Oleh Abung Mamasa
Pemimpin Redaksi Kandidat
Album JTD (Jangan Tutup Dirimu) oleh Stinky pernah meraih predikat Triple Platinum , yang secara resmi berarti telah terjual setidaknya 90.000 kopi (karena satu sertifikasi Platinum di Indonesia homologi 30.000 unit) .
Sementara dari platform YouTube video Jangan Tutup dirimu sudah ditonton sebanyak 10 juta tampilan.
Ups, penulis sebenarnya bukan ingin membahas tentang lagu yang dinyanyikan Andre Taulany. ini soal Pemimpin yang perlu mendengar nasihat atau tidak anti kritik dan tidak menutup diri.
Dalam perjalanan sebuah kepemimpinan, kritik adalah keniscayaan. Ia datang seperti angin, kadang lembut, kadang kencang, bahkan menyakitkan. Tapi satu hal yang pasti, kritik adalah pertanda bahwa masih ada yang peduli.
Sayangnya, tak semua pemimpin mampu bersikap legowo terutama ketika kritik itu datang dari orang-orang terdekat, bahkan teman seperjuangan.
Bahkan orang-orang di lingkaran pemimpin sering kali lebih kebakaran jenggot jika ada yang memberikan kritik.
Alhasil upaya pembungkaman demi menjilat pemimpin kadang-kadang dilakukan dengan cara-cara yang tidak terpuji.
Pemimpin yang baik bukan hanya dilihat dari visi besarnya, tapi juga dari kemampuannya membuka telinga dan hati. Menutup diri dari kritik, apalagi dengan dalih menjaga kewibawaan atau solidaritas, justru menjadi awal runtuhnya kepercayaan.
Kritik dari teman adalah pelukan yang tak berbunga-bunga, karena jujur dan ingin melihat sang pemimpin tetap lurus di jalan.
Pakar hukum tata negara UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar pernah berkata , “Demokrasi tanpa kritik adalah demokrasi kosmetik.”
Kritik, katanya, bukan racun bagi pemimpin, melainkan vitamin untuk memperkuat kinerja dan arah kebijakan.
Namun, banyak pemimpin hari ini yang justru alergi terhadap kritik, apalagi yang datang dari dalam lingkarannya sendiri. Mereka lebih nyaman dikelilingi para pemuja, bukan penasehat.
Sedangkan menurut Prof. Djohermansyah Djohan, guru besar IPDN, pemimpin yang baik harus punya early warning system, yakni orang-orang di sekitarnya yang berani menyampaikan hal pahit, bukan hanya menyajikan puja-puji.
“Kritik dari teman adalah pagar sebelum jurang. Kalau itu pun ditolak, maka jurang hanya tinggal sejengkal,” ujarnya dalam sebuah forum kepemimpinan daerah.
Ketidaksiapan menerima kritik sering melahirkan sikap paranoid dan pembungkaman. Yang dikritik dianggap pembangkang.
Yang mengingatkan dianggap tidak setia. Akibatnya, pemimpin lebih sibuk menjaga citra daripada memperbaiki kebijakan.
Akhirnya, relawan dikomodifikasi, teman dianggap ancaman, dan publik hanya menjadi penonton dari drama internal kekuasaan yang makin absurd.
Sudah banyak contoh pemimpin tumbang karena terlalu banyak “yes man” atau asal bapak senang (ABS) di sekitarnya.
Mereka dikelilingi oleh para penjilat, bukan penunjuk arah. Mereka lebih suka didekap pujian daripada disentil kesalahan.
Dr. Ermaya Suradinata, mantan Gubernur Lemhannas RI dan pakar administrasi publik, berpendapat bahwa salah satu syarat utama kepemimpinan yang berhasil adalah emotional intelligence,kecerdasan dalam mengelola emosi dan merespons tekanan.
Kritik, kata Ermaya, adalah ujian terpenting dari kedewasaan seorang pemimpin. “Kalau pemimpin tidak tahan terhadap kritik, bagaimana ia bisa tahan memimpin dalam badai?” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan jurnal Kepemimpinan Nasional.
Kecerdasan emosional ini mencakup kemampuan menerima kritik tanpa merasa diserang secara personal, dan bahkan menggunakan kritik itu untuk melakukan refleksi diri.
Ermaya menyebutkan bahwa dalam struktur kepemimpinan publik, kritik adalah alat koreksi yang justru memperpanjang umur kepemimpinan yang sehat.
Sementara Prof. Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara dan dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, berulang kali menegaskan bahwa pemimpin publik harus memahami bahwa kritik bukanlah tanda permusuhan, tapi bagian dari prinsip good governance.
Dalam tata kelola pemerintahan yang baik, transparansi dan akuntabilitas hanya bisa dijaga jika pemimpin membuka ruang kritik yang sehat dan bebas intimidasi.
Menurut Bivitri, “Banyak pemimpin daerah jatuh bukan karena kebijakan yang salah, tapi karena menutup diri dari masukan dan kritik.
Mereka menjebak diri dalam ruang gema (echo chamber), hanya mendengar pujian, dan kehilangan nalar koreksi.”
Jangan Takut Teman Sendiri
Ironisnya, kritik yang datang dari teman sendiri sering kali paling ditolak. Mungkin karena dianggap sebagai pengkhianatan atau dianggap merusak citra di hadapan publik.
Padahal, menurut Dr. Burhanuddin Muhtadi, peneliti politik LSI dan dosen UIN Syarif Hidayatullah, “Teman yang mengkritik lebih layak dipercaya daripada tim sorak yang menenggelamkan fakta demi loyalitas semu.”
Burhan menyebutkan bahwa dalam politik lokal, sering kali pemimpin dikepung oleh orang-orang yang punya vested interest, yakni kepentingan pribadi dalam proyek, jabatan, atau akses kekuasaan.
Dalam lingkungan semacam itu, kritik dari teman sejati adalah satu-satunya suara jujur yang tersisa. Jika itu pun ditolak, maka pemimpin hanya akan berjalan dalam lorong gelap penuh jebakan.
Wahai Pemimpin, jangan tutup dirimu. Kritik bukan penghinaan. Ia adalah bagian dari cinta yang tak ingin melihat engkau tergelincir. Terimalah itu sebagai cara semesta menyeimbangkan langkahmu.
Teman yang baik bukan yang selalu membenarkan, tapi yang berani menegur walau tahu hubungan bisa retak.
Dan pemimpin yang besar adalah yang mampu menahan egonya, membuka ruang dialog, dan membalas kritik bukan dengan marah, tapi dengan perubahan.
Sebab dalam demokrasi, pemimpin bukan raja. Ia adalah pelayan rakyat, yang harus terus belajar, mendengar, dan membenahi.
Sudah waktunya pemimpin, di level manapun,dari kepala daerah, kepala dinas, hingga Presiden sekalipun harus berani membuka diri terhadap kritik, termasuk dari kalangan terdekat.
Teman yang mengkritik bukan sedang melawan, tapi sedang menyelamatkan.
Dalam sejarah kepemimpinan, nama-nama besar justru dikenang bukan karena tidak pernah dikritik, tapi karena mampu bangkit dan membenahi diri dari kritik yang tajam.
Mereka membuka ruang, berdiskusi, dan memperbaiki arah,itulah pemimpin sejati.
Jangan tutup dirimu. Karena dinding yang terlalu tebal tak hanya menahan kritik, tapi juga menghalangi cahaya perbaikan.
Jangan tutup dirimu, karena pintu yang terkunci hanya mengundang ketukan yang lebih keras.
Wallahualam Bissawab
Tabik Pun
Komentar