oleh

Eddy Rifai Dimintai Pendapat Sebagai Ahli Oleh Kepala Kanwil Kemenkum-HAM Lampung Nofli Dalam Persoalan Dugaan Pungli Asimilasi

Eddy Rifai Dimintai Pendapat Sebagai Ahli Oleh Kemenkum-HAM Lampung Dalam Persoalan Dugaan Pungli Asimilasi
Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H.. Foto: Istimewa

Bandar Lampung – Semua bermula dari pemberitaan di sejumlah media massa baik cetak maupun online. Minggu, 12 April 2020, publik disuguhkan berita yang memuat informasi menyoal adanya dugaan tindak pidana, klasifikasinya; pungutan liar (pungli). Pungli itu diduga dilakukan oknum petugas di jajaran Divisi Pemasyarakatan (Divpas) pada Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Lampung.

Berangkat dari pemberitaan itu, Dr Eddy Rifai dimintai pendapatnya oleh Kepala Kanwil Kemenkum-HAM Provinsi Lampung Nofli. Eddy Rifai saat kami wawancarai mengatakan ia berangkat menemui Nofli. Singkatnya, mereka berdiskusi. Bahan diskusinya tentang dugaan pungli oknum petugas kepada napi yang menjalani Program Asimilasi dan Hak Integrasi sesuai aturan Permenkum-HAM No 10 Tahun 2020. Nofli merasa tidak dapat berbuat banyak bahkan tidak dapat menerima informasi tambahan dari pewarta penulis produk jurnalistik tersebut. Artinya Nofli butuh solusi atas berita itu.

“Jadi begini, kebetulan terkait ada berita itu, saya juga dipanggil oleh pak Nofli ke kantornya. Jadi, saya kan kebetulan di Kemenkum-HAM Lampung ini sebagai ada kerjasama Unila dengan Kemenkum-HAM gitu. Jadi saya sebagai bagian di dalam pembuatan perda-perda, penelitian, pokoknya kerja sama dalam kegiatan-kegiatan di Kemenkum-HAM Lampung, pakarnya itu saya, begitu,” ungkap Eddy Rifai lewat sambungan telponnya, Sabtu, 25 April 2020.

“Jadi pak Nofli tahu bahwa saya juga menguasai bidang UU Pers jadi dipanggil gitu. Jadi pada waktu itu, habis berita itu muncul. Ya intinya saya dua kali ke sana,” tambahnya.

Eddy Rifai kemudian menceritakan kronologis persoalan yang dihadapi oleh Nofli. Mula-mula ia bercerita tentang ‘kemarahan’ Menteri Yasonna Laoly; juga terkait niat pencopotan sejumlah pejabat tinggi di Kanwil Kemenkum-HAM Lampung sampai kepada adanya permintaan ‘khusus’ kepada Nofli untuk melayangkan somasi kepada pewarta pembuat produk jurnalistik tersebut. Eddy Rifai juga mengkonfirmasi, bahwa produk jurnalistik tentang dugaan pungli asimilasi pertama kali muncul dari Provinsi Lampung.

“Jadi gini, awal pertama itu sebenarnya yang marah itu dari Jakarta gitu. Dari Jakarta, langsung pak menterinya marah, pak Yasonna. Dia marah, intinya eee kok ada berita begitu di Lampung, gitu. Kemudian tadi, di lain-lain tempat belum ada. Pertama muncul kan Lampung gitu. Kemudian akhirnya, keluarlah kata-kata mau dicopotlah kakanwilnya, divpas dan sebagainya, pokoknya gitu-gitu. Nah akhirnya diperintah itu dicari, gitu. Kepada adanya berita itu, siapa yang buat, petugasnya bahkan mau dicopot, kalau memang berita itu ada,” ungkap dia.

Baca Juga:  KPK Ingatkan Jajaran Lapas dan Rutan di Lampung Untuk Tidak Tunggangi Momentum Covid-19

Dia mengatakan, beranjak dari arahan Kemenkum-HAM RI, maka muncul niat Nofli untuk membentuk tim yang ditugasi menelusuri informasi yang sudah terpublikasi tersebut. Belakangan nama tim itu dinamai, tim investigasi. “Atas dasar itu lah, pak Nofli membentuk satgas itu lah. Satgas untuk menelusuri. (Bukannya nama tim itu tim investigasi?) Pokoknya apa lah nama timnya. Pokoknya dibentuk untuk mencari itu,” terangnya.

Pasca pembentukan tim itu, ada tim investigasi lain yang turun dari Kemenkum-HAM RI. Melihat tim tambahan turun, Nofli disebutnya memberikan penjelasan kepada Kemenkum-HAM RI, bahwa tim semula sedang bekerja sesuai dengan arahan dan perintah dari pusat. Nofli disebut-sebut, kembali mendapat perintah untuk melayangkan somasi kepada pewarta, karena dianggap produk jurnalistik tersebut tidak mengandung nilai kebenaran.

“Nah kemudian, empat hari berikutnya, dari Jakarta itu datang, dari inspektorat. Begitu datang, bahkan kemudian dari Jakarta juga gini, perintahin pak Nofli, kalau memang, kan pak Nofli menyampaikan bahwa berita itu masih dicari, karena sumbernya baru disebut baru diduga. Dari Jakarta bahkan gini, yaudah, sekarang kalau memang wartawannya itu hoax kata mereka, ya mereka menduga wartawannya hoax yang buat berita-berita itu, supaya disomasi aja wartawannya,” imbuhnya.

Eddy Rifai menegaskan kembali, bahwa permintaan somasi itu benar-benar ada dan niat itu muncul dari inisiatif Kemenkum-HAM RI. Tujuan somasi itu dimaksudkan agar pewarta yang membuat pemberitaan itu, membuka detail dari peristiwa tersebut.

“Iya pusat bilang gitu, perintahnya agar disomasi supaya membuka siapa ini sumber berita itu yang namanya R dan M itu,” akunya. Inisial R dan M adalah diduga narapidana yang menjadi narasumber di dalam produk jurnalistik. R dan M mengaku bahwa besaran nilai dari pungli itu senilai Rp5 juta sampai Rp10 juta. Keterangan ini berasal dari informasi yang dipublikasi lewat sejumlah media siber.

Baca Juga:  Bambang Hermanto: Kasus Mandeknya Hak Klaim Pemegang Polis AJB Bumiputera Ditanya Ke Pusat

Eddy Rifai berkata kepada Nofli, permintaan tersebut justru akan menyulitkan posisi Kanwil Kemenkum-HAM Provinsi Lampung. Sebagai ahli dalam bidang jurnalistik, Eddy Rifai –yang pada daftar riwayat hidupnya mencantumkan bahwa ia dalam Daftar Penelitian atau Publikasi Dalam Bentuk Jurnal dan Buku Tentang Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Pers di Tahun 2010– mengatakan bahwa, pewarta dalam setiap pembuatan produk jurnalistik dilindungi oleh UU No 40 Tahun 1999. Melihat aturan perundang-undangan tersebut, kata Eddy Rifai, bahkan jika persoalan itu dibawa ke ranah pengadilan akan sia-sia.

“Maka terus, saya dipanggil ke sana. Begitu dipanggil, saya bilang, pak Nofli kalau dalam UU Pers kalau pak Nofli melakukan itu, itu malah akan berbalik, akan merugikan Kemenkum-HAM saya bilang. Karena kalau di dalam prosedurnya adalah terkait dengan ada berita itu, itu wartawan berhak untuk tidak menyebutkan narasumber, dan bukan hanya oleh dipanggil pak Nofli saja, atau tim investigasi atau tim inspektorat. Bahkan di pengadilan pun itu ada namanya hak tolak. Jadi kalau ada sampai pengadilan kemudian meminta wartawan itu menyebut siapa-siapa sumber beritanya, dia oleh KUHAP dibolehkan untuk tidak menyebutnya gitu. Jadi membuka di pengadilan, nggak bisa itu. Karena itu sudah diatur baik di dalam kode etik maupun di dalam UU, jadi nggak bisa dibuka gitu,” jelasnya kepada Nofli.

“Jadi pak Nofli (bilang_read) gini, jadi gimana kita itu kalau berita-beritanya bohong? Bahwa berita itu berita nggak benar,” kata dia menirukan pernyataan Nofli.

“Yaudah, saya bilang caranya melakukan hak jawab. Kalau hak jawab itu merasa tidak selesai, pak Nofli bisa mengadu kepada Dewan Pers. Nah di Dewan Pers itu nanti akan dipanggil pihak-pihak yang bersengketa antara pengadu dan teradu, nanti di situ lah akan siapa sumber berita ini, bohong atau benar. Itu Dewan Pers bisa,” ujar dia menjawab pertanyaan Nofli saat itu.

Penjelasan Eddy Rifai itu ditimpali kembali oleh Nofli dengan bertanya, “Gimana kalau kita selesaikan ke polisi?”. Eddy Rifai menolak permintaan Nofli dengan berkata, “Nggak bisa saya bilang. Itu di Dewan Pers ada MoU antara Dewan Pers dengan Kapolri, nggak bisa juga. Harus melalui Dewan Pers”.

Baca Juga:  Mantan Pimpinan KPK Bertanya Kepada Kanwil Kemenkum-HAM Lampung: Dimana Lokasi Dugaan Pungli Asimilasi Itu?

Eddy Rifai menjelaskan, bahwa permintaan Nofli untuk mengadukannya ke pihak kepolisian sebenarnya bisa ditempuh. Tapi dengan syarat-syarat. “Nah nanti kalau memang ada unsur pidananya baru oleh Dewan Pers direkomendasi ke polisi,” tegas Eddy Rifai.

Eddy Rifai menganggap, saran yang disampaikan kepada Nofli tentang pengaduan produk pers ke Dewan Pers tersebut, akan memakan waktu yang tidak sedikit. Atas penjelasan yang berkaitan dengan UU Pers dan Dewan Pers, Nofli disebutnya mengerti dan paham akan hal itu. Dia kemudian diminta untuk membuat pendapat hukum yang nantinya akan disampaikan Nofli kepada Kemenkum-HAM RI.

Eddy Rifai disebut harus segera membuat pendapat hukum atau legal opinion tersebut, sebagai landasan Nofli untuk menjawab perintah dari Kemenkum-HAM RI, berkait melayangkan somasi kepada pewarta.

“Jadi langkah itu sangat panjang. Jadi saya bilang, hak jawab dulu, kalau mau, udah itu penyelesaian melalui Dewan Pers gitu. Akhirnya dengan penjelasan itu, yaudah gini aja pak Eddi buat legal opinionnya nanti kita kirim ke Jakarta ke pak Dirjen kata dia, karena ini ditunggu mereka, kami harus mengambil tindakan, dan tindakan ini ya harus sesuai dengan hukum. Cuman, kami untuk menindak, apa tadi mengancam-ngancam wartawan dan sebagainya itu kan dimaki-maki dan sebagainya,” kata dia menirukan kalimat dari Nofli.

“Kan saya juga ke pak Nofli sistemnya bijaksana saja. Artinya dia karena terdesak oleh tekanan dari atas supaya melakukan tindakan-tindakan seperti itu. Akhirnya dengan saya berikan saran itu, akhirnya dibuatlah secara tertulis saran saya selaku pakar hukum dari Unila, dikirim ke Jakarta,” pungkasnya.

Legal opinion dari Eddy Rifai, diakui telah membuat Kemenkum-HAM RI ‘tercerahkan’. Eddy Rifai menyarankan agar pewarta dan media massa, sebaiknya tidak diajak ‘berantam’ atau bersiteru, melainkan diajak untuk berteman.

“Nah dari Jakarta, tampaknya setelah mendapat penjelasan itu, oh prosedurnya gitu dan akhirnya mereka tidak melakukan suatu yang sifatnya tindakan-tindakan tapi dalam hal ini, yaudah saya bilang gini, kalau dengan media massa saya bilang, kita sebaiknya berteman gitu,” tandasnya. (Ricardo Hutabarat)

News Feed