oleh

Legislator Pelakor (Bagian Kedua)

-Din Bacut-260 views

Sore itu, udara di Kedai Dek Yanti bukan cuma bau gorengan,bau intrik politik juga ikut menyeruak, seperti asap knalpot vespa tua mang odoy yang mogok di lampu merah Waya Holim.

Din Bacut memelototi permukaan Kopi Slemon, lalu menatap kawan-kawan dengan sorot mata serius.

“Kawan-kawan, hubungan Esty Freshtuti dan Rombi ini sudah jadi rahasia umum. Bukan lagi gosip, tapi fakta yang disegel rapi oleh Badan Kehormatan DPRD Kota Bandar Ngapung.

Semua anggota dewan tahu, dari Sekwan si Teri Parnoyo  sampai cleaning service, tapi sikapnya? Diam seperti batu nisan.”

Parno Bojoloro menyeringai getir. “Kenapa diam? Takut atau sudah ikut arisan rahasia?”

Din Bacut menghela napas panjang. “Ah, Parno, di gedung dewan itu, diam bukan tanda takut.

Diam itu mata uang. Mereka paham, kalau membuka aib orang, besok-besok gilirannya sendiri yang dibuka. Makanya, lebih aman pura-pura sibuk merapikan map kosong ketimbang bicara.”

Sari Nonggeng nyeletuk, “Tapi hubungan Esty dan Rombi itu kan… terang-terangan?”

“Terang benderang,” jawab Din Bacut, “mereka jalan berdua, ibadah bareng, pulang bareng. Bahkan nikah di Tanah Suci pakai jasa travel yang diam-diam nyelipin paket ‘akad plus’.

Sementara Istri sah Rombi? Dia cuma kebagian nonton film dokumenter pengkhianatan gratis di eskalator bandara.

Dan jangan lupa, puncak kekejiannya waktu Rombi minta mobil Inova kredit diserahkan ke Esty. Katanya, Esty yang bayar cicilannya. Padahal, kalau pun dibayar, itu tetap dari uang yang diangkut dari keringat rakyat juga.”

Dek Yanti memukul-mukul saringan gorengan. “Lah, Badan Kehormatan kok diem bae? Ketua DPRD si Bermas Junitata juga nggak gerak. Apa mereka nggak merasa ini mencoreng institusi?”

Baca Juga:  Komisioner Makelar Suara (Bagian II)

Din Bacut tersenyum miring. “Bermas itu punya kemampuan langka, bisa melihat jelas tapi memilih pakai kacamata kuda.

Dia tahu, tapi pura-pura lupa. Badan Kehormatan? Namanya saja ‘kehormatan’, isinya lebih mirip unit pemadam kebakaran yang cuma datang kalau yang terbakar rumahnya lawan politik.”

Parno menambahkan, “Kasihan anak dan istri Rombi. Ditinggal tanpa nafkah, tanpa kepastian, cuma dapat warisan rasa malu.

Sementara Rombi sibuk main peran jadi suami gelap Esty, tidur nyenyak di rumah yang atapnya dibangun dari sisa-sisa janji kampanye.”

Din Bacut mengangguk. “Itulah ironi kita. Di atas kertas, dewan ini wakil rakyat. Tapi di lapangan, mereka lebih mirip geng komplek yang sibuk melindungi salah satu anggotanya dari gosip tetangga.

Jadi jangan heran kalau kota ini terus penuh drama. DPRD-nya saja sudah berubah jadi teater besar dengan lakon ‘Aibmu, Aibku Juga’.”

Semua terdiam. Kipas angin gantung berdecit pelan, seperti ikut menyindir. Di luar, matahari tenggelam di balik baliho besar Esty Freshtuti yang tersenyum lebar, senyum yang, bagi sebagian orang, lebih tajam dari pisau dapur.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed