Pagi menggantung malas di langit Kabupaten Lintang Tengah. Kabut tipis menyelimuti kota, seperti sisa rasa malu yang makin langka, kalau bukan punah di tanah birokrasi yang lebih suka menelan anggaran ketimbang menelan sumpah jabatan.
Di sudut kecil yang belum dijual ke developer atau disita KPK, Kedai Kopi Slemon tetap berdiri. Bukan karena kuat, tapi karena terlalu kecil untuk diambil alih. Ia berdiri seperti batuk kering di tenggorokan mengganggu, tapi dilupakan.
Aroma robusta bercampur dengan aroma amis gosip politik dan bekas setoran tunai. Ruangan sempit itu dipenuhi janji-janji kampanye yang dibuang seperti bungkus mi instan.
Di dalamnya, duduk Din Bacut, jurnalis senior yang sekarang cuma bisa menulis di status WhatsApp dan nota hutang Kopi Slemon dan kudapan Kedai Dek Yanti.
“Kalau pahit bisa diseduh, ini kopi. Tapi kalau pahitnya sistem bisa ditelan, itu karena rakyat udah mati rasa,” gumamnya sambil menatap gelas yang isinya kalah hitam dari isi rekening kontraktor kenceng.
Lek Parno, pensiunan pegawai PU yang dulu bangun jalan dan jembatan, sekarang lebih sering mengurut dada.
“Dulu aku kerja bikin saluran air. Sekarang proyeknya bikin saluran duit dari kantor ke kantong,” ujarnya, miris.
“Yang penting lancar alirannya, bukan airnya, tapi amplopnya,” timpal Gareng Subali, eks tukang sablon baliho caleg yang kini lebih sering menyablon rasa jengkel.
Sementara itu, di balik meja kasir yang dulunya meja sitaan dari kasus pengadaan karpet masjid palsu, berdiri Dek Yanti, janda gemoy mantan TKW Arab, sekaligus barista dan psikolog informal rakyat kecewa.
Sambil menyeka gelas dengan serbet bersih yang lebih suci dari sebagian pejabat, ia nyeletuk:
“Zaman dulu orang takut dosa. Sekarang dosa kayak kartu nama dibagi-bagi biar dikenal.”
TING!
Notifikasi ponsel berbunyi. Berita masuk:
“Bupati Sardito Kawakawa Bojoloro resmi lantik adik iparnya, Wolly Cukicuki, jadi Sekda. Alasannya: ‘Wolly paling paham visi keluarga.’”
“Visi apaan? Mau bikin pemda jadi rumah tangga?” seru Gareng.
Kedai mendadak sunyi. Hanya kipas angin bersuara lirih seperti rakyat kecil yang tak tahu lagi cara teriak.
Din Bacut menghela napas, lalu berkata:
“Dulu jabatan diraih lewat kompetensi. Sekarang lewat kompletensi, komplotan plus intensitas setoran.”
Di balik panggung kekuasaan, mafia proyek menari di atas aliran dana.
Yandi Karda, dikenal sebagai Badan Keuangan Daerah, tugasnya mengepul Setoran dan Pungli Halus. Slogannya:
“Kerja keras boleh, setor keras lebih mulia.”
Dia bukan sendirian. Ada Durheri, legislator dari Partai Pokabe (Partai Kok Begitu), partai absurd yang logonya tangan megang kepala, bingung karena kebodohannya sendiri.
Selain Durheri, ada juga Kacung Bupati lainnya yakni Danton Wihbodo. Tugasnya sama mengutip uang setoran proyek.
Tugas keduanya yaitu membungkus kebijakan busuk jadi terlihat manis di baliho.
“Pokabe tuh partai yang nyusup ke sistem kayak semut di toples gula. Gak keliatan, tapi lama-lama habis,” celetuk Dek Yanti sambil menuang kopi yang lebih jujur daripada rencana kerja dewan.
Dan ada Reki Pudakmani, si Panglima Proyek, yang kerjanya cuma satu: ngitung margin dari mark-up.
Setiap pembangunan dimulai dari dua hal, rapat dan tarif.
“Tarif mana yang duluan?” tanya Gareng.
“Tarif lah. Rapat cuma biar kelihatan demokratis,” jawab Lek Parno getir.
Paman Bupati, Suryanto dan kroninya Sendi Mokomoko, spesialis lobi. Bukan lobi rakyat, tapi lobi kontraktor, agar semua dapat jatah, asal setor.
“Ngatur politik kayak ngatur piring kotor. Disusun rapih, tapi busuknya tetap berkerak,” kata Din Bacut.
Di papan tulis, Dek Yanti menulis menu hari ini:
“Kopi Dinasti — Diracik dari Setoran, Diseduh dengan Silsilah, dan Disajikan dengan Nyinyiran.”
“Paket lengkap ya?” tanya Gareng.
“Lengkap. Bisa tambah topping nepotisme, dan diskon kalau sebut kode: #SetorDuluBaruKerja.” jawab Dek Yanti santai.
“Dan rakyat?” tanya Din Bacut.
“Mereka antre ngopi, sambil nonton orang-orang nyolong anggaran dengan gaya eksekutif,” kata Lek Parno.
“Dan tetap senyum. Karena udah capek marah.”
Negara diseduh dalam termos busuk, dengan air dari selokan moral.
Disajikan dalam gelas mewah, oleh tangan yang sama yang menggarong bansos.
Din Bacut meneguk kopi yang sudah dingin.
“Pahit,” katanya pelan.
Dek Yanti menyeringai.
“Masih mending kopi. Pahitnya jujur.”
Dan di luar sana, proyek tetap berjalan.
Bukan demi rakyat, tapi demi cicilan Alphard dan DP apartemen selingkuhan.
Selamat pagi, Lintang Tengah.
Semoga tidak tersedak amplop sendiri.
Komentar