Kopi di cangkir Din Bacut sudah dingin, tapi amarahnya makin panas. Ia menyalakan sebatang rokok murahan, hisapannya kasar seperti orang menarik utang.
“Dengar, kawan-kawan,” katanya, suaranya berat, nyaring, menggetarkan bambu kedai. “Kota Badar Lepung ini sudah resmi jadi panggung sirkus! Walikotanya badut, jaksa jadi singa jinak, DPRD jadi kambing goyang. Semua pakai kostum jas safari, tapi otaknya jongos busuk!”
Edi Dacul terbahak. “Hahaha, cocok, Din. Kalau ada tiket masuk, warga harus bayar pakai KTP. Duduk di tribun, nonton Walikota Epah Dewiyana jongkok di depan Jaksa.
Sementara anggota DPRD jongkok kayak babu di belakang, nunduk-nunduk, berharap dilempar proyek seperti kacang goreng.”
“Persetan!” bentak Din Bacut. “Kejaksaan itu mestinya menolak bantuan tolol itu. Walau tidak ada aturan yang dilanggar, tapi punya otak dan punya hati harusnya bisa bilang, ‘Hei, duit rakyat jangan dipakai untuk bikin gedung megah buat kami!’
Tapi apa yang terjadi? Semua diam, semua girang, semua pura-pura bego. Rakyat yang sakit, rakyat yang menderita! Jalan hancur, banjir tiap hujan, sekolah bocor, rumah sakit kayak kandang ayam, tapi duit
ratusan miliar disulap jadi bantuan untuk semua instasi yang sama sekali tidak berkontribusi dengan pemerintah kota, puluhan miliar untuk istana jaksa! Itu namanya bukan pembangunan, itu namanya pelecehan massal!”
Yono Kebaw menepuk meja. “Dan jangan lupa, DPRD! Ketua Dewan si Buritnas Yunirata, dari partai Burung Terbang, harusnya bisa stop anggaran goblok itu.Tapi apa, mereka justru lupa dengan fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
Badan Anggaran mestinya jadi rem, eh malah jadi pedal gas. Mereka itu ibarat kambing lapar disodorin daun singkong, langsung lahap tanpa mikir. Hasilnya? Anggaran lewat, rakyat mampus.”
Din Bacut mengibaskan tangannya, rokoknya hampir jatuh. “Aku curiga, semua anggota dewan itu sudah diguyur jatah proyek. Jangan-jangan mereka juga dikasih bonus jatah umroh lima kali per kepala.
Tapi apa yang mereka lakukan? Bukan dipakai untuk orang miskin, bukan buat kader partai, malah dijual kayak tiket konser murahan! Rakusnya minta ampun. Mereka pura-pura agamis, teriak-teriak syariat, tapi jatah umroh dijual buat nambah modal proyek. Bangsat semua!”
Dek Yanti menyeringai pahit. “Jadi, ibaratnya rakyat ini cuma penonton sirkus ya, Din? Bayar tiket dengan pajak, nonton atraksi walikota jongos, jaksa mesem, dewan jualan doa palsu. Sementara kota kita banjir kayak lautan, jalan kayak lunar surface.”
“Betul, Dek Yanti!” Din Bacut menepuk jidatnya. “Kota ini bukan lagi Badar Lepung, tapi Badut Lepung! Lihat angkot, sudah punah. Lihat drainase, mampet kayak usus buntu. Lihat sekolah, minta sumbangan tiap minggu. Lihat pasar, becek kayak kubangan kerbau.
Tapi pemerintah sibuk bikin gedung kejaksaan mentereng biar bisa selfie pas peresmian. Itu bukan pemimpin, itu badut sialan yang sedang main sirkus di atas penderitaan rakyat!”
Edi Dacul menambahkan, “Kalau sirkusnya bocor, kita tinggal lempar sandal. Kalau panggungnya roboh, biar mereka tertimbun sendiri.”
Din Bacut berdiri lagi, matanya merah, suaranya melengking.
“Kawan-kawan, catat! Walikota goblok, DPRD bangsat, Jaksa setan! Rakyat Badar Lepung harus sadar, kita bukan sapi, bukan kambing, bukan penonton sirkus.
Kalau terus begini, kita akan tinggal nama, kota akan jadi bahan ketawaan se-Konoha. Dan semua itu gara-gara pemimpin jongos yang menjual harga diri rakyat demi kursi empuk dan proyek haram!”
Suasana kedai hening sejenak. Hanya suara kipas angin tua berdecit. Lalu tawa getir pecah, bercampur asap rokok dan aroma kopi. Semua sadar, apa yang diucapkan Din Bacut mungkin kasar, tapi itulah wajah telanjang kota mereka.










Komentar