oleh

Jangan Panggil Aku Anak Kecil, Paman

-Din Bacut-350 views

Pagi itu, kedai kopi Slemon Dek Yanti penuh sesak. Aroma Kopi Slemon bercampur dengan gorengan tahu isi kecambah menggoda hidung siapa saja yang lewat.

Din Bacut duduk di meja pojok, sibuk mengaduk kopi seolah sedang mengaduk nasib bangsa.

“Din, koalisi politik di daerah sebelah lagi ribut. Katanya bupatinya dibilang cuma anak kecil. Boneka keluarga,” bisik Rudi Kisut sambil menggigit tempe mendoan yang sudah dingin, seperti cintanya yang juga dingin karena ditolak Dek Yanti seminggu lalu.

Din Bacut menoleh, wajahnya serius tapi lebih mirip orang sembelit yang lupa bawa minyak kayu putih.

“Jangan panggil aku anak kecil, paman!” katanya tiba-tiba dengan suara lantang, menirukan kartun Shiva di ANTV.

Semua pengunjung bengong. Bahkan Dek Yanti yang lagi mengelap gelas langsung nyeletuk,

“Lah, Din… kamu kan sudah 45 tahun, rambut ubanan semua. Anak kecil dari Hong Kong? Apa anak kecil pensiunan?”

Parno Bojoloro, yang baru selesai menata sandal jepitnya biar tidak ketuker, ikut menimpali,

“Eh tapi bener lho, Din. Di politik kita, kepala daerah muda sering diremehkan. Dibilang cuma boneka keluarga, dikira kebijakannya dikendalikan ayah, paman, bibi, sama sepupu. Padahal belum tentu. Bisa jadi si anak muda itu malah lebih cerdas daripada keluarganya. Paling nggak, bisa bikin TikTok lebih kreatif.”

Din Bacut manggut-manggut, lalu memukul meja. Suaranya bikin gelas teh anget Parno hampir tumpah.

“Masalahnya, Par, rakyat kita sering lebih sibuk ngeributin umur ketimbang ngeributin laporan keuangan daerah. Yang penting bukan usianya, tapi serapan anggaran! Bener nggak, Dek Yanti?”

Dek Yanti sambil tersenyum gemoy menjawab,

“Betul, Din. Lha wong pejabat tua banyak juga yang cuma jago tidur di rapat, kerjaan minim, prestasi nol koma nol. Tapi kalau pejabat muda kerja cepat, transparan, dan punya inovasi, ya harusnya diapresiasi. Lagian kalau tidur di rapat kan bisa beli bantal sendiri, nggak usah pake kursi DPRD.”

Baca Juga:  Wabup Mesum Dari Utara

Obrolan makin panas. Rudi Kisut tiba-tiba berdiri, mengangkat tangan seperti orator kampus gagal wisuda, padahal hatinya masih nyesek karena Dek Yanti lebih milih ngobrol sama tukang gas ketimbang dia.

“Jadi, kesimpulannya, jangan panggil kepala daerah muda itu anak kecil. Yang penting, jangan juga dia jadi anak manja keluarga yang semua kebijakan pesanan bapak-ibu di rumah. Itu lebih bahaya!”

Tiba-tiba datang Jamil Slebew, ngos-ngosan karena tadi dikejar debt collector koperasi. Tanpa basa-basi ia langsung nyeletuk,

“Di sini yang paling bahaya itu bukan kepala daerah muda atau tua. Tapi kalau kepala daerahnya sibuk mikirin proyek keluarga, bukan rakyat. Itu bukan anak kecil lagi, tapi anak durhaka ke konstitusi! Bahkan kalau bisa, langsung dicoret dari Kartu Keluarga Bangsa!”

Semua terdiam sejenak. Bahkan kipas angin tua di pojok kedai sempat berhenti sebentar seolah merenung. Lalu meledak tawa.

Din Bacut mengangkat gelas kopi tinggi-tinggi.

“Jangan panggil aku anak kecil, paman! Tapi kalau panggil aku bapak pembangunan serapan anggaran, aku rela!”

Gelak tawa pecah, gorengan ludes, dan obrolan pun jadi bahan gosip politik gratisan yang lebih hangat daripada berita di TV.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed