oleh

NTP Turun, Pemprov Tidur Siang?

Di Lampung, petani adalah tulang punggung. Tapi entah mengapa, setiap kali Nilai Tukar Petani (NTP) anjlok, yang terlihat justru pemerintah provinsi bersembunyi di balik angka statistik, rapat seremonial, dan pidato yang hanya manis di atas panggung.

Data terakhir dari BPS menunjukkan, pada Juli 2025, NTP Lampung turun drastis menjadi 125,15. Turun 2,46 persen hanya dalam sebulan. Sebuah penurunan yang bukan sekadar angka di tabel, melainkan detak jantung kesejahteraan petani yang makin melemah.

Indeks Harga yang Diterima Petani jatuh, sementara biaya hidup dan produksi naik. Inilah definisi sederhana dari nasib buruk: barang yang dijual makin murah, biaya hidup makin mahal.

Lalu, bagaimana dengan Agustus 2025? Ironisnya, data belum dirilis. Pemerintah provinsi pun bungkam.

Padahal, keterlambatan data bukan sekadar soal teknis. Ia adalah tanda betapa masalah petani tidak dianggap mendesak.

Pemerintah lebih rajin menggelar seremoni panen raya, berpose dengan cangkul di sawah, ketimbang memastikan petani benar-benar bisa membeli beras dari hasil jerih payahnya sendiri.

Mari kita bicara blak-blakan, turunnya NTP adalah bukti nyata bahwa pemerintah gagal menjaga keseimbangan harga. Bulog daerah lumpuh, subsidi pupuk bocor, dan tengkulak masih menjadi raja jalanan.

Sementara itu, petani dibiarkan berjuang sendirian melawan pasar yang semakin ganas.

Jika Pemprov Lampung sungguh peduli, ada tiga hal mendesak yang semestinya dilakukan:

1. Stabilisasi harga panen. Jangan biarkan harga gabah atau jagung dipermainkan tengkulak. Pemprov harus jadi penyangga harga, bukan penonton.

2. Subsidi yang nyata, bukan legenda. Jangan biarkan pupuk bersubsidi hanya terdengar di koran dan baliho. Pastikan sampai ke tangan petani, bukan raib di gudang atau dikorupsi.

3. Pasar alternatif untuk petani. Buka ruang distribusi langsung, koperasi, atau platform digital agar petani punya daya tawar.

Baca Juga:  Dugaan Pelanggaran ITE Proyek Perpus Way Kanan Berlabuh di Polda

 

Jika tidak, jangan salahkan bila sawah-sawah ditinggalkan. Generasi muda desa lebih memilih jadi buruh pabrik, ojol, atau pekerja migran ketimbang bertani. Lampung bisa kehilangan petani sebelum kehilangan panen.

Turunnya NTP bukan sekadar soal statistik yang minus 2,46 persen. Ia adalah alarm keras: petani sedang ditinggalkan.

Pertanyaannya sederhana, apakah pemerintah provinsi masih punya telinga untuk mendengar jeritan sawah, atau lebih suka menutupnya dengan tepuk tangan di ruang rapat ber-AC?

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed