Kunjungan Pihak Sekolah SMAN 1 Pringsewu bersama jajaran wakil kepala sekolah dan humas ke rumah orang tua Mic (17), siswa yang dipaksa mengundurkan diri, menjadi babak baru dari kisruh pendidikan yang sempat mengguncang publik di Pringsewu.
Pertemuan pada Jumat, 15 Agustus 2025 itu berlangsung sederhana, namun sarat makna: pihak sekolah meminta agar persoalan tidak lagi diperpanjang.
Andre, ayah Mic, menceritakan bahwa dirinya menerima rombongan pihak sekolah sekitar pukul 11.00 WIB. “Mereka datang dan meminta agar persoalan ini tidak diperpanjang. Intinya, anggap saja sudah berlalu,” ujar Andre.
Meski berupaya menghargai kedatangan itu, Andre masih menyimpan keganjilan di hati. Bagi dirinya, penyelesaian masalah tidak cukup hanya dengan basa-basi permintaan maaf, apalagi tanpa komitmen perubahan ke depan.
Ia sempat mengusulkan agar pihak sekolah juga menemui bibinya Mic, yang sebelumnya dipaksa membuat surat pernyataan penarikan siswa. Namun, permintaan itu tidak diindahkan. Kepala Sekolah merasa cukup berbicara dengan orang tua saja.
“Padahal, persoalan awalnya bermula dari surat itu. Kalau memang mau tuntas, seharusnya dihadapi juga,” jelas Andre.
Beberapa jam setelah kunjungan ke rumah Andre, staf humas SMAN 1 Pringsewu bernama Intan juga menyambangi kediaman Farida, bibi Mic. Utusan itu menyampaikan permohonan maaf mewakili sekolah. Farida menerimanya dengan terbuka, meski menegaskan bahwa cara penyampaian semestinya lebih beradab.
“Paling penting mendudukan persoalan adalah bertabayun. Jika institusi pendidikan mengajarkan etika, seyogianya pihak sekolah sepatutnya mewakili sosok tepat yang benar-benar bisa mengatasnamakan sekolah,” ujarnya.
Keluarga besar pun sepakat: mereka menerima permintaan maaf, tetapi berharap kejadian serupa tidak pernah terulang. Andi Wijaya, kakak Mic, memandang kunjungan pihak sekolah sebagai sesuatu yang wajar disambut baik. Namun ia menyelipkan kritik tajam terkait kepemimpinan. “Padahal baru saja Presiden Prabowo berpidato: kalau memimpin harus di depan. Di titik paling kritis dan berbahaya, seorang pemimpin harus berada di garis terdepan. Sayangnya, di kasus ini, Kepala Sekolah justru mengutus staf,” sindir Andi.
Meski demikian, keluarga memilih untuk menutup lembaran lama. Mereka tidak menuntut agar Mic dikembalikan ke bangku SMAN 1 Pringsewu. Mic kini telah bersekolah di SMA Xaverius dan pihak keluarga lebih mengutamakan kondisi psikologis anak.
“Kami tidak bisa memaksa sekolah yang pada dasarnya sudah tidak mau dan tidak mampu memenuhi hak pendidikan anak kami. Meski mungkin bisa, kami harus mempertimbangkan sisi batin anak,” tegas Andre.
Apresiasi yang tinggi dari pihak keluarga juga ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung yang ikut berinisiatif menyelesaikan persoalan. Namun pihak keluarga juga menitipkan pesan, bahwa polemik ini semestinya menjadi cermin penting bahwa sistem pendidikan kita masih butuh perbaikan. Bukan hanya soal siswa, melainkan juga soal sikap dan etika para pendidik yang seharusnya berdiri sebagai teladan.
Komentar