Lampung, 10 Mei 2025 — Suasana dialog antara aparat kepolisian dan masyarakat biasanya berlangsung normatif.
Namun, di Lampung, sesuatu yang berbeda terjadi. Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Lampung, Irjen Pol. Helmy Santika, membuat pernyataan yang cukup memukau di tubuh birokrasi keamanan masyarakat: Polri harus menjadi institusi yang siap menerima kritik.
Pernyataan ini disampaikan dalam salah satu forum dialog antara Kapolda dan masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, yang berlangsung santai namun menyentuh hal-hal prinsipil.
Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap berbagai institusi negara, pernyataan Irjen Helmy menjadi angin segar yang layak dicatat dalam dinamika demokrasi lokal.
Sikap terbuka Helmy Santika langsung mendapat tanggapan dari Ketua Jaringan Aktivis Nusantara (JAN), Romadhon Jasn.
Baginya, pernyataan Kapolda Lampung merupakan sinyal positif, bukan karena manisnya kata-kata, melainkan karena keberanian menyampaikan sesuatu yang menuntut konsistensi tinggi.
“Dalam negara demokrasi, kekuasaan tanpa kritik adalah jalan buntu. Sebaliknya, membuka pintu kritik adalah bukti bahwa institusi itu percaya diri dengan akal sehatnya sendiri,” ujar Romadhon dalam keterangannya kepada media, Sabtu (10/5/2025).
Romadhon menegaskan bahwa Indonesia tidak cukup hanya memiliki polisi yang kuat secara fisik dan struktural. Yang lebih penting adalah polisi yang sadar akan batas-batas kekuasaannya. Dan batas itu, kata dia, adalah kritik yang di kutip dalam Yakusa.id
“Yang kita butuhkan bukan hanya polisi yang kuat, tapi polisi yang tahu batas kekuatannya. Kritik adalah batas itu,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa Polri tak cukup membanggakan statistik pengungkapan kasus atau ketertiban dalam barisan.
Ukuran modernitas sebuah institusi justru dilihat dari seberapa lapang dada aparatnya menerima koreksi—terutama dari rakyat yang menjadi sumber utama legitimasi mereka.
Menurutnya, salah satu akar krisis kepercayaan publik terhadap lembaga seperti Polri bukanlah semata karena kegagalan dalam menjalankan tugas, melainkan karena sikap defensif terhadap kritik.
“Ketika suara rakyat diposisikan sebagai serangan, maka jarak antara institusi dan publik makin melebar,” kata Romadhon.
Di sinilah, katanya, pernyataan Kapolda Lampung diuji nilainya. Apakah itu akan menjadi sekadar jargon saat mikrofon menyala, atau benar-benar menjadi kompas saat kritik datang dari arah yang tak terduga.
“Rakyat tidak menuntut polisi sempurna. Yang dituntut rakyat adalah polisi yang bisa mendengar, menimbang, lalu berubah,” ucap Romadhon.
Ia juga berharap, pernyataan dan sikap Helmy Santika tak hanya menjadi milik Lampung, tetapi menjadi inspirasi nasional.
“Ini seharusnya jadi standar baru Polri. Terbuka bukan karena kewajiban administratif, tapi karena kesadaran intelektual,” tambahnya.
Bagi JAN, pembaruan institusi memang seringkali hanya dinilai dari angka—survei kepuasan, grafik kejahatan menurun, atau statistik kepercayaan publik.
Tapi yang sering dilupakan adalah pertarungan internal yang lebih fundamental: melawan ego institusional.
Dan menurut Romadhon, kemampuan untuk menerima kritik adalah langkah awal dari pembaruan sejati. Langkah yang paling berat, tapi juga paling jujur.
“Polri harus terus belajar bahwa kritik bukan serangan, melainkan vitamin demokrasi. Kalau polisi cukup dewasa menerima vitamin itu, maka demokrasi kita ikut sehat,” pungkasnya.
JAN menegaskan, langkah awal Kapolda Lampung sudah tepat. Namun yang lebih penting adalah menjadikan sikap terbuka itu sebagai kultur institusi, bukan sekadar pencitraan.
Karena hanya dengan mendengarkan rakyatnya, Polri bisa memperbaiki diri—bukan untuk menyenangkan semua orang, tapi untuk memastikan bahwa kuasa yang mereka miliki digunakan dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Komentar