oleh

Angka Merah Raport 3 T di Lampung

-Opini-324 views

Sejak awal pandemi, kerja 3 T (Testing, Tracing, Treatment) telah menjadi konvensi yang diterima oleh pemerintah di seluruh dunia dalam upaya melindungi keselamatan rakyat, apapun ideologi dan sistem politiknya. Kerja 3 T itu kemudian diturunkan ke seluruh pemimpin dan pemerintah lokal dengan standar rujukan yang ditetapkan oleh otoritas kesehatan masing-masing negara.

Dalam tulisan ini saya ingin menunjukkan kepada pembaca sejauh apa kerja 3 T dilakukan di Lampung selama delapan bulan pandemi. Data yang digunakan dalam tulisan ini bersumber dari laman resmi kementerian kesehatan dan satgas COVID-19.

Testing

Testing adalah kerja pengujian yang dilakukan terhadap penduduk yang menetap maupun yang keluar dan masuk di wilayah tertentu, jika diketahui positif mengidap Coronavirus maka kemudian dilakukan pelacakan (Tracing) terhadap semua orang yang teridentifikasi pernah melakukan kontak erat secara fisik dengan pengidap dan dilakukan isolasi serta perawatan (Treatment) terhadap penderita.

76 hari yang lalu saya sudah pernah menulis tentang rendahnya rasio PCR (Polymerase Chain Reaction) Test dan TCM (Tes Cepat Molekuler) di Provinsi Lampung dibandingkan dengan 34 provinsi lainnya se-Indonesia. Kemarin saya membaca berita bahwa Lampung masih termasuk dalam 10 provinsi yang terendah rasio tes PCR dan TCM nya, peringkat ke-27 dari 34 dan masih jauh di bawah standar minimal yang disarankan oleh lembaga kesehatan dunia, WHO.

1.000 tes per satu juta penduduk per minggu adalah rasio tes minimal yang menjadi patokan (benchmark) dari WHO, dan setelah delapan bulan pandemi, Lampung baru mampu melakukan 376 tes per satu juta penduduk setiap minggunya. Dengan jumlah penduduk terbanyak ke-8 di Indonesia, ironisnya rasio tes di Lampung malah menjadi yang paling sedikit urutan ke-8 dari bawah.

Saya tidak mengerti apakah memang sedemikian sulitnya bagi Gubernur Lampung untuk meningkatkan rasio TCM dan PCR Test di provinsi yang beliau pimpin. Apakah memang daya dukung keuangan daerah saat ini sedang benar-benar sulit?

Bukankah dari hasil realokasi APBD Provinsi dan 15 Kabupaten/Kota sudah disiapkan anggaran sebesar 633 milyar, dari APBD Provinsi sebesar 246 milyar dan sisanya 387 milyar dari kabupaten/kota se-Lampung. Angka fantastis itu dikumpulkan dari pengurangan alokasi untuk pembangunan infrastruktur dan hajat publik lainnya, mengorbankan beberapa sektor demi untuk memprioritaskan penanganan pandemi COVID-19.

Baca Juga:  Restorative Justice melalui Hukum Pidana Adat Lampung

Memperhatikan kondisi rasio TCM dan PCR Test di Lampung tiga bulan lalu yang ternyata masih sama saja dengan kondisi di hari ini, saya kira Gubernur Arinal harus berani mengakui bahwa kerja Testing yang beliau pimpin di Lampung masih jauh panggang dari api. 246 milyar dana publik yang dialokasikan tidak terlihat signifikan penggunaannya dalam kerja Testing di Lampung.

Tracing

Tracing adalah kerja penelusuran atau pelacakan terhadap orang-orang yang teridentifikasi melakukan kontak dengan seseorang yang dinyatakan positif mengidap Covid-19 berdasarkan hasil TCM atau PCR Test.

Kementerian Kesehatan RI sejak awal pandemi telah mengadopsi standar rasio ideal yang disarankan oleh WHO terkait kerja Tracing, 1:30. Dari setiap penderita baru yang dinyatakan positif, dilakukan pelacakan kontak sebanyak 30 orang untuk menjalani TCM dan PCR Test.

Jika membandingkan rasio Tracing di Lampung dengan DKI Jakarta tentu sangat terlihat perbedaannya dan itu pasti menambah kekhawatiran kita terhadap kinerja pemerintah daerah di Lampung dalam penanganan pandemi. Di DKI rasio Tracing sebenarnya juga masih jauh di bawah standar idealnya, hanya 1:12, baru bisa dilakukan Testing terhadap 12 orang yang diidentifikasi telah melakukan kontak erat dengan pengidap yang dinyatakan positif.

Di Lampung, rasio itu berbeda-beda pada setiap kabupaten dan kota. Kerja Tracing terbaik ada di Kabupaten Way Kanan dengan rasio 1:6, sementara yang lainnya masih di bawah rasio 1:3. Beberapa masih sangat rendah bahkan di bawah rasio 1:2 yaitu Tulang Bawang Barat, Lampung Utara, Lampung Tengah, Pesawaran, Metro dan Bandar Lampung.

Gubernur Arinal harus bekerja lebih keras dan lebih efektif untuk meningkatkan rasio Tracing di Lampung. Dengan rasio Tracing masih serendah sekarang, Gubernur Arinal jangan malu untuk juga mengakui bahwa dirinya masih belum mampu membawa Lampung mendekati standar rasio Tracing yang ideal. Kinerja kerja Tracing di Lampung belum dapat menggambarkan penggunaan anggaran penanganan pandemi yang sedemikian besar (633 M).

Treatment

Treatment adalah kerja penatalaksanaan perawatan dan penyembuhan pasien yang dinyatakan positif mengidap COVID-19. Tata laksana yang dilakukan sesuai dengan tingkat keparahan kondisi pasien yang dirawat, mulai dari isolasi untuk pasien tanpa gejala atau gejala ringan sampai dengan perawatan intensif di ruangan yang memiliki peralatan medis lengkap untuk pasien yang kondisinya berat karena memiliki komorbid alias penyakit penyerta.

Baca Juga:  UU Cipta Kerja: Surga atau Fatamorgana?

Dua hari yang lalu saya sudah mengirimkan pertanyaan kepada Kadis Kesehatan Provinsi Lampung, saya menanyakan jumlah seluruh ruang isolasi yang tersedia pada seluruh fasilitas kesehatan di Lampung. Saya juga menanyakan berapa jumlah ruang perawatan intensif pada seluruh rumah sakit rujukan di Lampung yang kondisinya fully equipped alias memiliki peralatan lengkap untuk merawat dan menyembuhkan pasien penderita COVID-19. Tadinya saya berharap bisa memperoleh jawaban atas pertanyaan itu sebelum saya menulis tulisan ini, tetapi sampai sekarang data yang dimaksud belum juga diperoleh.

Mengapa data itu penting? Sederhana saja jawabannya, saya ingin mengetahui batas kemampuan maksimal daya tampung dan efektivitas perawatan terhadap semua penderita atau kasus aktif COVID-19 di Lampung apapun kondisi kesehatannya. Dari basis data itu kita baru akan bisa memahami mengapa dari seluruh penderita yang wafat di Lampung selama hampir sembilan bulan pandemi ini, lebih dari 60% nya meninggal dunia di bulan November kemarin. Data itu diperlukan untuk membuktikan secara empirik bahwa ledakan jumlah kematian di Lampung terjadi akibat keterbatasan daya tampung dan efektivitas perawatan yang tersedia pada RS-RS rujukan dan faskes lainnya.

12 hari lagi pandemi ini sudah genap ada selama sembilan bulan di Lampung, sampai sekarang kita belum pernah mengetahui berapa sebenarnya ketersediaan ruangan perawatan intensif yang fully equipped di Lampung? Bagaimana sebarannya? Apakah semua ada di Kota Bandar Lampung saja atau sudah relatif merata di kabupaten/kota lainnya?

Publik wajib khawatir walaupun mungkin para kepala daerah dan anggota DPRD tidak begitu khawatir. Angka kasus aktif selama tiga bulan terakhir (September-Oktober-November) melonjak dengan cepat, naik di kisaran dua kali lipat dari bulan ke bulan, jika di September masih di kisaran 400 maka di Oktober sudah di kisaran 900 dan di November sudah mencapai kisaran 1.600 kasus aktif. Patut diduga lonjakan angka kematian yang begitu eksponensial, lebih dari 120 orang wafat sepanjang bulan November itu akibat dari keterbatasan ruang perawatan intensif yang tersedia di Lampung.

Baca Juga:  Makna final and binding Putusan MA dalam Sengketa Adminstrasi PilkadaKota Bandar Lampung

Mencermati itu, sulit bagi saya untuk mengatakan bahwa kerja Treatment di Provinsi Lampung sudah baik. Jika ketersediaan ruang perawatan intensif di Lampung selama hampir sembilan bulan pandemi ini tidak juga kunjung mampu mengantisipasi ledakan kasus aktif, maka rasanya wajar saja kalau kita khawatir pemerintah daerah di Lampung seperti tidak peduli dan cenderung mengabaikan hal ini. Gubernur Arinal sekali lagi jangan malu mengakui bahwa kinerja pemerintahan daerah yang ia pimpin belum optimal melakukan kerja Treatment di Lampung.

Dibutuhkan leadership yang kuat dan inspiratif dari Gubernur untuk dapat menggerakkan para Bupati dan Walikota di Lampung. Gubernur Arinal jangan pernah sungkan mengingatkan para Bupati dan Walikota agar bekerja lebih serius, misalnya ketika beliau menonton sebuah pertunjukan seni bambu dalam kunjungannya di salah satu kabupaten bersama pengusaha pemilik perkebunan terluas di Lampung, Gubernur jangan hanya asyik mengobrol dengan si pengusaha dan memuji-muji pertunjukan itu saja.

Dengan lugas mesti disampaikan kepada Bupatinya bahwa kerja 3 T di kabupaten itu mesti ditingkatkan segera, agar sense of crisis yang berkali-kali diingatkan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan benar-benar dapat terlihat dari kebijakan dan perilaku para kepala daerah di Lampung.

Kepada pengusaha yang areal perkebunannya melintasi dua kabupaten dan luasnya melampaui luas beberapa kabupaten/kota di Lampung, Gubernur Arinal mestinya bertanya apa yang dapat si pengusaha dan teman-temannya bantu agar kerja Testing, Tracing dan Treatment di Lampung dapat segera membaik. Tentu tidak cukup hanya dengan foto-foto di depan instalasi seni sambil mengacungkan jempol saja.

Karena sejatinya areal lahan yang ditanami oleh para pengusaha di Lampung itu adalah milik rakyat Lampung yang dikuasai oleh negara, bukan milik perusahaan yang diberi hak pengelolaannya apalagi milik para kepala daerah yang konon kabarnya diongkosi pencalonannya.
Wallahua’lam bishowab.

*Pengamat Pembangunan Daerah

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed