Abung Mamasa
Pemimpin Redaksi Kandidat
Dalam euforia politik lokal, sering kali kita dengar kalimat sakral nan penuh tuntutan “Kami yang berjasa memenanghkan Dia.”
Ini bukan sekadar nostalgia perjuangan, tapi kode keras untuk menagih “budi” yang katanya telah ditanam.
Maka setelah seorang kepala daerah dilantik, suasana yang mestinya diisi kerja, justru dipenuhi oleh rebutan jatah. Benarkah budi itu berjasa, atau justru jadi beban demokrasi?
Di balik layar kemenangan seorang kepala daerah, berdiri barisan panjang tim sukses, relawan, kerabat dekat, hingga pengurus partai.
Semua merasa paling berdarah, paling berkeringat, paling layak menerima pamrih.
Lalu dimulailah ritual klasik pasca pilkada, lobi jabatan, saling todong proyek, rebutan kursi BUMD, rebutan menjadi tenaga pendamping hingga bisik-bisik menyudutkan kawan sendiri demi satu posisi.
Aji mumpung menggila, dan politik balas budi menjadi mata uang paling laris di rumah dinas.
Mengutip pendapat Prof. Denny Siregar, pakar politik Universitas Paramadina, “Kepala daerah terpilih seringkali terjebak pada dilema moral.
Di satu sisi ingin bersih, tapi di sisi lain merasa terikat utang budi pada mereka yang membantunya menang. Celakanya, sistem tidak membentengi dia dari tekanan internal.”
Lebih runyam lagi, tim relawan dan mesin partai yang semula satu suara mendukung, justru pecah kongsi di awal masa jabatan. Semua ingin duduk di lingkaran dalam, semua ingin memegang proyek strategis.
Ketika yang diributkan bukan visi-misi, melainkan siapa dapat posisi dan berapa persen fee proyek, maka demokrasi lokal tak ubahnya kompetisi antar makelar.
Sementara Dr. Maria Sri Wulan, ahli tata negara dari UI, menjelaskan bahwa fenomena ini adalah bentuk “transaksionalisme pasca kontestasi” yang merusak desain sistem pemerintahan.
“Tidak ada dalam konstitusi yang mewajibkan kepala daerah membayar ‘utang budi’ pada tim sukses. Tapi dalam praktik politik lokal, tekanan informal itu justru lebih kuat daripada aturan formal. Ini yang melemahkan independensi kepala daerah,” ungkapnya.
Sedangkan dari perspektif hukum administrasi, Dr. Zainal Arifin Mochtar menilai bahwa politik balas jasa ini berpotensi menabrak prinsip-prinsip pengangkatan ASN dan manajemen proyek publik.
“Kalau jabatan diberikan karena balas budi, bukan kompetensi, maka itu bukan hanya maladministrasi, tapi pembusukan birokrasi secara sistemik. Ini titik awal dari korupsi yang tersamarkan,” ujarnya.
Dampaknya pun tak cuma politis atau hukum, tapi menjalar ke aspek ekonomi dan budaya kerja.
Dr. Diah Kurniawati, ekonom kebijakan publik, menyebut bahwa pembagian proyek kepada tim relawan akan memicu inefisiensi dan potensi markup besar-besaran.
“Ketika proyek dijadikan alat bayar janji politik, maka yang diutamakan bukan kualitas pembangunan, tapi siapa yang pegang vendor. Itu menciptakan budaya kerja yang permisif terhadap pemborosan,” tegasnya.
Dari sisi budaya politik, Dr. Arswendo Nugroho, budayawan dan pengamat sosial, memberi pandangan lebih tajam.
“Budi yang seharusnya lahir dari keikhlasan berubah menjadi senjata politik. Ketika semua orang merasa paling berjasa, maka demokrasi kita bukan tentang pilihan rakyat, tapi tentang siapa punya akses paling dekat ke kekuasaan.”
Akhirnya, kepala daerah pun berjalan di atas tali tipis. Ia ingin menjalankan pemerintahan dengan baik, tapi tangannya terus ditarik-tarik oleh mereka yang datang membawa memo dan ingatan tentang spanduk kampanye.
Ia ingin merangkul semua, tapi terpaksa harus menyikut beberapa, demi menenangkan yang lebih vokal. Lalu rakyat? Lagi-lagi hanya penonton.
Fenomena transaksional pasca kontestasi ini banya terjadi di hampir seluruh daerah, semua orang yang ada di lingkaran kepala derah terpilih merasa paling berkeringat. Belum lagi si ‘Budi dari Oligarki’ yang tentunya juga akan menagih hutang kampanye.
Benarkah budi itu berjasa?
Atau justru budi telah berubah jadi jerat, yang membuat kepala daerah tak bebas memimpin, dan membuat rakyat tak pernah benar-benar merdeka dari politik bayar-membayar?
Sudah saatnya kita mengembalikan makna “budi” ke tempat yang mulia, bukan alat menagih jatah, tapi semangat rela berjuang demi perubahan, tanpa pamrih jabatan dan proyek.
Karena jika semua orang merasa berjasa dan semua ingin dibayar, maka daerah hanya akan jadi panggung rebutan kekuasaan. Dan pesta rakyat tidak akan terjadi yang ada hanya pesta relawan dan pesta Budi-budi lainya.
Wallahu A’lam Bishawab
Tabikpun.
Komentar