Di pelataran parkir Gedung Perkantoran Provinsi Lintang ada kedai Kopi Dek Yanti, meski tidak ada di Google Maps tapi kedai janda gemoy ini selalu ramai.
Meski mejanya dari triplek bekas seminar, bangkunya bekas acara kawinan dan atapnya dari asbes sisa pengadaan proyek biro umum yang bermasalah serta dinding dilapisi banner caleg gagal 2024 yang kekurangan modal menyogok warga.
Kedai ini selalu hangat dengan isu politik lokal, bahkan digoreng lebih garing dari Tahu Bunting isi kecambah kedai Dek Yanti. dan lebih panas dari isu rolling jabatan yang membuat pejabat lama was-was.
Siang itu, seperti biasa, personil utama tongkrongan sudah lengkap.Din Bacut, Mamat Kidas, Amir Bigeng dan Slamet Bojoloro.
“Ayang Yanti, Kopi dua! Satu Jangan manis, satu jangan pahit dan satu lagi jangan netral,”Pesan Din Bacut keras layaknya orator demo LSM yang gagal dapat proyek karena tidak menggunakan uang setoran layaknya Rekanan di Provinsi Lintang.
“Tanggung Din, pesen satu lagi jangan banyak gaya. Paling juga ngutang gayanya selangit .Yang kemarin aja belum bayar, ini sok-sokan manggil Ayang segala, Ingat Din manggil Ayang gak ngaruh dengan Hutang!” sahut Dek Yanti sambil menyalakan kompor gas subsidi yang kadang susah mencarinya. Seperti mencari Buronan Komisi Pencari Koruptor Kakap (KoPekoK), Marun Mastiku yang akhirnya menyeret Sekjen Partai Dari Perjuangan Hidup (Pedeipeh), Masto Kristotok.
Seperti biasa,mereka sedang membahas topik panas yang mendidih lebih dari air termos, bahkan lebih panas dari isu perselingkuhan mantan Gubernur Iwan Komil yang biasa di sapa Kang Ngemil dengan Nisa Maryohana.
Membahas Pilgub 2029, meski terlalu dini tapi tidak secepat pernikahan Dini yang berakhir tragis bahkan lebih sengsara dari nasib Petani singkong yang sedang dipermainkan harga oleh Pabrik dan tidak diperhatikan oleh anggota dewan dan pemerintah.
“Jadi begini, rekan-rekan semuanya,’teriak Din Bacut sambil berdiri layaknya pemateri diskusi dengan menggunakan tutup termos sebagai mikrofon, kondisi perpolitikan provinsi Lintang sudah sangat mengkhawatirkan. Kita sudah masuk di era Dinastikrasi! Demokrasi sudah direbut oleh orang-orang yang memiliki DNA politik!”
Maksudnya Bagaiamana Din? Apakah sekarang calon pemimpin dipilih bukan dari rekam jejak dan prestasi tapi hanya melihat Kartu Keluarga,”sergah Mamat Kidas.
“Benar itul!” teriak Amir Bigeng, “Kalau dulu rakyat memilih berdasarkan visi-misi, tapi sekarang rakat memilih berdasarkan siapa bapaknya, Ibunya, kakaknya dan kerabatnya, mirip-mirip audisi Lintang Idol Family Edition!”
Slamet Bojoloro, nyeletuk, “Aku iki curiga, bisa jadi nanti yang nyalon bukan Cuma anak, tapi cucu. Besok lusa jangan-jangan kita punya balita yang jadi wakil bupati,” semua pengunjung kedai tertawa, mereka bahagia seperti senangnya mantan Presiden yang sukses menghantarkan anaknya menjadi Wapres meski tak bisa apa-apa.
Dek Yanti menyodorkan kopi dan tahu isi, lalu ikut nimbrung, “Tapi serius lho, warung kopi ini aja udah tiga kali didatengin caleg dari keluarga yang sama. Gantian! Tahun lalu ibunya, kemarin suaminya, minggu depan katanya keponakan.”
Din Bacut menggeleng dengan gaya dramatis, “Inilah yang disebut sirkulasi kekuasaan pakai seragam keluarga. Dari rumah langsung ke DPR!”
“Kayak syuting sinetron, ya?” sindir Mamat Kidas, “Casting-nya dari kamar tidur.”
Mat Bigeng menyahut, “Judulnya pasti: Cinta dalam Dinasti, Cuan dalam Legislatif.”
Slamet Bojoloro menyandarkan tubuhnya ke dinding warung, memejamkan mata sebentar, lalu membuka lagi dengan ekspresi filosofis, “Ini bukan sekadar dinasti, ini udah jadi warisan budaya lokal. Seharusnya masuk UNESCO.”
Dek Yanti tergelak, sampai tahu bunting isi kecambah hampir tumpah. “Kalo gitu nanti warung kopi ini aku daftarin juga sebagai Cagar Demokrasi Tradisional!”
Lalu tiba-tiba, semua hening. Din Bacut membuka ponselnya dan membaca berita Media online, selalukepo.com, “Si Ninik Gemoy Berpotensi bakal maju Pilgub dari Partai Kok Begitu (Pokabe), dia mulai membangun kekuatan dari sekarang. Apalagi saat ini adiknya sedang menjabat Wagub, jaringan luas koneksi banyak, aman barang itu,”urai Din Bacut.
“Ninik Gemoy bukan satu-satunya kekuatan di Provinsi Lintang, jangan lupa ada keluarga Hemran Hanen ketua partai Ngacak Selalu Adem (Ngasdem). Meski pernah gagal jadi Gubernur tapi istrinya, Epah Diwiyana walikota dua periode, belum anaknya si Wati yang juga jadi anggota DPR,”balas Mamat Kidas.
“aguy iya juga ya, “Ya Allah, ini bukan Pilkada… ini Family Gathering Nasional!”
Bukan hanya Dinasti Ninik Gemoy sambung Amir Kidas, “ada keluarga dinasti dari barat si Malis Basir yang saat ini diduga menguasai sebagian lahan taman nasional menjadi proyek pribadi keluarga.”
Din bacut menyahut,” keluarga Malis Basir juga sukses membangun Dinasti, Ia menjabat Bupati di Lintang Barat dua periode begitu pun menjadi anggota DPR. Saat ini adiknya si Fosil Gabecus juga menjadi Bupati dua periode!”
“Lah anaknya juga kan si Resti di Gedung dewan ini jadi anggota DPRD Lintang dua periode, Malis Cuma gagal menjadikan anaknya sebagai wakil Bupati di Kabupaten Peningsewu,”sambut Mamat Kidas.
Slamet Bojoloro berdiri sambil memukul gelas plastik, “Kita sebagai rakyat harus melawan! Dengan apa?”
“Dengan golput?” tanya Slamet polos.
“Bukan! Dengan… beli kopi Dek Yanti! Biar kita kuat mikir!” sahut Din Bacut.
Semua tepuk tangan. Sambil nyeruput kopi sachet dan mengunyah tahu bunting isi kecambah mereka sepakat, meski tak punya jabatan, mereka masih punya satu hal yang bisa disuarakan: ketawa dan kritis dari warung kopi. Tak apa Demokrasi Mati Dibunuh Dinasti, asal jangan Warung Kopi, itu pemikiran mereka.
Komentar