oleh

Jurnalisme Indonesia di Persimpangan Kiri Jalan: Mencari Jejak Tirto Adhi Soerjo di Era Populisme Militeristik

-Opini-527 views

Oleh: Deni Kurniawan

Di tengah arus deras populisme dan menguatnya kuasa militeristik dalam politik Indonesia pasca-2024, jurnalisme Indonesia berada pada titik suram. Ketika kebebasan pers diklaim tetap terjaga, kenyataan di lapangan menunjukkan gejala sebaliknya: tekanan, teror, sensor halus, kriminalisasi kritik, hingga kooptasi media oleh kekuasaan yang kian hegemonik. Di titik ini, jurnalis Indonesia seolah berdiri di persimpangan kiri jalan —jalan yang sempit, penuh batu, tapi menuntun pada integritas dan keberpihakan terhadap rakyat.

Dalam situasi semacam ini, penting menengok ke belakang, kepada sosok pendahulu: Tirto Adhi Soerjo, sang perintis pers Indonesia. Ia bukan sekadar jurnalis, melainkan pejuang yang menjadikan tulisan sebagai alat pembebasan. Melalui Medan Prijaji, Tirto melawan ketidakadilan kolonial, menggugat diskriminasi terhadap bumiputra dan merintis jurnalisme yang berpihak pada kaum tertindas—jurnalisme advokasi, jauh dari sekadar penyampai fakta netral.

Berbeda dengan banyak jurnalis masa kini yang terjebak dalam sistem media korporasi atau terkooptasi oleh kepentingan politik kekuasaan, Tirto menulis dengan nyali dan pasti menyala. Ia tak sekadar mengabarkan, tetapi menggerakkan. Ia membayar harga mahal: dibuang, dibungkam, dilupakan, namun tak pernah kehilangan integritas.

Kini, jurnalis Indonesia dihadapkan pada dilema baru: antara mengabdi pada idealisme atau menyesuaikan diri dengan arus kekuasaan yang semakin represif namun dikemas dalam narasi populisme. Narasi yang memanipulasi demokrasi menjadi alat legitimasi dominasi. Pemerintah yang mengusung jargon kedaulatan rakyat namun membungkam suara-suara kritis dengan Undang-Undang ITE, pembubaran diskusi, teror bangjai dan tekanan politik terhadap redaksi.

Situasi ini diperparah oleh membanjirnya disinformasi dan algoritma media sosial yang memperkuat polarisasi. Jurnalisme kehilangan orientasi: mana yang harus dikabarkan, mana yang harus dikritik, dan mana yang harus diperjuangkan. Di tengah kekacauan ini, jurnalis yang masih teguh berdiri sebagai penjaga kebenaran dan keadilan menjadi semakin langka.

Baca Juga:  Argumentasi Mencerminkan Kualitas Diri

Jejak Tirto harusnya menjadi kompas moral, bukan sekadar romantisme sejarah. Ia menunjukkan bahwa jurnalisme bukanlah kerja netral tanpa sikap, tapi tindakan politis—yakni keberpihakan pada yang lemah dan marjinal. Dalam konteks hari ini, menjadi jurnalis yang “kiri” bukan berarti menjadi partisan ideologi, melainkan memilih jalan yang sulit: berdiri bersama rakyat, berani bersuara di tengah tekanan, dan menulis kebenaran yang tak nyaman bagi penguasa.

Organisasi Sebagai Solusi

Tantangan ke depan semakin besar. Dengan rezim yang merapat ke kekuatan militeristik dan mempersempit ruang sipil, jurnalis dituntut bukan hanya berani, tapi juga cerdas: membangun solidaritas, memperkuat ekosistem media independen, dan menyusun strategi bertahan di tengah tekanan digital dan politik.

Organisasi Profesi Pers maupun Media, baik yang sudah menjadi Konstituen Dewan Pers maupun belum, harus benar benar menjadi Pilar Demokrasi yang mampu menyuarakan kepentingan rakyat melalui program program yang tidak hanya sekedar untuk menjawab kepentingan organisasi, tapi menjawab problem pokok masyarakat Indonesia secara kompleks.

Dinamika Organisasi Pers dan media ini pun tidak sekedar menciptakan atau membuat panggung populer Individu dan Institusinya yang untuk dimanfaaatkan dan berpotensi membangun kemesraan dengan rezim hanya untuk memperoleh Anggaran Publikasi atau Hibah Organisasi.

Bukan tidak mungkin, masa depan jurnalisme Indonesia akan ditentukan oleh keberanian sebagian kecil jurnalis yang memilih tetap berjalan di kiri jalan—jalan sunyi tapi bermartabat, Tirto pernah membuktikan, jalan itu tak sia-sia.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed