oleh

Aksi Kacung Walikota di Tengah Bencana

-Din Bacut-309 views

Siang di Kota Tanjung Balang, cuaca terik seperti panasnya amarah petani singkong di Provinsi Latak Litung, terombang-ambing oleh harga yang dimainkan pabrik, berharap aspirasi ke anggota dewan, Namun Legislator Cuma bisa cuap-cuap basah-basah sambil berkolusi menghitung uang setoran dari rekanan, mengumpulkan uang sisa hasil reses dan memeras dinas agar program diakomodir.

Di sudut parkiran kantor Gubernur yang berubah fungsi jadi tempat ngopi, nyempil kedai kopi Dek Yanti, Janda gemoy mantan TKW arab dengan menu khas Kopi Slemon (Sekali Minum Langsung Move On). Banyak pelanggan Kedai yang menyebutnya Kopi penyembuh patah hati dari mantan yang menikah dua kali dan tak harap Kembali.

Kedai sederhana, Meja dan kursinya bekas barang bukti hasil korupsi dari Dinas Pengairan Provinsi Latak Litung. Meski meja dan kursinya bekas, masih terlihat kemewahan dengan adanya ukiran mahal tapi penuh bekas puntung dan bekas sumbangan reses fiktif.

Atapnya pun dari bekas terpal kampanya caleg gagal dan campuran banner halal bihalal lebaran tahun lalu di dinas kominfo yang salah cetak.

Meski demikian, Kedai dek Yanti lah yang membuat warga masih waras, sekaligus tempat menghindari banjir yang merenggut nyawa dan banjir janji dari Walikota Tanjung Balang, Epah Raicoro.

“Kacung-kacung walikota mulai anarkis, Satpol yang harusnya melindungi warga justru menjadi Senjata pembunuh bagi warganya,”Kata Din Bacut yang duduk paling depan, kaki naik ke kursi empuk milik mantan ketua fraksi korup dari Partai Asal Ketemu Nempel (Pastel), sambil perlahan menyesap Kopi Slemon sampai akhirnya bisa move on dari Ratmi Pipitembem, mantan Din Bacut yang memilih menikah dengan Sutris Mambuketek, karena Din Bacut hanya modal rayuan dari puisi majalah jadul.

Baca Juga:  Jaksa Untung Latak Litung

“Saya tahu yang kamu maksud Din, itu pasti para  Satpol anak buah Kiki Tenggeng yang sudah menyiksa warga yang meminta Pemkot menanggulangi masalah banjir sampai merenggut nyawa,”balas Rudi Kisut yang baru datang dengan celana yang basah setengah, karena baru saja membantu tetangga menyelamatkan kulkas yang hanyut.

“apa memang SOP nya seperti itu menghadapi massa yang hanya beberapa orang. Satpol itukan bukan melawan teroris tapi menghdapi warga yang minta keadilan soal bencana,”tukas Amir Bingut, duda beranak tiga yang ditinggal Istrinya hanya karena punya penyakit bisul yang memenuhi muka dan tidak pernah sembuh.

“Apa kita hidup di kota atau di akuarium raksasa?” tanya Amir sambil menunjuk berita media online selalukepodotcom dengan judul massa demo banjir alami kekerasan fisik Satpol

“Coba pikir,” kata Din Bacut menahan geram “Beberapa warga berdiri di depan Gedung Walikota, kanator megah yang dibangun dari pajak rakyat.Mereka teriak soal banjir, soal nyawa. Tapi dibalas dicekik, diseret, dituduh bukan warga. Sejak kapan empati butuh kartu tanda pengenal. ”

“Katanya negara Hukum, tapi pas rakyat nuntut keadilan, yang datang bukan bantuan, tapi hantaman dan bantingan dari Satpol yang gajinya dari pajak rakyat. Termasuk rakyat yang meninggal karena banjir itu pun bayar pajak,”sergah Jamil Pitak, pemuda jomblo yang tidak terhitung ditolak nembak cewek, hanya modal kuota dan gombalan dari  internet. tapi pas diajak jalan cewek incaran langsung Pirman-melipir aman.

Dek Yanti lewat sambil membawa nampan berisi pisang goreng yang warnanya mencurigakan.

“Nih gorengan spesial. Dulu ini cemilan langganan pejabat yang sekarang mendadak amnesia dengan semua programnya. Pisangnya emang busuk, biar cocok sama situasi.”

Baca Juga:  Pengawas Pemilu Sukses Hamili Istri Orang

“Aku juga lihat loh video viral yang beredar,” kata Dek Yanti. “si Titin  diseret sampai jilbabnya lepas, sementara Feri koordinator aksi, sampai dicekik dan dibanting. Itu lagi mengtasi pendemo apa lagi Latihan Smackdown.”

Din Bacut berdiri, matanya menyala. “Yang lebih menyakitkan dari banjir itu, adalah ketika pemimpinmu berpikir air mata rakyat bisa dikeringkan pakai konferensi pers. Dialog cuma di mulut, tapi di lapangan tangan mereka sibuk mendorong.”

“Katanya pembangunan jalan terus. Tapi yang jalan terus justru alibi dan kekerasan serta program pencitraan,” tambah Rudi.

“Yang paling tragis, pas ditanya, kepala Satpol si Kiki Tenggeng bilang, ‘Itu bukan warga sini.’ Lah, emang kalau bukan warga sini berarti boleh ditinju? Ini kota atau ring tinju administratif?”

Mereka semua terdiam sejenak. Bukan karena kehilangan kata, tapi kehilangan harapan.

“Tapi kalian ini tetap minum kopi kan? Artinya kalian belum nyerah,”ucap Dek Yanti.

Din Bacut tersenyum, getir. “Kami belum nyerah. Tapi kami juga nggak bisa terus-menerus ditampar atas nama ketertiban. Negara ini milik rakyat. Bukan milik seragam. Dan bukan milik Bunda Ipah Raicoro yang kalau ditanya banjir, jawabannya malah ‘Nanti ya, setelah makeup selesai’.”

Di sudut kedai Dek Yanti, kopi terus diseruput. Dan rakyat kecil, meski diabaikan, tetap berbincang. Karena yang tak bisa mereka miliki dalam keputusan politik, masih bisa mereka pertahankan dalam percakapan.

Dan siang itu, di antara meja bekas sitaan, kursi sisa barang bukti korupsi, dan kopi buatan janda gemoy, tersimpan satu hal yang belum bisa disita oleh kekuasaan yakni kesadaran.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed