Oleh: Abung Mamasa
Pemimpin Redaksi Harian Kandidat
Dalam sejarah panjang kekuasaan, ada satu elemen yang tak pernah absen. Ya, orang sekitar. Mereka hadir sebagai lingkar terdekat kepala daerah, mengaku sahabat seperjuangan, saudara ideologis, bahkan kadang mengklaim sebagai keluarga spiritual.
Namun, di balik pelukan hangat dan bisikan yang terdengar setia, tak jarang justru merekalah biang kerok kekacauan kebijakan publik.
Di awal masa jabatan, kepala daerah umumnya datang dengan niat baik. Visi-misi tertera manis di baliho, janji perubahan dilafalkan khusyuk dari podium ke podium.
Tapi begitu terpilih, mereka bukan hanya harus menghadapi birokrasi, oposisi, dan realitas fiskal, tetapi juga medan kekuasaan yang berwarna abu-abu. Abu-abu itu bernama “Orang Sekitar”.
Mereka bukan pejabat resmi, bukan juga bagian dari struktur legal pemerintah, tapi sering kali lebih berkuasa dari kepala dinas. Mereka menyusup dalam celah-celah keputusan penting, menjadi penasihat tak resmi, pembisik tak bertanggung jawab, dan,yang paling berbahaya,menjelma sebagai broker kekuasaan.
Fenomena ini bukan fiksi. Ia nyata dan berulang dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya, dari satu kota ke kota lain. Sejumlah kepala daerah dituding gagal menunaikan janji politiknya karena terlalu percaya pada sekelompok kecil orang dekat yang tidak punya kapasitas, namun punya kuasa informal yang besar.
Kebijakan-kebijakan populis dan proyek ambisius kerap lahir bukan dari proses perencanaan teknokratis, melainkan dari lobi meja makan, obrolan kafe, hingga bisikan saat perjalanan dinas luar daerah.
Di situlah “orang sekitar” memainkan peran utama, mereka meminjam nama kekuasaan untuk menjual pengaruh dan menjajakan jabatan.
Jabatan dirut BUMD, kepala dinas, bahkan posisi seperti tenaga pendamping atau koordinator lapangan proyek, semua bisa diperjualbelikan. Ada harga untuk kedekatan, ada tarif untuk loyalitas. Yang ironis, semua ini dilakukan atas nama pengabdian.
Patronase dan Rente Kekuasaan
Prof. Tri Hastuti dari UGM menyebut fenomena ini sebagai jebakan relasi patron-klien dalam politik lokal. “Setelah pemilu, banyak kepala daerah merasa berutang kepada tim sukses atau relawan garis keras.
Akibatnya, jabatan publik jadi alat balas budi. Ini berbahaya karena mengabaikan meritokrasi dan membuka ruang rente kekuasaan,” ujarnya.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Dr. Yoes C. Kenawas, peneliti politik dari Northwestern University, yang menulis dalam disertasinya tentang politik dinasti dan kekuasaan lokal di Indonesia,
“Kekuasaan kepala daerah pasca pilkada sering kali dikendalikan oleh invisible circle, lingkar dalam yang berisi keluarga, kerabat, dan loyalis. Mereka adalah informal power yang bekerja di luar sistem, tapi menentukan arah sistem.”
Dalam bukunya The Ruling Class, sosiolog Italia Gaetano Mosca juga menggambarkan bahwa setiap pemerintahan pada akhirnya akan dikuasai oleh minoritas elite kecil yang tak selalu tampil di depan, tetapi menentukan segalanya dari belakang layar.
Kritik Dianggap Pengkhianatan
Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika ada “orang sekitar” yang justru menyampaikan kritik, mengingatkan kepala daerah agar tidak menyimpang, namun malah dicap pengkhianat.
Suara waras dianggap sumbang, koreksi dianggap sabotase. Maka tak heran, kepala daerah akhirnya hanya dikelilingi oleh mereka yang pandai memuji dan mahir menjilat.
Inilah awal dari kebijakan amburadul, program tambal sulam, hingga pengelolaan anggaran yang bocor ke mana-mana.
Loyalitas pribadi pun mengalahkan kepentingan publik.
Kepala daerah harus berani memutus mata rantai pembisik. Kedekatan personal tidak boleh lebih utama dari kompetensi dan integritas. Sistem pengambilan keputusan mesti dibuka, libatkan akademisi, tokoh masyarakat, dan auditor independen. Kebijakan harus diuji rasionalitas dan akuntabilitasnya, bukan hanya disetujui karena disepakati dalam rapat tertutup lingkaran kecil.
Untuk jangka panjang, pendidikan politik rakyat harus diperkuat. Pemilih tidak boleh berhenti hanya di bilik suara. Mereka harus sadar bahwa yang harus diawasi bukan hanya pemimpin yang terpilih, tetapi juga siapa yang ada di sekelilingnya.
Siapa yang Sebenarnya Menguasai Kepala Daerah?
Inilah pertanyaan kunci yang sering kali dihindari. Apakah kepala daerah masih memegang kendali penuh atas kebijakannya? Atau sebenarnya sudah menjadi boneka dari para makelar proyek dan relawan haus kekuasaan?
Dalam The Prince, Niccolò Machiavelli menulis bahwa seorang pemimpin sejati harus mampu memilih penasihatnya dengan bijak, dan tidak boleh membiarkan dirinya dikuasai oleh nasihat yang merusak.
Sayangnya, dalam banyak kasus di negeri ini, orang sekitar justru menjadi kekuatan paling berpengaruh, paling sulit disentuh hukum, tapi paling rajin menyentuh semua anggaran.
Dekat Belum Tentu Baik
Kepala daerah perlu mengingat bahwa yang paling dekat belum tentu yang paling tulus. Kadang, yang tersenyum di samping justru yang menusuk dari belakang.
Maka, jika ingin memimpin dengan benar, bersihkan lingkaran dalam terlebih dahulu.
Karena jika “orang sekitar” dibiarkan liar, maka visi dan janji tinggal sejarah, dan rakyat hanya tinggal gigit jari.
Karena sering kali, kegagalan pemimpin bukan karena ia tak punya niat baik, melainkan karena orang-orang di sekelilingnya menjual pengaruh, memperdagangkan kedekatan, dan merusak kompas moral sang kepala daerah.
Maka, hati-hati pada orang sekitar. Sebab yang paling dekat kadang justru yang paling menusuk.
Wallahualam Bissawab,Tabikpun
Komentar