oleh

Menakar Peluang Aprozi Alam

-Opini-53 views

Oleh : Abung Mamasa

Pemimpin Redaksi Harian Kandidat

Di tubuh Partai Golkar, ada satu hal yang tak lekang oleh waktu yakni wajah bisa berganti, tapi watak kekuasaan sering kali tetap.

Menjelang Musda DPD Partai Golkar Lampung ( beberapa kali mengalami penundaan), satu nama mencuat kuat yaitu Aprozi Alam figur muda dan mapan serta dikenal punya integritas yang membawa semangat regenerasi.

Namun, di belakang layar, bukan semata pertarungan gagasan yang berlangsung, melainkan tarik tambang antara restu, patronase, dan warisan kekuasaan gaya lama.

Aprozi Alam, Ketua AMPG Lampung sekaligus anggota DPR RI dari Dapil II, punya segalanya,basis suara, jaringan daerah (lebih dari 2/3 DPD II menyatakan dukungan), citra muda, dan legitimasi elektoral.

Dalam logika demokrasi internal, mestinya jalannya mulus. Tapi ini Golkar. Di sini, logika sering dikalahkan oleh “sinyal”. Dan sinyal itu tak selalu memancar dari bawah, tapi dari atas yakni tepatnya DPP dan para “tokoh tua” yang masih doyan main bayang-bayang.

Nama-nama seperti Abi Hasan Muan,  Ismet Roni, Rycko Menoza, hingga Hanan Rozak bahkan Alzier Dianis Thabranie, mereka semuanya tokoh mapan, veteran Golkar, dan punya sejarah panjang dalam pusaran politik patron.

Sebagian masih mengincar panggung. Sebagian lain mungkin sekadar tak rela panggung itu diwariskan ke generasi berikutnya. Dalam bahasa kasarnya yang muda disuruh angkat meja, yang tua tetap duduk.

Jika Aprozi gagal mendapatkan kursi ketua DPD I, publik akan bertanya apakah Golkar benar-benar ingin berubah? Atau sekadar ganti baju namun tetap membawa tubuh usang?

Padahal, secara fakta politik, Aprozi adalah investasi jangka panjang. Ia punya usia politik yang panjang, memahami medan elektoral, dan yang penting masih haus tantangan.

Baca Juga:  Menakar Moralitas Calon Sekdaprov Lampung. Siapa Terpilih?

Tapi Golkar seperti biasa terjebak pada “politik antisipasi”, terlalu hati-hati, terlalu menjaga perasaan para patron, terlalu takut dengan suara-suara yang sudah lama sepi pemilih.

Dalam logika politik publik, regenerasi bukan sekadar kebutuhan itu adalah satu-satunya cara bertahan.

Tapi jika Golkar memilih status quo, itu bukan hanya menutup pintu regenerasi, tapi juga mengunci pintu masa depan partai sendiri.

Ketua DPD I Golkar bukan jabatan kosong makna. Ia punya peran strategis yaitu menentukan arah rekomendasi pilkada, pembentukan tim pemenangan, hingga pengendalian distribusi kekuasaan lokal.

Maka tak heran, banyak yang tak ingin kursi itu diduduki oleh kader muda yang dalam asumsi para senior belum cukup ‘jinak’.

Dan di sinilah letak persoalan utama yakni regenerasi bukan cuma soal usia, tapi keberanian mengubah kultur politik.

Paksu Ozi, sapaan akrab Aprozi, dalam konteks ini, bukan hanya ancaman elektoral bagi kompetitornya, tapi juga gangguan bagi kenyamanan politik lama.
Dilema DPP: Mengusung Masa Depan atau Menjaga Relasi Lama?

Jika DPP Partai Golkar konsisten dengan spirit pembaruan yang digembar-gemborkan yang ingin partai ini “kembali relevan bagi anak muda dan kaum urban” maka Aprozi adalah pilihan logis.

Tapi jika yang dikedepankan adalah kompromi elitis, maka partai ini akan kembali jadi museum politik, tempat tokoh-tokoh tua menyimpan mimpi lama dan tiket terakhirnya.

Golkar tidak kekurangan kader muda. Tapi seringkali kekurangan keberanian untuk memberi mereka ruang.

Aprozi adalah cermin apakah partai ini masih relevan dengan zaman, atau hanya cocok untuk dipamerkan dalam seminar tentang kejayaan masa lalu.

Musda Golkar Lampung akan jadi medan uji. Bukan hanya bagi Aprozi Alam, tapi bagi Golkar sendiri.

Baca Juga:  Pelukan Paling Jujur

Jika regenerasi gagal terjadi kali ini, maka kita hanya akan menyaksikan satu hal yaitu wajah muda boleh berdiri di barisan depan, tapi keputusan tetap ditentukan di ruang belakang oleh mereka yang enggan pensiun, tapi sudah lama kehilangan semangat.

Dan rakyat, tentu, sudah semakin paham mana pemimpin yang punya semangat maju, dan mana yang sekadar menumpang pamor.

Golkar bisa memilih untuk menjadi partai masa depan. Atau, dengan satu keputusan, kembali mengabdi pada masa lalunya sendiri.

“Yang muda bukan hanya untuk dibina. Tapi juga diberi kuasa. Sebab kalau terus-menerus dikebiri, partai hanya akan melahirkan pengikut, bukan pemimpin.”

Wallahualam Bissawab, Tabikpun

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed