SEBUAH berita di Tempo menohok sekali. Lampung peringkat pertama tingginya angka kematian karena covid 19. Dan provinsi terbuncit menerima vaksin.
Saya mesti marah pada media tersebut, yang kuanggap salah mendata? Apakah saya harus menyatakan; “itu ngawur! Yang berhak mengeluarkan data kematian, bukan media. Tetapi….”
Tentu sikap saya ini jika seperti itu, hanya meniru sikap tuan gubernur yang terhormat. Masih ingat pak Gubernur marah-marah dengan BPS, masih terekam di benak saat yang mulia Gubernur memarahi wartawan/media massa. Tak akan jauh anak dari prilaku bapaknya. Boleh jadi saya pun pantas kebakaran jenggot karena pemberitaan itu. Saya boleh berang, pak Gubernur?
Sebagai rakyat yang baik, saya mesti membela pimpinan. Bukankah begitu? Pemberitaan itu telah membuat sedih rakyat. Ya saya. Seakan itu cerminan ketakbecusan dan ketakseriusan pak Gubernur. Padahal, YM Gubernur sudah (sangat) serius menangani masalah wabah ini. Saya hakul yakin Pak Gubernur dan Bu Wakil Gubernur terlalu menyayangi nyawa rakyat Lampung. Saya yakin itu.
Tapi apa mau dikata. Pasti pak Gubernur akan berkata begini: “Hidup-mati, juga rezeki seseorang, sudah ditetapkan-Nya sejak dari langit.”
Artinya biar pun gencar menangani wabah ini, angka kemataian tetap segitu. Sudah diatur dan terukur.
Namun saya yakin, bapak Gubernur yang baik hati, tidak semberono akan bicara begitu. Sama saja menggantungkan nasib pada takdir. Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum, kalau kaum itu tak mau mengubahnya.
Cuma kenapa Lampung biasa duduk di nomor satu? Dan ini prestasi keberhasilan yang patut disyukuri. Dan diberi label: “Selamat!”
Sebab, ini sama saja, kita tengah mendekati kiamat. Ingat pak Gubernur, kata “mendekati” yang berarti kita bisa mengubah jalan kiamaf menjadi kehidupan yang berarti dan diharapkan bersama.
Jadi, sebelum terlambat – dan memang belum telat – mari serius menangani wabah ini jangan sampai bertambah yang menemukan kematian. Turun dan banyak-banyak di luar bersama gugus tugas covid dan rakyat, dalam bahu membahu mengecilkan tingkat penyebaran wabah serta menutup peluang kematian akibat virus yang lebih besar.
Terus terang, hati yang paling dalam yang saya miliki merintih dengan situasi saat ini. Wabah Covid alih-alih dapat ditiadakan, malah terus menggurita. Korban yang jatuh setiap hari bertambah; yang terpapar maupun terkuburkan.
Rumah saya yang letaknya tak lebih 50 meter dari kuburan, hampir setiap hari menyaksikan 2 hingga 3 yang dimakamkan. Hingga malam ada pula yang dikuburkan. Di TPU dekat kediaman saya, bersatu muslim non muslim. Toleransi antarumat beragama yang layak dicontoh. Di pemakaman pun bisa saling berdekatan atawa bertetanga.
Sekian, maaf pak Gubernur yang terhormat, ini surat yang tak ada apa-apa faedahnya jika diabaikan, dan dari seorang rakyat yang boleh tak dihitung.
Hambasahaya:
Isbedy Stiawan ZS
Komentar