oleh

Pemprov Pelihara Pejabat Mesum

-Din Bacut-210 views

Pagi masih enggan beranjak dari kelamnya, seperti nurani pejabat yang enggan disapa kebenaran. Di balik dinding megah Kantor Gubernur yang dilapisi cat bersih dan niat buruk yang tersembunyi, nama Rhomas Bodewin Hutajulung  sebagai Kepala Dinas Pemukiman tak pernah hilang dari laporan warga dan bisik aktivis.

Namun di balik semua itu, ia tetap duduk nyaman, menggenggam jabatan seperti genggaman dosanya bersama Masayu yang dinormalisasi.

Gubernur Latak Litung, yang dikenal sholeh,berkopyah putih dan zikir di tiap jeda rapat,terus menunda tindakan. Padahal catatan moral Rhomas bukan lagi kabur, tapi jelas.

Perselingkuhannya dengan Masayu bukan sekadar aib pribadi, ia telah menjelma menjadi cermin retak birokrasi yang tak malu lagi memantulkan kelakuan buruk ke publik. Dan publik? Tak lagi terkejut. Mereka hanya menunggu siapa yang akan jadi korban berikutnya, etika, atau harapan?

Sampai hari ini, tak ada surat teguran. Tak ada sidang etik. Tak ada penyelidikan inspektorat. Hanya ada suara-suara samar dari lorong kekuasaan yang terlalu takut menggugah kenyamanan sendiri. Padahal laporan sudah masuk.

Bukti sudah mengambang. Tapi seperti kopi pahit di Kedai Slemon, semua hanya dinikmati, bukan ditindak.

Di balik layar dinas yang dipimpin Rhomas, ada sistem pungli yang makin menggurita. Proyek-proyek strategis kini seperti dagangan di pasar malam, ditentukan oleh pihak luar yang kabarnya orang dekat pemangku kepentingan, tugasnya mengatur setoran dan jatah, menyisakan pejabat dalam sebagai penonton yang ikut tepuk tangan. Birokrasi jadi tontonan absurd, pejabat jalan di karpet merah, tapi integritas diseret di lumpur.

Yang menyedihkan, bukan hanya karena perselingkuhan itu nyata dan dipertontonkan dengan gagah, tetapi karena kebusukan itu dipelihara.

Baca Juga:  Iming-iming Tim Sukses

Tak ubahnya seekor ular yang dibiarkan berkembang biak di lumbung padi. Dan Gubernur , dengan wajah teduhnya yang disiarkan rutin dalam khutbah pembangunan, seolah memilih menjadi penonton dalam lakon yang seharusnya ia selesaikan.

Apakah ini buah dari sholeh yang terlalu kompromi? Atau hanya topeng dari pemimpin yang enggan memilih antara sahabat lama dan kebenaran yang pahit? Entahlah.

Di meja Kedai Slemon, ampas kopi belum sempat dibersihkan, tetapi warga sudah paham, Provinsi ini sedang menyimpan penyakit, dan penyakit itu bukan cuma Rhomas atau Masayu,melainkan kultur pemakluman terhadap aib, pembiaran terhadap dosa, dan diam terhadap kerusakan.

Mariza, dengan segala hormat, harus memilih. Ia bukan sekadar Gubernur, tapi penentu arah moral Latak Litung. Bila ia masih hendak bersujud di akhir masa jabatan dengan kepala tegak, maka ia harus berani memecat yang busuk meski berbau kawan. Jika tidak, maka sejarah akan menulisnya bukan sebagai pemimpin yang bijak, tapi sebagai penonton kekuasaan yang abai.

Dan mungkin, suatu hari, ketika kopi Slemon disajikan untuk generasi berikutnya, akan ada yang bertanya,

“Kenapa dulu Gubernur tak bertindak?”

Dan jawabannya, sayangnya, bisa jadi,

“Karena di Latak Litung, mencopot pejabat mesum lebih susah dari mencopot kutu dari bantal kekuasaan.”

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed