemilik media Selalukepo.com pernah bilang, bahkan saat buang hajat pun ide bisa tercipta.”

Malam makin larut. Kedai Dek Yanti tetap menyala, menjadi saksi dari diskusi hangat tentang pergantian anggota dewan dari Partai Kok Begitu (Pokabe), yang kini diketuai oleh Ninik Gemoy, mantan Wakil Gubernur Provinsi Limpung bersama Arjun Galer.

Di tengah dunia yang penuh tipu daya, setidaknya ada satu sudut kecil kota di mana suara jujur masih terdengar, meskipun hanya dari sebuah kedai kopi sederhana yaitu Kedai Dek Yanti.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed