oleh

Jagoan Neon

-Opini-443 views

Kalau Anda lahir dan besar di era 90-an, mungkin masih ingat jajanan legendaris bernama Jagoan Neon.

Bentuknya serbuk warna-warni dalam plastik kecil. Cara makannya? Dicelupkan dengan stik permen, lalu dijilat.

Rasanya manis-asam bikin nagih, lidah jadi merah, hijau, kuning, atau biru, tergantung serbuk yang dicolek.

Saking murah meriahnya, Jagoan Neon jadi simbol jajanan rakyat jelata yang sekaligus penuh gaya, sederhana, berisik warnanya, tapi cepat habis.

Nah, dalam politik lokal hari ini, banyak kepala daerah yang berpotensi jadi semacam Jagoan Neon.

Bukan karena doyan permen, tapi karena gaya kepemimpinan mereka persis seperti serbuk berwarna itu, heboh, mencolok, tetapi gampang larut kalau dituruti lingkaran relawan, kerabat, dan para broker di sekelilingnya.

Sejak terpilih, kepala daerah sering dihadapkan pada barisan panjang “penagih janji” yang dimulai dari tim sukses, relawan, sampai kerabat jauh yang tiba-tiba jadi dekat.

Mereka datang dengan proposal jabatan strategis, proyek basah, rekomendasi kontraktor, sampai kursi BUMD. Di titik ini, kepala daerah diuji, apakah ia akan tetap menjadi pemimpin yang independen, atau berubah menjadi boneka neon yang lumer mengikuti lidah orang lain?

Fenomena ini persis seperti anak-anak yang berebut serbuk Jagoan Neon, sekali kepala daerah memberi jatah, yang lain akan ikut minta.

“Aku juga dong, Pak, biar lidahku ikut berwarna.” Maka, muncullah broker jabatan yang sibuk dagang posisi, mafia proyek yang lihai memelintir aturan, dan orang-orang yang rajin berbisik manis di telinga penguasa.

Kalau bicara soal pemimpin yang dikurung oleh lingkaran kepentingan, Bung Hatta pernah mengingatkan,

“Korupsi merajalela bukan hanya karena ada kesempatan, tetapi juga karena tidak adanya teladan yang kuat.” Kepala daerah yang jadi Jagoan Neon memberi teladan buruk, manis di awal, rapuh di dalam.

Baca Juga:  Orang Sekitar

Dari luar negeri, John F. Kennedy juga punya wejangan: “Let us not seek the Republican answer or the Democratic answer, but the right answer.”

Kalau ditarik ke konteks lokal, jangan sampai kepala daerah sibuk mencari jawaban untuk memuaskan relawan atau kerabat, tapi melupakan jawaban yang benar bagi rakyatnya.

Sementara itu, Ki Hajar Dewantara sudah jelas memberi rumus kepemimpinan: “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.”

Pemimpin bukan hanya pajangan yang diwarnai orang lain, tapi sumber teladan yang kokoh. Apa jadinya kalau kepala daerah justru menjadi “ing ngarso diganduli, ing madyo disetiri, tut wuri diperesi”?

Jika kepala daerah terus menuruti bisikan lingkaran dekat, lama-lama ia bukan lagi pemimpin, melainkan sekadar Jagoan Neon ya manis di awal, ramai warna, tapi habis tanpa bekas.

Rakyat yang seharusnya menikmati kepemimpinannya, justru hanya dapat gusi sakit karena terlalu banyak menjilat serbuk janji yang tak kunjung ditepati.

Menjadi kepala daerah itu mestinya seperti air putih, jernih, netral, menyehatkan semua. Bukan seperti Jagoan Neon yang bikin lidah lucu-lucuan tapi perut kembung.

Bahaya besar menanti jika seorang pemimpin membiarkan dirinya dikendalikan kerabat dan relawan karena pada akhirnya, ia tidak lagi menjadi jagoan rakyat, melainkan sekadar jagoan plastik sekali hisap.

Wallahulam Bissawab, Tabikpun Mahhap Ngalimpuro

Oleh : Abung Mamasa

Pemimpin Redaksi Harian Kandidat

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed