oleh

Jebakan Batman

-Opini-714 views

Dalam dunia politik lokal, terutama di level kepala daerah, ada satu jebakan klasik yang kerap terjadi namun seringkali tidak disadari yakni jebakan batman.

Sebuah metafora populer untuk menggambarkan kondisi ketika seseorang terjebak oleh situasi yang tampaknya menguntungkan tapi justru menyesatkan.

Dalam konteks pemerintahan, jebakan ini sering kali datang dalam bentuk bisikan-bisikan manis dari tim pemenangan, relawan, orang dekat, bahkan kerabat yang berdiri sangat dekat dengan sang kepala daerah.

Bisikan Sesat
Ketika kepala daerah baru dilantik, lingkaran terdekat yang merasa telah berjasa dalam perjuangan memenangkan pilkada, mulai menagih balas budi.

Mereka membisiki siapa yang layak menjadi kepala dinas, kepala biro, kepala bagian atau posisi strategis di pemerintahan.

Bahkan siapa yang patut dijadikan komisaris BUMD, serta siapa yang harus diberi proyek.

Sekilas, semua itu dibungkus dalam narasi loyalitas, kekompakan tim, dan kepercayaan.

Namun faktanya, tidak sedikit kepala daerah yang justru tersandung hukum karena terlalu percaya pada bisikan tersebut.

Profesor Dr. Bivitri Susanti, akademisi hukum tata negara, pernah mengingatkan bahwa kepala daerah harus punya keberanian untuk menjaga jarak dari tekanan politik tim sukses.

“Loyalitas politik bukan berarti mengorbankan hukum dan akuntabilitas,” tegasnya. Banyak kepala daerah yang akhirnya dijerat KPK karena menyerahkan kuasa penuh pada orang dekat dalam urusan proyek, jabatan, dan anggaran.

Relawan Bukan Regulator
Relawan dan tim pemenangan adalah mesin politik, bukan lembaga negara. Mereka bukan bagian dari struktur pemerintahan yang sah dalam pengambilan keputusan tata kelola pemerintahan.

Ketika suara mereka terlalu dominan, maka batas antara ruang politik dan birokrasi menjadi kabur.

Di sinilah jebakan batman itu menganga lebar. Kepala daerah bisa saja merasa sedang menjalankan amanah kolektif, padahal sedang menyimpang dari regulasi yang mengikat peran dan wewenangnya.

Baca Juga:  Selamatkan BUMD Lampung dari Kubangan Rugi

KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah menyinggung dalam ceramahnya, “Yang dekat-dekat itu justru sering menyesatkan.

Kalau seorang pemimpin hanya mendengar orang-orang yang menyenangkan telinganya, maka ia sedang menyiapkan kehancurannya sendiri.”

Ini adalah peringatan moral agar kepala daerah tidak menjadi budak dari bisikan-bisikan yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan.

Kepala daerah yang terjebak dalam jaringan bisikan relawan dan orang dekat berpotensi besar melanggar UU ASN, UU Pemerintahan Daerah, hingga UU Tipikor.

Banyak yang akhirnya diciduk karena menerima fee proyek, bermain dalam pengaturan jabatan, atau mengintervensi proses pengadaan demi memenuhi permintaan orang-orang terdekat.

Ini bukan sekadar pelanggaran prosedural, tapi menyangkut kehancuran integritas. Pemerintahan menjadi transaksional.
Masyarakat tidak lagi percaya.

Dan ketika skandal terbongkar, relawan-relawan itu lenyap bak hantu di siang bolong, menyisakan kepala daerah sendirian di kursi terdakwa.

Menjadi kepala daerah bukan hanya soal menang dalam pilkada, tapi soal keberanian menegakkan prinsip setelah terpilih.

Pemimpin harus bisa membedakan mana masukan, mana jebakan. Ia harus melek aturan, melek moral, dan melek pada potensi manipulasi dari lingkar dalamnya sendiri.

Pendiri Muhamadiyah KH. Ahmad Dahlan pernah berkata, “Kita harus menjadi pemimpin yang berpikir jernih dan bersih dari hawa nafsu.”

Maka sudah sepatutnya, kepala daerah menutup telinga dari bisikan menyesatkan, dan membuka mata pada konstitusi serta amanat rakyat.

Jangan sampai hanya karena terlalu percaya pada tim dan relawan, seorang pemimpin justru menjadi korban dari jebakan batman yang dirancang oleh orang-orang yang mengaku paling berjasa.
Wallahualam Bissawab, Tabikpun.

Oleh : Abung Mamasa

Pemimpin Redaksi Harian Kandidat

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed