oleh

Kopi Nepotisme Lintang Tengah

-Din Bacut-221 views

Pagi itu, Kedai Kopi Slemon milik Dek Yanti, si janda gemoy berhijab mantan TKW Arab yang kabur karena memotong alat kelamin majikan hanya untuk dijadikan gantungan kunci, yang dikenal sebagai ratu penggorengan, mendadak ramai. Papan menunya hari ini bikin alis pengunjung terangkat:

“Kopi Nepotisme ya meski  Pahit, Tapi Langganan”

Di pojokan, tiga orang langganan Kedai Kopi Slemon sudah duduk di kursi bekas barang bukti Korupsi di Biro Perlengkapan. Dek Yanti berhasil memintanya dari Jaksa Korup yang dimutasi karena perkara melindungi sejumlah akademisi yang diketahui korup di Lembaga penelitian Universitas Lintang.

Din Bacut, mantan jurnalis yang berhenti menulis gara-gara terlalu sering dibayar pakai nasi kotak dingin, itu pun isinya hanya telor rebus.

Yanto Pedot, eks ASN yang memilih pensiun dini karena kalah saing dengan anak, menantu, dan adik ipar pejabat.

Surip Bigeng, mantan dosen yang sekarang lebih laku jadi pengamat dadakan, ilmunya diambil dari status WhatsApp tetangga dan mbah google.

“Din, udah denger kabar panas belum?” tanya Yanto sambil nyeruput kopi hitam yang lebih getir dari hidupnya. “Adik ipar Bupati Lintang Tengah dilantik jadi Sekda, loh!”

Din Bacut mengangguk santai sambil ngaduk kopi pakai gaya ala reporter investigasi. “Oh, yang pelantikannya di Rumah Balak itu? Tempat yang dulu buat nyatuin masyarakat adat, sekarang buat nyatuin silsilah kekuasaan, ya?”

Surip Bigeng ikut nyeletuk sambil sok gaya serius, “Ini mah bukan pelantikan, Bang. Ini pewarisan jabatan. Kakak melantik adiknya sendiri. Udah resmi, Kerajaan Lintang Tengah berdiri lima tahun ke depan.”

Dek Yanti datang bawa sepiring gorengan. “Waduh, udah kayak sinetron. Judulnya ‘Ketika Jabatan Turun Bersama Darah’.

Baca Juga:  Kartu Pak Tani Bergaya Versus Singkong Goreng

Tawa meledak. Tapi tawa mereka pahit, kayak kopi Slemon yang katanya bisa bikin mules dalam tiga tegukan, tapi bikin kangen dalam empat tegukan berikutnya dan langsung bikin move on dari mantan meskipun sudah meninggal dunia.

“Kosim Malihrupa bilang ini nepotisme tingkat dewa,” lanjut Din Bacut sambil muter sendoknya. “Katanya seleksinya penuh manipulasi. Semua orang tahu, ini bukan hasil seleksi terbuka, ini hasil rapat keluarga sambil bakar jagung.”

Surip Bigeng menyesap kopinya, “Ini contoh nepotisme murni. Jabatan bukan lagi soal prestasi, tapi soal tali pusar. Mau tanya apa? Kompetensinya? Bukan, tanya aja kakaknya siapa?”

Yanto Pedot nyengir getir. “Bupati kita udah naik level, Bang. Udah bukan kepala daerah lagi, tapi raja lokal. Sekda? Panglima istana. Bukan hasil uji kelayakan, tapi hasil restu garis keturunan.”

Dek Yanti nyeletuk sambil nyenggol bahu Din Bacut, “Kalau gitu, pejabat berikutnya diumumin pas arisan keluarga aja ya, Bang?”

Meledak lagi tawa mereka.

“Kosim bilang sumpah jabatan itu udah kayak opera sabun,” ujar Surip Bigeng sambil bersih-bersih remah gorengan di giginya. “Isinya bukan janji ke negara, tapi pengesahan relasi darah.”

Yanto Pedot ngelus dada. “Dari dulu kan udah kelihatan, Bang. Isu jual beli jabatan itu cuma kayak kue lebaran dibuka sebentar, terus tutup lagi. Mulai dari kepala sekolah, kepala dinas, sampe kepala ruang tunggu, semua lewat jalur keluarga. Dan sekarang, klimaksnya adik ipar sendiri yang dilantik.”

Din Bacut ngangguk, “Kata Kosim, ini bukan hasil seleksi, ini hasil silsilah. Bahkan tempatnya, Rumah Balak, udah alih fungsi. Dulu buat nyatuin rakyat, sekarang buat nyatuin keturunan.”

Dek Yanti manggut-manggut polos, “Kalau gini terus, rakyat dapet jabatan apa, Bang?”

Baca Juga:  Dewan Nyolong Singkong

“Ya, jabatan ‘penonton tetap’ sambil ngopi di sini tiap pagi,” jawab Din Bacut santai.

Yanto Pedot menatap langit-langit, “Nepotisme itu kayak kompor gas bocor. Awalnya gak kelihatan, tapi baunya nyebar. Lama-lama meledak. Kasihan pegawai yang pinter, cuma jadi pengisi absen doang.”

Surip Bigeng buka catatan sakunya. “Dampak nepotisme, Bang. Satu: ketidakadilan. Dua: meritokrasi bubar. Tiga: moral pegawai ancur. Empat: reputasi hancur. Lima: kerugian ekonomi. Enam: masyarakat pecah. Dan yang terakhir: sakit kepala.”

Dek Yanti nyengir, “Kok bisa sakit kepala, Bang?”

Surip Bigeng nyengir, “Karena tiap pagi kita ngopi sambil denger berita beginian terus.”

Tawa mereka meledak lagi. Tawa pahit. Tawa getir. Tawa yang sudah jadi langganan.

“Bang, solusinya gimana?” tanya Yanto Pedot.

Din Bacut menatap papan menu, menunjuk tulisan besar:
“Kopi Nepotisme,  Pahit Tapi Langganan.”

“Kita ngopi aja dulu,  Kalau mau naik jabatan, sekarang bukan tanya ‘kompetensinya apa’, tapi ‘kakaknya siapa?’”

Diketahui Kabar itu mendadak viral. Bupati Lintang Tengah, Sardito Kawakawa Bojoloro, ternyata diam-diam main cantik.

Sardito dengan sengaja mengintervensi Panitia Seleksi Sekda supaya adik iparnya, Wolly Cukicuki, bisa lolos tiga besar. Supaya apa? Supaya gampang, supaya Wolly bisa dilantik jadi Sekda.

Padahal semua orang tau, Wolly itu memang adik ipar sejak zaman bapaknya Sardito jadi Wali Kota Mertosuro.

Dulu Wolly sempat hijrah ke Mertosuro dan langsung naik jadi pejabat. Udah kayak franchise keluarga, buka cabang di mana-mana.

Menurut Surip Bigeng, masyarakat sipil mesti bangun.
“Kalau rakyat diem, hari ini adik ipar naik. Besok, jangan-jangan kursi bupati diwarisin ke cucu.

Demokrasi lokal itu bukan buat arisan keluarga. Kalau rakyat lengah, jangan heran kalau seluruh kantor pemerintahan isinya keluarga inti.”

Baca Juga:  Kasus Mangkrak Versus Jaksa ATM

Surip Bigeng nyeletuk lagi, “Kalau gini terus, lambang kabupaten Lintang Tengah diganti aja. Jangan gambar padi kapas, tapi gambar pohon keluarga.”

“Tapi anehnya kok Anggota Dewannya diam saja ya Din, apa memang mereka sudah tidak peduli dengan kondisi Kabupaten Lintang,”sergah Dek Yanti.

Anggota dewan itu Dek Yanti,” balas Din Bacut. “Setiap bulan, gaji mereka lancar. Tunjangan rapat, studi banding, hingga dana perjalanan dinas mengalir deras tanpa hambatan.

Sementara rakyat yang katanya mereka wakili, harus antre berjam-jam demi sembako murah, atau mencari sinyal di atas bukit demi sekolah daring.”

Di ruang sidang, kamera menyala. Mereka mendadak penuh semangat, berteriak lantang seolah memperjuangkan nasib bangsa.

Tapi ketika kamera mati, sebagian dari mereka kembali ke rutinitas lama mengangguk-angguk dalam tidur, menekan ponsel bahkan ada yang sambil menonton film porno dan juga bermain judi online atau membicarakan proyek yang bukan untuk rakyat.

“Kadang mereka ke luar negeri, katanya belajar sistem pemerintahan. Tapi entah mengapa, yang berubah hanya koleksi tas dan foto di bandara. Sistem tak pernah dibawa pulang, hanya oleh-oleh dan cerita mewah.”

“Lucunya, mereka tak suka dikritik. Padahal mereka duduk di kursi yang dibiayai oleh suara rakyat dan pajak keringat orang kecil. Saat rakyat bertanya, mereka menuduh “Ini sudah urusan politik, biar kami yang atur.”

Ah, wakil rakyat… terlalu sibuk menjadi pejabat, sampai lupa cara jadi manusia biasa,”urai Din Bacut panjang lebar.

Mereka ngakak keras. Tapi tawa mereka tetap pahit. Karena di Kedai Slemon, kopi yang paling laris memang Kopi Nepotisme meski pahit, tapi langganan.

 

 

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed