oleh

Bisikan Sesat Orang Dekat

-Opini-185 views

Oleh : Abung Mamasa

Pemimpin Redaksi Harian Kandidat

Dalam politik birokrasi, keputusan yang lahir dari ruang tertutup sering kali bukan soal meritokrasi, melainkan bisikan. Ya, bisikan orang dekat. Kepala daerah yang dikelilingi oleh lingkar dalam sering kali lebih percaya pada loyalitas ketimbang kompetensi.

Akibatnya, penempatan jabatan strategis, seperti kepala dinas, kepala biro, atau kepala bagian, terjebak dalam pola transaksional dan pragmatisme kekuasaan.

Fenomena ini bukan sekadar isu prosedural. Ini menyentuh akar dari kerusakan birokrasi, ketika jabatan menjadi alat balas jasa atau bentuk kompromi politik. Loyalitas pribadi menggantikan profesionalisme.

Akibatnya, sistem meritokrasi yang dibangun melalui Undang-Undang ASN kerap tumbang oleh kekuasaan informal yang tak terlihat dalam struktur, tetapi sangat menentukan arah kebijakan.

Salah satu celah yang kerap digunakan adalah penunjukan Penjabat (Pj), Pelaksana Tugas (Plt) atau Pelaksana Harian (Plh) untuk posisi strategis. Di sini letak persoalannya, regulasi telah mengatur secara ketat tentang siapa yang berwenang, bagaimana mekanismenya, dan dalam kondisi apa penunjukan itu sah dilakukan.

Tapi, ketika bisikan orang dekat lebih nyaring dari suara regulasi, pelanggaran pun menjadi biasa. Plt atau Plh dijadikan “pion politik” yang tunduk bukan pada sistem, tapi pada kepentingan patron.

Payung Hukum yang Diabaikan

Regulasi kepegawaian di Indonesia telah cukup jelas mengatur soal pengangkatan pejabat, termasuk penunjukan Plt dan Plh. Aturan ini hadir bukan sekadar sebagai tata kelola administratif, tetapi sebagai pagar etika dan hukum untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
Pasal 73 menekankan bahwa pengangkatan pejabat harus memperhatikan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, serta dilakukan secara objektif, bebas dari intervensi politik, nepotisme, dan praktik korupsi. UU ini lahir dari semangat reformasi birokrasi yang ingin menempatkan profesionalisme sebagai fondasi birokrasi modern.

Baca Juga:  Pak Gubernur, Lampung Berjalan Mundur

Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah dan Plt/Plh
Perpres ini menegaskan bahwa Plt hanya boleh diangkat dari pejabat definitif eselon II di lingkungan instansi tersebut, dan masa jabatannya dibatasi maksimal 3 bulan serta tidak memiliki kewenangan penuh. Ini untuk mencegah penunjukan serampangan dari pihak luar atau orang yang tidak memenuhi jenjang kepangkatan.

Permendagri Nomor 91 Tahun 2019 tentang Penunjukan Plt/Plh di Lingkungan Pemda
Permendagri ini memperjelas batasan Plt dan Plh, termasuk bahwa mereka tidak boleh membuat keputusan strategis atau mengambil kebijakan anggaran. Artinya, jabatan ini memang bersifat darurat dan transisional, bukan permanen atau politis.

Namun dalam praktiknya, beberapa kepala daerah justru menunjuk pejabat Plt dari luar instansi, atau bahkan dari kalangan yang belum memiliki pangkat atau jenjang sesuai ketentuan.

Semua itu terjadi karena adanya tekanan atau bisikan dari orang sekitar yang memiliki kepentingan politik atau ekonomi. Fenomena ini jelas mencederai prinsip meritokrasi dan memperlemah sistem birokrasi profesional.

Bahkan dalam beberapa kasus, Plt justru memegang kekuasaan lebih luas daripada pejabat definitif, karena merasa mendapat “restu penuh” dari kepala daerah.

Pendapat Para Ahli 

Prof. Dr. Eko Prasojo, Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi UI, pernah menyatakan bahwa “penempatan pejabat atas dasar loyalitas politik semata sangat berisiko, karena birokrasi akan kehilangan independensinya sebagai pelaksana kebijakan publik yang netral.”

Ia menekankan pentingnya governance berbasis kompetensi. Tanpa itu, birokrasi hanya akan menjadi perpanjangan tangan elite politik.

Dr. Agus Pramusinto, Ketua Komisi ASN, dalam berbagai kesempatan juga mengingatkan bahwa penggunaan Plt tidak bisa dijadikan jalan pintas untuk mengisi jabatan kosong karena proses seleksi lambat.

Menurutnya, hal itu bisa menjadi celah bagi politisasi birokrasi. Ia juga menyoroti banyaknya kasus Plt yang menjabat bertahun-tahun tanpa kejelasan status, sesuatu yang jelas melanggar regulasi.

Baca Juga:  Selamatkan BUMD Lampung dari Kubangan Rugi

Sementara itu, Dr. Djohermansyah Djohan, pakar otonomi daerah, menyebut praktik penempatan Plt secara sembrono sebagai “gejala autokrasi lokal yang berbahaya.”

Ia menilai kepala daerah yang terjebak pada loyalitas lingkungan dekat cenderung mengabaikan sistem dan prosedur formal. Dalam jangka panjang, ini dapat menghancurkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan.

Peran Baperjakat

Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) seharusnya menjadi filter rasionalitas dan penegak regulasi. Tapi di banyak daerah, fungsi Baperjakat justru terkooptasi.

Pertimbangannya sering hanya formalitas, karena keputusan sudah ditentukan oleh “tim kecil” yang bekerja di luar sistem formal.

Celakanya, tim kecil ini biasanya diisi oleh orang-orang kepercayaan kepala daerah yang tidak memiliki pemahaman mendalam soal tata kelola kepegawaian.

Bahkan lebih buruk lagi, mereka hanya menjadi makelar jabatan yang mengorbitkan siapa yang bisa menyetor dan siapa yang bisa ditarik menjadi loyalis.

Fungsi Baperjakat semestinya mengacu pada peta kompetensi ASN dan rekam jejak profesional, bukan atas dasar kedekatan emosional atau afiliasi politik. Ketika fungsi ini lumpuh, maka seluruh sistem pengangkatan jabatan bisa menjadi karikatur: lucu tapi tragis.

Waspada pada Bisikan

Dalam sistem yang sehat, kebijakan penempatan pejabat bukan hasil dari pertemuan malam di ruang privat, melainkan hasil evaluasi objektif atas prestasi, kompetensi, dan integritas. Kepala daerah mesti menyadari, loyalitas orang dekat kadang justru jebakan yang menyeret pada pelanggaran etik dan hukum.

Birokrasi bukan warisan keluarga atau hadiah kampanye. Ia adalah institusi publik yang mestinya dikelola dengan akal sehat, bukan bisikan sesat.

Peringatan ini penting,satu jabatan strategis yang salah urus bisa memicu rangkaian kebijakan yang melenceng, merugikan pelayanan publik, bahkan membuka celah korupsi.

Sudah saatnya kepala daerah kembali tunduk pada regulasi, bukan pada suara-suara samar dari balik kursi kekuasaan.

Baca Juga:  Pilkada 2024 Berbuah Golput dan Gercos

Wallahualam Bissawab, Tabikpun

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed