Anggota DPRD Provinsi Lampung dari Fraksi Partai Gerindra (F-Gerindra), Pattimura Danial tidak setuju dengan wacana diberlakukannya sertifikat tanah elektronik. Ia menilai sistem baru tersebut dapat dengan muda diretas.
Pattimura menyebutkan bahwa persoalan sertifikat ganda alias aspal (asli-palsu) saja sampai saat ini belum dapat dicarikan penyelesaiannya.
Menurut Pattimura semestinya pemerintah terlebih dahulu melakukan penertiban terhadap surat tanah yang masih berbentuk dokumen fisik seperti buku atau majalah untuk menghindari tindak penggandaan sertifikat oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Di Lampung sendiri, masih banyak kasus sertifikat ganda, tidak hanya di desa, di kota juga masih ada sertifikat tanah yang ganda. Tidak hanya itu saja, di tengah pandemi Covid-19 ini malah terjadi anomaly konflik atau sengketa pertanahan, termasuk perampasan tanah yang mengalami peningkatan. Itu dulu yang harus kita selesaikan dan benahi,” ujar Pattimura, dalam keterangannya, Kamis (18/2/2021).
Ia mengatakan setelah persoalan sengketa tanah sudah terselesaikan, itu pun tidak serta merta langsung memberlakukan secara elektronik.
Menurutnya, sebelum memberlakukan hal tersebut, harus melalui kajian demi kajian yang matang agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.
“Zaman serba digital tidak lantas membuat kita harus mudah mengadopsi apapun secara elektronik. Tetap harus melalui riset untuk menghindari kelemahan demi kelemahan yang nantinya akan menimbulkan polemik di masyarakat. Seperti misalkan kemungkinan diretas oleh para hacker. Sudahkah SDM kita mumpuni untuk mengatasi ini?” ujarnya.
Pattimura mengatakan bahwa dari sisi keamanan sertifikat tanah elektronik tersebut belum terjamin dan berpotensi hilangnya data rakyat sebagai pemilik tanah.
Pattimura menilai digitalisasi selama ini hanya akan ramah terhadap masyarakat perkotaan dan kelas menengah ke atas, dimana akses teknologi dan infrastruktur sudah terbangun.
“Lalu bagaimana dengan masyarakat perdesaan terlebih di pedalaman yang teknologinya terisolasi? Tertinggal tentunya, karena tidak semua orang punya handphone, komputer dan pengetahuan yang mumpuni,” kata dia.
“Yang paling rentan dirugikan dalam digitalisasi ini ya masyarakat. Banyak yang terjadi itu konflik masyarakat dengan perusahaan, selesaikan saja ini terlebih dulu,” lanjutnya.
Pattimura berharap kebijakan pemberlakuan sertifkat tanah elektronik itu dapat disosialisasikan lebih dahulu secara massif minimal 5 tahun atau beberapa tahun setelah terjadinya pembenahan data. “Benahi dulu semua polemik yang selama ini ada, baru beberapa tahun kemudian disosialisasikan. Jangan dadakan,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, dalam rangka transfromasi digital, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) menerbitkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik.
Staf Khusus Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Kelembagaan, Teuku Taufiqulhadi mengatakan dengan diluncurkannya sertifikat elektronik, akan ada nuansa yang berbeda dengan sertifikat analog yang biasa digunakan masyarakat.
Komentar