oleh

Ngobrol Asyik dengan Sultan

-Humaniora-132 views

Sukadanaham malam itu dingin menggigit. Udara tipis dari perbukitan menyusup halus, menyelinap ke balik baju kaos yang saya kenakan.

Jam dinding di ruang tamu menunjukkan tepat pukul 10 malam. Di sebuah kediaman yang tenang di lereng Sukadanaham, suasana justru hangat. Bukan karena suhu ruangan, tetapi karena percakapan yang berisi, penuh hikmah, dan menghidupkan sejarah.

Kami,para tamu yang datang dengan rasa ingin tahu dan segenggam hormat,disambut oleh Paduka Yang Mulia Saibatin Puniakan Dalom Beliau (SPDB) Pangeran Edward Syah Pernong, Sultan Skala Brak yang Dipertuan ke-23, dari Kepaksian Pernong.

Tak hanya Sultan, Ia seorang Jendral Bintang Satu, mantan Kapolda Lampung, alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Tak ada penyesalan meski kami harus menunggu cukup lama. Bahkan jika harus pulang menjelang dini hari pun rasanya tak apa.

Karena yang kami temui bukan sekadar tokoh adat, tapi juga penjaga nilai, penutur sejarah, dan pengemban amanat leluhur.

“Ini durian pemberian kawan dari Malaka. Silakan dicicipi,” ucap beliau, sambil tersenyum hangat, menyodorkan dua mika berisi durian musanking yang aromanya bersaing dengan kopi hitam khas rumah itu.

Perbincangan mengalir seperti air dari mata air tua,jernih, dalam, dan menyegarkan. Pun Edward, tak menunjukkan sikap ingin menggurui.

Ia membuka ruang bicara dua arah. Ia mendengar, bertanya, menanggapi,seolah kami ini bukan sekadar tamu, tapi sahabat lama yang sedang berbagi kisah.

Itu yang membuat kami betah, sungkan untuk beranjak pulang, namun tak elok rasanya sebagai tamu kami harus merampas waktu istirahat mantan Kapolres Metro Jakarta Barat, yang pernah  menciduk Hercules dan 114 anak buahnya.

Sultan masih terlihat muda dan gagah. Suaranya serak basah, tapi lantang berwibawa. Dan yang paling terasa adalah semangatnya yang membara saat membicarakan tentang asal-usul Lampung, pelestarian adat, hingga kekecewaannya terhadap lunturnya kepedulian generasi muda terhadap warisan budaya.

Baca Juga:  Terkesan Cara Umar

“Adat itu identitas,” ucapnya tajam namun penuh kasih.
“Orang yang beradat semestinya tidak berkhianat. Tak semestinya menjadi pembohong. Karena kehormatan itu terletak pada kejujuran dan keluhuran.”

Kalimat itu bukan sekadar petuah. Itu adalah obor yang menyala. Sebuah teguran lembut namun tegas bagi mereka yang mengaku beradat tapi memanipulasi kebenaran demi ambisi pribadi.

Bagi Pun Edward, adat bukan pakaian upacara. Ia adalah jiwa yang mesti dijaga, dihormati, dan dijalani dengan tulus.

Malam itu, Sultan menuturkan sejarah empat Kepaksian Skala Brak, Bejalan Di Way, Nyerupa, Pernong, dan Belunguh.

Ia mulai dari kisah para umpu dari Samudera Pasai, penyebar Islam yang datang dan menggulingkan kekuasaan Hindu lama yang dulu berkuasa di Skala Brak kuno. Nama-nama seperti Umpu Sekhumoung muncul dalam obrolan.

Sultan menekankan pentingnya meluruskan sejarah, bukan untuk kepentingan masa lalu, tapi demi masa depan yang tidak dibangun di atas kebohongan.

“Kalau kebohongan terus dibiarkan, lama-lama dianggap sebagai kebenaran,” ujarnya getir.

Penegasan terhadap persatuan adat pepadun dan saibatin juga Ia tekankan, penerima Lencana Adhi Satya Bhakti dari Presiden Soeharto ini lugas menyampaikan jika keberagaman adat justru menjadi pemersatu ulun Lampung

dalam menjaga budayanya,menjadi penguat menjaga identitas budaya sebagai warisan leluhur dan simbol penguat persatuan dalam bingkai negara kestauan Republik Indonesia.

Ia tidak berbicara sebagai sejarawan, tetapi sebagai seorang pemegang amanah, pewaris nilai, dan penjaga warisan leluhur yang merasa terganggu bila narasi adat diputarbalikkan oleh mereka yang mengklaim dirinya ahli meskipun itu kerabat sendiri.

“siapapun itu jika berbicara tidak sesuai dengan fakta mengenai adat, sudah menjadi kewajiban kita untuk meluruskan,”ucapnya.

Obrolan malam itu terasa makin dalam. Kami larut, dan waktu seakan enggan berlalu.

Baca Juga:  Andre Juan Michiels; antara Keroncong, Sejarah dan Komunitas*

Di bawah sinar lampu, ditemani secangkir kopi dan aroma durian, kami menikmati sajian Istimewa,sejarah yang hidup dan hadir di hadapan kami, dalam diri seorang Sultan yang tak lelah menjaga jati diri kaumnya.

Namun sebagai tamu, kami tahu diri. Tak elok melampaui batas waktu., apalagi kopi kami habis licin tandas, beberapa potong durian Musanking dari malaka kami lahap. Maka tepat pukul dua belas malam, dengan berat hati kami berpamitan. Jalanan kembali sepi. Langit makin pekat.

Tapi dalam dada kami, obor kecil telah menyala,obor yang kami bawa pulang dari Sukadanaham. Sebuah semangat untuk kembali menengok akar, mencintai adat, dan menjaga jati diri sebagai orang Lampung.

Kami tahu, malam harus diakhiri. Tapi kisah ini tidak. Sebab warisan sejarah bukan untuk dilupakan, melainkan untuk diteruskan. Sultan Edward Syah Pernong adalah penjaga obor itu. Dan kami pulang malam itu dengan membawa percik cahayanya.

Lamun Mak Gham Sapa Lagi, Lamen Mak Tano Kapan Lagi,Tabikpun

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed