oleh

Konspirasi Kacung Bupati

-Din Bacut-253 views

Pagi belum benar-benar melek di Kabupaten Lintang Tengah, tapi Kedai Kopi Slemon sudah jadi saksi suara sumbang rakyat yang belum sempat dibungkam.

Kabut tipis masih menggantung seperti rahasia proyek yang sengaja dikaburkan. Aroma robusta bercampur aroma amis setoran terus memenuhi ruangan, mengalir ke hidung para penghuni kedai yang lebih banyak mengeluh daripada berharap.

Din Bacut menurunkan ponselnya pelan-pelan. Berita tentang pelantikan adik ipar Bupati belum hilang dari layar, namun berita itu perlahan redup.Kosim Malihrupa yang dikenal paling keras bersuara soal Wolly Cukicuki adik Ipar Bupati yang menjadi Sekda sudah tidak lagi menggonggong, konon sudah diberikan tulang proyek yang nilainya ratusan juta.

Kini sudah ada kabar baru. Kali ini datang dari Rusiliyantok, Ketua Tim Sukses Bupati Sardito Kawakawa Bojoloro yang baru saja membuat status di grup WhatsApp “Lintang Tengah One Family”:

“Kawan-kawan, kita semua harus kompak. Kalau ada yang protes rekrutmen kepala sekolah, kasih pengertian. Kita butuh setoran buat stabilisasi pemerintahan.Kita butuh setoran untuk upeti ke Bupati.”

Din Bacut menghela napas dalam. Di sampingnya, Lek Parno menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong seperti saluran air yang buntu. Gareng Subali menahan tawa getir sampai matanya berair.

“Kompak itu bagus,” gumam Gareng. “Asal kompaknya bukan kompak maling uang rakyat dan memeras Kepala Sekolah.”

Dek Yanti mendengus sambil mengganti galon air mineral di pojok kedai. Gerakan tangannya sigap seperti hatinya yang sabar menghadapi kelakuan pejabat yang lebih licin dari belut karpet. Sambil menata gelas, ia nyeletuk.

“Rusiliyantok itu ketua timses atau bendahara dosa? Tiap ada kursi lowong, dia yang paling dulu ngitung nominal setoran.”

Baca Juga:  Aksi Kacung Walikota di Tengah Bencana

Sementara itu, Dinti Lupiyah, anggota dewan dari Partai Kok Begitu (Pokabe), sibuk keliling sekolah. Bukan meninjau kualitas pendidikan, tapi menagih janji setoran bagi calon kepala sekolah. Ia bak sales asuransi, menenteng daftar nama guru yang siap setor untuk naik jabatan.

“Kalau nggak setor, nggak bakal naik. Kurikulum boleh merdeka, tapi karier tetap budak setoran,” katanya dengan senyum lebih pahit dari ampas kopi Slemon.

Bagus Asuwandi, keluarga dekat Bupati, tak kalah sibuk. Ia dikenal luas di Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan dinas-dinas lain sebagai bos mebeler dan alkes. Proyek meja, kursi, ranjang pasien, dan peralatan medis semua harus lewat si Bagus. Harga boleh dinaikkan asal setor lancar.

“Konsepnya simpel,” jelas Bagus di sebuah rekaman suara yang bocor ke kedai. “Kalau mau dapet barangnya, harganya harus naik. Margin buat keluarga, sisanya buat stabilitas.”

Dek Yanti menimpali dengan nada masam, “Stabilitas apanya? Stabilitas kantong pribadi Bupati?”

Di balik tembok kekuasaan, para kacung Bupati menari seperti cacing di air panas. Yandi Karda dari Badan Keuangan Daerah masih setia mengumpulkan setoran dan pungli halus. Slogannya terdengar jelas di kedai:

“Kerja keras boleh, setor keras lebih mulia.”

Durheri, legislator Partai Pokabe tetap rajin membungkus kebijakan busuk agar terlihat manis di baliho. Bersama Danton Wihbodo, mereka berdua jadi duet maut pemoles citra. Kalau rakyat mulai curiga, cukup tambal dengan baliho bertuliskan “Bupati Sardito Peduli Rakyat.”

Gareng menertawai baliho itu sampai terbatuk, “Peduli rakyat? Peduli rakyat setor, iya!”

Reki Pudakmani, si Panglima Proyek, masih rajin menghitung margin mark-up. Setiap proyek, dari trotoar hingga gapura desa, harus dihitung untung bersihnya. Rapat proyek hanya formalitas yang utama tarif duluan.

Baca Juga:  Kadis Pemukiman Dalam Pelukan Masayu (Bagian Kedua)

“Tarif jalan dulu, rapat belakangan. Rapat hanya panggung sandiwara,” ujar Lek Parno, mengelus dada.

Suryanto, paman Bupati, tak kalah sibuk bersama kroninya, Sendi Mokomoko. Keduanya kompak menempel pada proyek kontraktor. Lobi-lobi gelap mereka di hotel-hotel bintang tiga menghasilkan kesepakatan basah. Kontraktor yang tak sanggup setor, silakan antre lama atau siap digusur kompetitor.

Kedai mendadak hening. Hanya kipas angin yang berderit, suaranya lirih seperti jeritan rakyat yang sudah lama tak terdengar di meja kekuasaan.

Din Bacut meneguk kopi yang mulai dingin. Tatapannya penuh getir.

“Lintang Tengah ini kayak labirin. Rakyat disuruh cari keadilan, tapi di dalamnya cuma ada kasir setoran.”

Dek Yanti berdiri di balik meja kasirnya yang masih setia, lebih setia dari janji kampanye Sardito. Ia menghela napas, lalu menatap ke arah kabut yang mulai menipis:

“Negeri ini bukan kekurangan orang baik, tapi kebanyakan orang diam pas keburukan merajalela. Kayak kopi ini, pahitnya awet. Bedanya, pahit kopi bikin melek. Pahit sistem malah bikin semua pura-pura tidur.”

Kabut pagi perlahan terangkat. Tapi di Kabupaten Lintang Tengah, kabut kebusukan kekuasaan tak pernah benar-benar hilang. Rakyat Lintang Tengah baru tersadar Bupati Sardito hanya terlihat kalem dalam penampilan namun ternyata lebih ganas dari Bupati pendahulunya, Nusa Amad dan Mastafah yang dicokok Komite Pemberantas Korupsi (KoPeKa).

Sementara Wakil Bupati, Komeng Koklari pura-pura diam namun tetap sumringah tak peduli. Maklum pria hitam tinggi besar ini terkenal oportunis, yang penting jatahnya jelas dan cukup ongkang-ongkang kaki di danau pribadi yang penuh dengan bibit tanaman bantuan dari pusat bukan dibagikan ke masyarakat.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed