oleh

Stecu-stecu

-Opini-153 views

“Stecu” adalah singkatan dari “setelan cuek” dalam bahasa gaul anak muda saat ini dan kata-kata Stecu sangat digandrungi sama anak-anak kekinian.

Kata Stecu berasal dari lagu “Stecu Stecu” dari Faris Adam yang memang sedang naik daun. Di TikTok, Instagram, hingga YouTube, anak-anak muda seakan kompak berdansa di bawah irama “setelan cuek” yang khas dengan nuansa Timur Indonesia.

Tapi mari kita bawa istilah ini keluar dari dunia musik dan masuk ke ruang-ruang kekuasaan,tempat di mana banyak pemimpin lupa bahwa “stelan cuek” kadang justru bisa menjadi bentuk tertinggi dari kebijaksanaan.

Pemimpin daerah hari ini tidak hanya diuji soal integritas, tapi juga soal kemampuan menahan diri dari godaan bisikan orang terdekat. Relawan pemenangan yang dulu berjuang di lapangan kini mulai mengetuk pintu minta posisi, minta proyek, minta jatah jabatan.

Kerabat datang membawa nama keluarga “Ini keponakan, bantu dong.”
Teman lama membawa nostalgia “Ingat dulu kita sama-sama jalan kaki tempel stiker?”
Para pembisik membawa data fiktif “Tenaga ahli ini ahli sekali. walau belum pernah kerja di bidangnya.”

Kalau pemimpin tidak “stecu”, maka selanjutnya adalah jebakan. Jabatan Kepala Dinas jadi barang tawar-menawar. Direktur BUMD jadi hadiah ulang tahun bagi relawan.

Tenaga ahli berubah jadi tenaga hayalan bahkan posisi pelaksana tugas sekaliun jadi dagangan, dan ketika badai hukum datang, hanya satu yang berdiri sendiri, pemimpin itu sendiri.

Menjadi “stecu” bukan berarti anti sosial atau tak tahu balas budi. Tapi justru paham bahwa kekuasaan punya batas dan tanggung jawab.

Menjadi stecu itu menutup telinga dari bisikan yang menyesatkan, dan menutup mata dari rayuan yang menyilaukan.

Mohammad Hatta pernah berkata, “Pemimpin sejati ialah dia yang sanggup berkata tidak kepada keluarganya sendiri demi bangsa dan negara.”

Baca Juga:  Pilgub Lampung; Siapa Bisa Kalahkan Mirza?

Bung Hatta tahu betul, bahwa yang merusak integritas seorang pemimpin bukanlah rakyatnya, melainkan lingkaran dalam yang merasa berhak atas hasil perjuangan.

Gus Dur pun pernah menyindir fenomena ini dengan cerdas “Yang lebih bahaya dari korupsi adalah nepotisme, karena korupsi bisa dihukum, tapi nepotisme dibungkus dengan kata keluarga.

Dan mari kita ingat apa yang dikatakan Ki Hajar Dewantara “Ing ngarsa sung tuladha” , di depan harus memberi teladan.

Tapi bagaimana bisa memberi teladan jika kerabatnya lebih galak daripada kepala BKD? Jika relawannya lebih sibuk membagi-bagi jatah daripada mengabdi?

Stecu diperlukan agar tidak ada pelanggaran dalam penempatan jabatan, tidak ada proyek siluman, tidak ada permainan dalam anggaran, dan tidak ada “makelar kekuasaan” berkeliaran pakai jaket tim sukses.

Sikap cuek ini bukan untuk menjauhkan diri dari rakyat, tapi untuk menjauhkan diri dari jebakan kroni.

Karena kekuasaan yang disusupi oleh loyalitas buta akan melahirkan keputusan-keputusan yang cacat sejak dalam niat.

Sebab, seperti pesan KH. Ahmad Dahlan “Jabatan itu amanah, bukan warisan, bukan pula alat balas jasa.”

Amanah tidak boleh diselewengkan demi kenyamanan orang sekitar, apalagi hanya demi menjaga perasaan relawan yang tak pernah tahu batas antara perjuangan dan keserakahan.

Dan jangan lupa semua akan dihisab. Maka sebelum rakyat mengeluh dan hukum menindak, belajarlah menjadi pemimpin yang Stecu,diam saat harus menolak, cuek saat digoda, dan kuat saat ditekan.

Rakyat berharap banyak dengan pemimpin yang stecu dengan bisikan sesat.

Wallahuallam Bissawab,Tabikpun

Abung Mamasa

Pemimpin Redaksi Kandidat

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed