oleh

Kadis Pemukiman Dalam Pelukan Masayu (Bagian Kedua)

-Din Bacut-703 views

Sejak skandal asmara antara Kadis Pemukiman Rhomas Bodewin Hutajulung dan Masayu mengambang di permukaan seperti bangkai ikan mujair di empang dinas kelautan, suasana kantor Gubernur Latak Litung berubah drastis. Bukan lagi seperti kantor pemerintahan, tapi lebih mirip lokasi syuting sinetron stripping dengan naskah yang ditulis tukang fotokopi.

Masayu yang tadinya nangkring manis di ruang protokol,tempat biasa selfie sambil pegang map berlogo provinsi, mendadak dipindah ke ruangan “khusus administrasi umum”, sebuah tempat yang secara letak lebih cocok disebut pengasingan.

Ruangannya sempit, tanpa jendela, dan berdempetan dengan gudang ATK yang aroma spidolnya cukup kuat untuk bikin migrain. Di sebelahnya, ruang server berdengung seperti sarang lebah, tapi lebih dingin dari hati mantan.

Tapi jangan salah sangka. Walau lokasi berubah, intensitas asmara tidak. Jadwal Masayu padat merayap, layaknya antrian kendaraan saat mudik lebaran.

Dengan kunjungan Kadis dua kali sehari seperti minum antibiotik. Setiap malam Jumat pun konsisten ada “lembur spiritual”, yang katanya untuk membina keharmonisan OPD walau harmoni yang dibina lebih ke arah duet pribadi.

Din Bacut, Edi Gambreng, Amir Bingut, dan Rudi Balakteduh yang setiap pagi mangkal di Kedai Kopi Slemon makin resah. Mereka bukan iri, hanya muak. Moral publik yang sudah goyah, sekarang makin licin seperti kulit tahu goreng. Mereka sepakat bahwa Gubernur Mariza seharusnya sudah menonaktifkan Rhomas dan menghapus nama Masayu dari sistem kepegawaian seperti menghapus cache di komputer.

Apalagi setelah beredar foto buram mereka di balkon hotel berbintang, foto yang seperti sengaja diambil oleh CCTV Tuhan, lengkap dengan latar lilin aromaterapi dan laptop yang lebih sering jadi properti daripada alat kerja. Di salah satu foto, Rhomas bahkan tampak mengenakan batik slim fit, serasi dengan postur Rhomas yang tidak terlalu gemuk.

Baca Juga:  Iming-iming Tim Sukses

Tapi seperti biasa, birokrasi Latak Litung punya cara magis dalam menunda kebenaran. Bukti? Sudah ada. Saksi? Melimpah. Reaksi? “Masih dikaji lebih dalam,” kata siaran pers, yang isinya lebih hampa dari ceramah motivasi pegawai.

Tuti Nonggeng, spesialis bisik-bisik Inspektorat sekaligus ketua grup WA Emak Peduli Anggaran, berkali-kali menyebut nama Bu Diyana, sang kepala Inspektorat. Perempuan tegas, tak doyan drama.

Namun bahkan Bu Diyana tak bisa bergerak bebas. Tekanan dari “atas” datang bertubi-tubi, konon karena Rhomas punya kakak seorang pengusaha kakap, Rhomas Rasika, yang rumahnya sempat viral disatroni orang tak dikenal, menewaskan ART, tapi anehnya kasus itu menguap seperti laporan kekayaan pejabat.

Masayu pun makin tampil prima. Ia melenggang di parkiran kantor sambil menyeret tas branded baru yang harganya cukup untuk merenovasi satu kantor kelurahan. Parfumnya semerbak, mirip aroma ruang VIP bandara, dan mobil Fortuner putihnya meluncur mulus seperti dana BOS cair di awal bulan.

Sementara itu, Kedai Kopi Slemon tetap jadi pusat pengamatan tak resmi. Meja-meja yang dulu jadi barang bukti sekarang jadi markas analisis sosial politik. Setiap seruput kopi Slemon yang pahit bukan hanya menampar lidah, tapi juga menyadarkan bahwa keadilan di Latak Litung lebih banyak muncul sebagai status sindiran di medsos daripada keputusan formal.

Tak ada yang tahu kapan sinetron Rhomas-Masayu akan tamat. Tapi yang pasti, Dek Yanti tak pernah kehilangan pelanggan. Dunia mungkin penuh tipu daya, tapi Kopi Slemon tetap jujur, pahit, panas, dan membongkar kepalsuan tanpa perlu jadi tersangka.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed