oleh

Kadis PKPCK Lampung: Lewat Batas, Tanpa Evaluasi

-Opini-899 views

Di atas kertas, tata kelola birokrasi Indonesia sudah relatif rapi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS telah mengatur dengan tegas mekanisme pengisian jabatan pimpinan tinggi (JPT).

Ada prinsip meritokrasi, ada mekanisme seleksi terbuka, ada batasan masa jabatan lima tahun, ada pula evaluasi yang menjadi dasar perpanjangan atau rotasi.

Semua itu lahir dari kesadaran bahwa birokrasi adalah mesin yang harus terus bergerak, beradaptasi, dan menghindari stagnasi.

Namun, aturan di atas kertas tidak selalu berbanding lurus dengan praktik di lapangan. Di banyak daerah, pejabat pimpinan tinggi pratama, termasuk kepala dinas sering menduduki kursi jabatan jauh lebih lama dari yang diamanatkan regulasi. Ada yang sampai enam, tujuh, bahkan hampir sepuluh tahun, tanpa rotasi berarti.

Salah satu contoh yang tengah jadi sorotan adalah Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya (PKPCK) Provinsi Lampung, Thomas Edwin Ali Hutagalung. Ia dilantik pada 2 Januari 2020 melalui Surat Keputusan Gubernur Lampung.

Artinya, hingga September 2025 ini, ia telah menjabat selama 5 tahun 8 bulan,melewati batas lima tahun yang jelas-jelas tercantum dalam peraturan.

Regulasi yang diabaikan

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 Pasal 117 menegaskan, masa jabatan JPT adalah lima tahun. Setelahnya, pejabat wajib dievaluasi.

Bila kinerjanya baik, ia bisa diperpanjang untuk periode berikutnya. Bila kinerjanya tidak memuaskan, pejabat berwenang wajib merotasi atau mengganti. Ketentuan ini tidak lahir sembarangan.

Pemerintah ingin mencegah munculnya “zona nyaman” birokrat yang terlalu lama berkuasa di satu kursi, sehingga berpotensi membangun jaringan informal, menghambat regenerasi, atau bahkan membuka celah penyalahgunaan.

 

Dengan kata lain, masa jabatan lima tahun bukan sekadar formalitas, melainkan mekanisme kontrol. Sayangnya, praktik di daerah sering mengabaikan semangat itu.

“Jika masa jabatan dibiarkan lewat tanpa evaluasi terbuka, kita sedang mengirim pesan bahwa aturan hanya berlaku untuk sebagian orang,” kata seorang pengamat kepegawaian yang saya hubungi.

Baca Juga:  Andai Saya Gubernur Lampung

Ketika Prestasi Tak Kunjung Terlihat

Melebihi masa jabatan lima tahun mungkin bisa dipahami jika pejabat tersebut memiliki rekam jejak kinerja yang luar biasa. Namun, apakah itu yang terjadi di Dinas PKPCK Lampung?

Faktanya, selama kepemimpinan Thomas Edwin, publik tidak melihat capaian besar yang patut dicatat. Justru sebaliknya, media dan LSM lokal berulang kali menyoroti dugaan penyimpangan proyek. Ada laporan mengenai praktik “setoran proyek” yang membebani kontraktor, sebuah fenomena klasik yang telah lama menggerogoti kualitas pembangunan daerah.

Ada pula sorotan terhadap hasil audit BPK terkait program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS/BSMS). Dinas memang memberi klarifikasi bahwa tidak ada kerugian negara, tetapi fakta bahwa laporan itu menimbulkan pertanyaan publik menunjukkan rapuhnya tata kelola.

Dalam beberapa kesempatan, kepala dinas juga disebut-sebut enggan memberikan konfirmasi terbuka kepada wartawan. Sikap ini hanya memperkuat kesan bahwa ada sesuatu yang tidak ingin disorot ke publik.

Pertanyaannya sederhana, jika masa jabatan sudah melewati batas, dan prestasi tidak terlihat, untuk apa jabatan itu dipertahankan?

 

Risiko stagnasi birokrasi

Pejabat yang terlalu lama duduk di satu kursi cenderung membangun pola pikir “status quo”. Alih-alih mendorong inovasi, yang muncul adalah sikap mempertahankan keadaan agar tetap nyaman. Hal ini berbahaya karena birokrasi adalah mesin yang harus terus bergerak.

Ada tiga risiko utama yang muncul dari kondisi ini. Pertama, stagnasi kepemimpinan yakni tidak ada gagasan baru, tidak ada energi baru. Kedua, melemahnya akuntabilitas, pejabat yang lama berkuasa cenderung punya jaringan kuat yang membuat pengawasan menjadi sulit. Ketiga, rusaknya meritokrasi, pejabat lain yang berprestasi akan kehilangan motivasi karena melihat jabatan lebih ditentukan oleh koneksi dan kenyamanan ketimbang evaluasi kinerja.

Kondisi inilah yang seharusnya menjadi perhatian serius Gubernur dan pejabat pembina kepegawaian.

Menteri PANRB sudah berulang kali menegaskan bahwa rotasi dan mutasi adalah alat penting untuk memperbaiki kinerja birokrasi. Bahkan, pejabat pimpinan tinggi bisa dimutasi dalam waktu kurang dari dua tahun bila diperlukan untuk mengatasi stagnasi atau benturan kepentingan.

Baca Juga:  Pun Edward, Kandidat Gubernur Lampung

Dengan demikian, tidak ada alasan membiarkan seorang kepala dinas menjabat lebih dari lima tahun tanpa evaluasi yang transparan.

Pengamat kepegawaian juga menilai, masa jabatan yang panjang tanpa perputaran posisi cenderung melemahkan akuntabilitas. “Jika evaluasi kinerja tidak dilakukan, masyarakat akan curiga bahwa jabatan bukan lagi soal merit, tapi soal siapa dekat dengan siapa,” ujar seorang pakar kepegawaian dari salah satu universitas negeri.

 

Perlunya Transparansi

Publik berhak tahu, apakah jabatan Thomas Edwin diperpanjang secara resmi? Apakah ada surat keputusan perpanjangan berdasarkan evaluasi kinerja? Apa indikator kinerjanya? Bagaimana hasil audit kinerjanya? Apa capaian yang membuatnya layak bertahan?

Tanpa jawaban yang jelas, publik akan menilai perpanjangan jabatan ini hanyalah bentuk pembiaran. Dan pembiaran semacam ini hanya akan melanggengkan birokrasi yang stagnan, rentan penyimpangan, dan jauh dari semangat meritokrasi.

 

Saatnya Penyegaran

Jabatan bukanlah hak milik pribadi, melainkan amanah publik. Batas lima tahun yang diatur dalam undang-undang adalah pagar pengaman, agar pejabat tidak terjebak dalam zona nyaman. Jika pagar itu diterabas, sementara prestasi tidak tampak, maka yang terjadi bukan sekadar pelanggaran administrasi, tetapi pengkhianatan terhadap semangat reformasi birokrasi.

Sudah saatnya pemerintah Provinsi berani mengambil Langkah yakni lakukan evaluasi menyeluruh, buka hasilnya ke publik, dan jika perlu, lakukan rotasi. Penyegaran birokrasi adalah jalan satu-satunya untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan memastikan roda pemerintahan berjalan sesuai relnya.

Sebab birokrasi yang sehat hanya lahir dari akuntabilitas, meritokrasi, dan keberanian untuk berubah.

Peran Gubernur

Di sinilah peran penting Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal. Sebagai pejabat pembina kepegawaian di provinsi, gubernur punya kewenangan penuh untuk melakukan evaluasi, rotasi, bahkan pemberhentian kepala dinas.

Baca Juga:  Karya Anak PTPN Group Mendunia

Rahmat Mirzani Djausal yang Karib di sapa Iyay Mirza, adalah wajah baru di pucuk kepemimpinan Lampung. Publik tentu menaruh harapan besar bahwa ia akan membawa semangat reformasi birokrasi, bukan melanjutkan pola lama yang membiarkan pejabat duduk terlalu lama tanpa pertanggungjawaban.

Bila gubernur memilih diam, publik akan menilai bahwa kepemimpinannya tidak berani menyentuh akar persoalan.

Iyay Mirza harus ingat, birokrasi adalah etalase kepemimpinan. Bila etalase itu dibiarkan buram, reputasi pemimpin ikut tercoreng.

Pengamat kepegawaian berulang kali mengingatkan bahwa mutasi dan rotasi pejabat tinggi bukan sekadar opsi, melainkan kewajiban manajerial.

Bahkan, menurut kebijakan Kementerian PANRB, rotasi bisa dilakukan dalam waktu kurang dari dua tahun jika diperlukan untuk mempercepat kinerja dan menghindari benturan kepentingan.

Dengan kata lain, jika seorang kepala dinas sudah menjabat lebih dari lima tahun tanpa prestasi, maka gubernur wajib mengambil sikap tegas. Rotasi adalah jalan tengah yang sehat: memberi penyegaran pada organisasi sekaligus menghindari stigma bahwa jabatan melekat karena kedekatan atau faktor non-merit.

Kasus Thomas Edwin seharusnya menjadi peringatan dini bagi Gubernur. Jika dibiarkan, publik akan bertanya-tanya, apakah gubernur serius menjalankan reformasi birokrasi? Apakah aturan hanya berhenti di atas kertas, tanpa gigi di lapangan?

Kepercayaan publik tidak dibangun dengan pidato atau jargon, melainkan dengan tindakan nyata. Dan dalam konteks ini, tindakan nyata itu sederhana, evaluasi menyeluruh, publikasi hasilnya, dan rotasi bila perlu.

Sudah terlalu lama kursi Kepala Dinas PKPCK Lampung ditempati orang yang sama tanpa prestasi yang meyakinkan. Sorotan dugaan penyimpangan menambah alasan mengapa evaluasi mendesak dilakukan.

Kini bola ada di tangan Gubernur. Apakah ia berani menegakkan aturan, menyegarkan birokrasi, dan mengembalikan kepercayaan publik? Atau justru memilih membiarkan birokrasi berjalan dalam zona nyaman yang stagnan?

Wallahualam bishawab,Tabikpun Mahhap Ngalimpuro

Oleh Abung Mamasa

Pemimpin Redaksi Harian Kandidat

 

 

 

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed