WAKIL Gubernur Lampung 2014-2019 Bachtiar Basri tutup usia pada Kamis 15 Mei 2015 sekira pukul 15.30 di RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung. Pelepasan jenazah ke liang lahat dipimpin Gubernur Lampung Rahmad Mirzani Djausal.
Bachtiar Basri adalah birokrat tulen, politisi – karena sempat menakhodai Partai Amanah Nasional Lampung. Juga seniman seni rupa. Profesi yang disebut terakhir ini, banyak pula yang sudah tahu. Bahkan sebuah karya lukisnya dikoleksi mantan Wakil Bupati Tubaba Fauzi Hasan.
Saya berdekat-dekat dengan – saya menyapanya “abang” – Bachtiar Basri lantaran dalam “jalur” sama, yakni seni. Kalau bang Bachtiar di seni rupa, sedangkan saya dunia sastra. Perkenalan dimulai saat ia menjabat Sekda Kabupaten Lampung Utara, dan semakin intens saat memimpin Tulang Bawang Barat. Bahkan, buku cerpen saya, “Perempuan di Rumah Panggung”, untuk penerbitan dibantu beliau. Alhamdulillah kitab cerpen ini masuk 10 besar Khatulistiwa Literary Award (KLA, kini Kusala).
Makin berkarib-karib, semoga ini bukan kepongahan, saat ia menjadi Wakil Gubernur Lampung 2014-2019; Lamban Sastra Isbedy Stiawan ZS difasilitasi sekretariat dengan mengontrak rumah di Kemiling, dan setahun berikutnya dipinjamkan rumahnya di Tanjung Senang, Bandar Lampung. Inilah kepedulian Bachtiar Basri pada kesenian.
Di antara kesibukan sebagai wagub Lampung, ia tetap melukis. Ini saya tahu “bocoran” dari salah satu ajudannya, karena membeli kanvas maupun cat warna. Tak terbendung kreativitas Bachtiar selepas tak lagi menjabat wagub atas kekalahan dari Arinal Djunaidi-Chusnunia Halim untuk periode kedua.
Ia pun total melukis, selain kesibukannya di berbagai organisasi sosial dan ibadah. Saya tak tahu pasti banyaknya karya lukisnya, namun dapat diperkirakan seratusan lebih. Baik terpajang di rumahnya di Tanjung Senang, di Kota Bumi, dan di ruang studio pribadi lantai 2 kediamannya di Tanjung Senang, Bandar Lampung. Lalu, kalau tak salah ada 5 lukisannya “dihibahkan” ke Universitas Muhammadiyah Kotabumi (UMKO) Lampung Utara melalui Wakil Rektor 2 Slamet Hariyadi. Inilah peninggalan sekaligus “warisan” tak ternilai harganya dari alamarhum Bachtiar Basri.
Sejumlah karya lukis Bachtiar Basri telah menghiasi sampul buku puisi saya, juga buku prosa “Burung tak Bersayap” karya Dalem Tehang – nama pena Fajrun Najah Ahmad. Setiap buku saya terbit dan memakai ilustrasi sampul dari lukisannya, saya akan menemui Bang Bachtiar untuk memberi seekslempar (kadang lebih) buku tanda terima kasih. Ini sekaligus, dalam hati, bang Bachtiar Basri adalah kolekter buku-buku puisi saya selama ini.
Tak jarang dalam pertemuan itu, ia membacakan puisi saya, juga mengapresiasi karya-karya puisi di dalam buku tersebut. Saya pun membalas apresiasi untuk karya-karya senirupa Bachtiar yang ekspresif-impresionis yang absurd. Maafkan saya kalau apa yang disebut ini salah bin tak sesuai. Tapi, yang pasti, sebagai penikmat saya menyukai karya-karya lukis Bachtiar Basri, kelahiran Tanjungkarang 30 Desember 1953.
Sebagai perupa, Bachtiar Basri kerap memamerkan karya-karyanya, terutama pameran bersama para perupa Lampung lainnya. Baik di Bandar Lampung, Kota Metro, dan Tulang Bawang Barat.
14 April 2025
Ini pertemuan terakhir saya dengan Bachtiar Basri. Selepas Ashar hingga jelang magrib. Masih suasana Idul Fitri dan saya memang sudah sangat rindu. Sebenarnya di bulan Februari 2025 saya sempat singgah untuk memberikan buku puisi “Satu Ciuman Dua Pelukan” (Januari 2025) dimana sampulnya saya gunakan lukisannya. Tetapi saya tak bisa jumpa karena bang Bachtiar sedang tidur siang. Akhirnya saya titip seseorang di rumahnya.
Saya kabari kalau saya menitip buku puisi ke inboks FB beliau, dan ke WA. Kedua medsos itu tak merespon pesan singkat saya. Gundah. Apakah saya ada kesalahan? Sampai-sampai pesan saya tidak dibalas? Atau kendala lain?
Ketika halal bi halal PW Muhammadiyah Lampung saya utarakan masalah saya ke Erizal; “Saya WA dan inboks bang Bach tak dijawab.”
Erizal dan Saad Sobari meyakini saya bahwa Bachtiar Basri bukan tipe orang yang mengabaikan pesan orang. Intinya tak mungkin tak dibalas, barangkali nomor di saya sudah tidak digunakan. Ketika diberi nomor dan saya cocokkan dengan di HP saya memang berbeda. Begitu saya kirim pesan, segera dibalas. Intinya: saya ingin silaturahmi.
“Silakan, saya ada di rumah.”
Saya minta waktu bakda Ashar, ia menyanggupi. Berjumpa kami di rumahnya di Tanjung Senang, Bandar Lampung. Dari percakapan santai hingga serius, dari basa-basi berpindah ke soal seni. Begitulah bisa kami jika bertemu.
Pada pertemuan (terakhir) dengan abang Bachtiar, ia punya niat untuk berpameran tunggal. Di luar Lampung. Mungkin Jakarta atau Bandung. Baginya pameran tunggal sudah layak, mengingat jumlah lukisan dan kualitas karya sudah memenuhi syarat berpameran tunggal.
Saya juga berharap kalau pameran tunggal di luar Lampung, sehingga karya-karya dapat dikoleksi. Karya perupa Bachtiar sepantasnya dimiliki para kolektor, dan kemungkinan ada di Jakarta atau Bandung. Saya tak berani mendahului bang Bachtiar mengenalkan kurator, apalagi saya selama ini bukan terlibat di ranah seni rupa. Meski saya kenal perupa di Jakarta, di antaranya Syahnagra Ismail. Atau Arif Bagus Prasetyo (Bali) yang saya tahu acap menjadi kurator/pengantar pameran seni rupa.
Dalam pertemuan terakhir saya, dan (niat) ia mau pameran tunggal tidak dapat saya duga-duga: apakah bang Bachtiar sudah mendapatkan kurator dan kepastian di mana berpameran. Saya tak bisa memastikan. Seperti juga usia ini.
Sebagai seniman perupa, ia meninggalkan banyak karya lukis. Rasanya, perlu diujudkan niat baik mendiang; berpameran tunggal.***
Lamban Sastra, 18-19 Mei 2025
——
*) Isbedy Stiawan ZS adalah sastrawan nasional bermukim di Lampung.
Komentar