oleh

Dua Pembicara Bedah ‘Satu Ciiman, Dua Pelukan’ Isbedy Stiawan

-Humaniora-71 views

– Dua mata pisau analisis membedah kumpulan puisi Isbedy Stiawan ZS bertajuk “Satu Pelukan” di Taman Budaya Lampung, Senin 24 Februari 2025 siang.

Heri Wardoyo, jurnalis, penulis, dan Ketua Satupena Lampung melalui makalahnya “Sungai yang Mengalir di Otak dan Taman dalam Ingatan: Algoritma Puitis Isbedy Stiawan” memulai dengan narasi, bahwa ada jejak emosi sekaligus sejumput “jiwa” dalam sekuntum puisi ini. Dalam laboratorium tak kasatmata yang kita sebut “pikiran”, triliunan sinapsis menyala seperti ledakan kunang-kunang di kegelapan, merajut pola dari kekacauan. Sebuah keteraturan dalam chaostic.

Isbedy Stiawan—dengan 55 bukunya yang telah diterbitkan selama ini—jelas empu yang mudah saja baginya menemukan formula mengubah letupan ide menjadi metafora yang nikmat, juga hikmat.

Menurut Heri yang juga dikenal politisi Lampung dan mantan Wakil Bupati Tulang Bawang itu, kreativitas seorang penyair sesungguhnya adalah tarian antara pikiran, vision, dan kontrol kognitif.

Attinya, kata Heri selanjutnya, bagi penyair otak belerja secara kreatif. ‘Ketika penyair memandang sungai, otak seorang penyair tidak hanya merekamnya sebagai aliran air, melainkan memicu ‘badai asosiasi’: sungai menjadi garis waktu, luka yang mengalir, atau cinta yang tak pernah beku,* ujar Heri Wardoyo yang lama bergelut dalam jurnalistik.

Di sini, kata pengurus PWI Lampung ini, proses ini bekerja seperti penyuling, mengubah persepsi mentah menjadi simbol.

Ia menyebut beberapa penyair terkenal juga terilhami sungai sebagai metafora ekspresi. Misalnya, William Wordsworth yang menggambarkan sungai sebagai refleksi perasaan dan kehidupan yang tenang. Lalu Robert Frost dalam puisinya “West-Running Brook” menggunakan sungai untuk simbol jalannya kehidupan dan perubahan yang terus terjadi.

“Kemudian, Emily Dickinson, mendeskripsikan sungai sebagai jembatan antara kehidupan dan kematian.

Baca Juga:  Kuntadi, Kajati Lampung Sarat Prestasi

Menyinggung tema taman dalam buku Isbedy ini, Heri mengurai bahwa yaman sebagai simbol dan ruang ingatan.

Taman, katanya, alam konteks ini, jadi ruang di mana 1001 pengalaman baru dituai dan tumbuh lagi. Setiap pengalaman—seperti bunga yang disemai—membentuk ingatan baru.

Lalu Heri mengutip puisi Pablo Neruda: “Bunga-bunga tumbuh dari luka yang kita siram diam-diam.”

“Proses ini serupa dengan bagaimana ingatan emosional disimpan dan diolah menjadi simbol-simbol puitis,” tegasnya.

Sejumlah penyair lainnya yang mengutamakan taman sebagai simbol dalam puisinya, menurut Heri, antara lain adalah T.S. Eliot, dalam “Burnt Norton”, memakai taman sebagai ekspresi waktu yang berlalu sekaligus idiom keabadian. Berikutnya, Rainer Maria Rilke, senang mengangkat tema taman sebagai ruang refleksi dan spiritualitas.

“Seamus Heaney mengelaborasi taman sebagai wilayah kenangan masa kecil dan refleksi diri bertemu.”

Dikatakan Heri Wardoyo, pengalaman bertahun-tahun juga membentuk jiwa seorang penyair. Setiap kali penyair menulis, kepekaannya semakin tajam—mirip sungai mengukir lembah—mempercepat transmisi ide dan perasaan.

“Langston Hughes, penyair Harlem yang memitoskan Sungai Mississippi sebagai saksi perbudakan, menunjukkan bagaimana konsisten menulis, dengan penuh disiplin, mampu mengkristalkan kepekaan menjadi kata-kata yang tajam,” ujarnya.

Heri juga membicarakan puisi sebagai algoritma puitis dalam mengupas puisi-puisi penyair berjuluk Paus Sastra Lampung ini.

Dikatakan Heri, nuku “Satu Ciuman, Dua Pelukan” adalah puncak mutakhir dari proses kreatif Isbedy Stiawan. Di sini, sungai bukan sekadar metafora, melainkan algoritma: aliran emosi ketika jatuh cinta, percikan permenungan saat merasakan (atau merayakan) sesuatu, dan epifani pada detik awal inspirasi tiba.

“Taman-tamannya merupakan ruang ingatan yang dihuni oleh segala yang pernah disentuh, dicium, juga dirindukan. Seperti kata Neruda: ‘Cinta begitu pendek, lupa begitu panjang’ — sungguh frasa yang lahir dari kedalaman emosi dan refleksi,” ucap Heri.

Baca Juga:  Andre Juan Michiels; antara Keroncong, Sejarah dan Komunitas*

Tentang cinta dalam kumpulan puisi terbaru Isbedy ini, dimaknai Ari Pahala Hutabarat sebagai anugerah Tuhan yang diberikan kepada Isbedy. Yakni, imbuh direktur artistik Komunitas Berkat Yakin (KoBer) Lampung, Isbedy dengan usia tak lagi muda masih selalu membangun dan menghidupkan keterpukauan, jatuh cinta, rasa heran, dan seterusnya.

Karena itu, Ari menyarankan kepada seniman-seniman muda agar menjadikan Isbedy sebagai contoh dalam proses kreatif. “Isbedy banyak menulis dalam berbagai perjalanan. Ini dapat dilihat dari lokus dan titimangsa puisi. Sepertinya Isbedy merasa tak bisa berkarya jika di kotanya sendiri,” ungkap Ari Pahala yang juga dikenal penyair.

Membaca puisi-puisi Isbedy, masih kata Ari, seperti ada keinginan untuk berjalan dan pulang. Ia mencontohkan pada puisi “Cerita dari Perjalanan”: apakah aku bisa pulang sedang/jalan masih ingin kubentang?/…/apakah aku bisa terus merantau/sedang keinginan pulang selalu memukau?

“Ini puisi kontradiktif, dan keren!” ujar Ari. Dia juga mengajak pengunjung agar selalu “jatuh cinta” dalam makna positif.

Sebelumnya, Ketua Panitia Fitri Angraini menjelaskan, diskusi yang dimoderatori Edi Siswanto dosen Unila ini, diawali dengan pembacaan puisi oleh seniman dan pelajar serta mahasiswa. Peluncuran ini dihadiri tak kurang 100 undangan.

Seperti, Iin Zakaria, Iswadi Pratama, Dzafira Adelia Putri Isbedy (pelajar SMP Muhammadiyah Ahmad Dahlan Metro), Nurul Arifah dan rekanya dari Universitas Teknokrat Indonesia (UTI), Juwita Panca Pratiwi (Universitas Muhammadiyah Kotabumi), Febri Riakudu dan Diah Rizki Nur Khalifah UIN Raden Intan Lampung),

Tampak hadir dalam peluncuran buku puisi Isbedy yang terbit Januari 2025 ini adalah Arman AZ, Imas Sobariah, Kepala Taman Budaya Lampung Ingga Setiawati, Kepala TU TBL Diana Rosa, perwakilan Dimas Perpustakaan dan Kearsipan Lampung, Djuhardi Basri, Yulizar Lubay, Alexander GB, Jauhari Zailani, Ketua LSB Muhammadiyah Lampung Slamet Risnanyo, Arief Mulyadin, Maman Teater Jabal Tanggamus, Rio Fauzul, Ahmad Mufid.

Baca Juga:  Ka Kwarda Lampung Lepas Kontingen ke Jambore Dunia

Civitas perguruan tinggi di Lampung juga meramaikan peluncuran ini, lanjut Fitri Angraini, di antaranya STIT Pringsewu, UIN RI Lampung, UTI, Unila, STKIP PGRI Bandar Lampung, UKMBS Unila, KSS FKIP Unila. “Saya bersyukur acara ini sukses, dan berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung sehingga terlaksana,” tutup Fitri Angraini.***

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed