oleh

Pendekar Syair Bernanah

-Din Bacut-471 views

Siang itu, pelataran parkir kantor Gubernur Karang Tembung berubah jadi semacam taman hiburan yang setengah resmi.

Pohon Mahoni tua di pinggirannya tampak malas menggoyang daun, sementara sepeda motor pegawai berserakan seperti kertas ujian yang tidak dikumpulkan.

Di pojokan, Kedai Kopi Slemon milik Dek Yanti sudah mengepul wangi robusta dan kudapan tahu isi kecambah, membuat siapa pun yang duduk di kursi bekas barang bukti korupsi itu betah berlama-lama.

Kedai itu sederhana, hanya berlantai semen kasar dengan cat biru yang mulai mengelupas, tapi meja kayu yang sudah dipoles kopi bertahun-tahun justru menghadirkan kehangatan khas warung rakyat.

Din Bacut menyandarkan punggung pada tiang kedai yang mulai lapuk, rokok kreteknya menyala tapi belum dihisap. Matanya menatap ke arah kantor gubernur.

“Woi, Madi, kamu tahu nggak? saya makin khawatir sama beberapa orang itu,” katanya sambil menunjuk gedung megah itu dengan ujung rokok.

“Midun Kicut, Ipul Kuris, Sarman Siway, Sukar Senuk, sama Mayzari Gerot dan Agoy Tumbing, Pendekar-pendekar syair bernanah itu makin liar bisikannya.”

Madi Bingut, yang sedang menakar gula untuk kopi tubruknya sendiri, mendengus.

“Lho Din, kalau cuma bisik-bisik mungkin nggak masalah. Ini sudah kayak toa masjid, nyaring dan wajib didengar gubernur.

Semua keputusan penting, dari kadis sampai staf golongan entah apa itu, pasti ada sentuhan jari mereka. Bahkan gosip terakhir, daftar tenaga pendamping pun katanya ada di buku catatan mereka.”

Dek Yanti, mantan TKW arab sang pemilik kedai yang terkenal cerewet sekaligus gemoy, ikut nimbrung sambil menata nasi bakar titpan tetangga kampung di nampan seng.

“Pendekar syair bernanah? Apaan lagi itu? Aku cuma tahu pendekar syair berdarah, Arya Dwipangga, sandiwara radio dulu.”

Baca Juga:  Skandal Cinta Kadis Kominfo

“Dwipangki, Dek. Bukan Dwipangga,” potong Din Bacut. “Ah, sama aja, kayak pejabat yang ngakunya ahli tapi bingung bedain anggaran belanja modal sama beli kursi empuk.”

“Kalau mereka pendekar, jurusnya apa? Silat lidah? Atau jurus Takkan Bumi menolak hujan,” tanya Dek Yanti sambil tersenyum miring.

Rustam Silobilobi, jurnalis media online selalukepo.com yang lebih sering menulis daftar hutang di kedai ketimbang isi berita, ikut nimbrung sambil membuka laptopnya.

“Eh Din, kamu jangan salah. Pendekar-pendekar ini bukan cuma jago silat lidah. Mereka pakai jurus Aji Mumpung. Ilmunya gampang tapi mematikan. Jurus itu bisa bikin pejabat yang tadinya sopan, berubah jadi makelar proyek dalam semalam.”

“Kok bisa?” tanya Dek Yanti.

Rustam menaikkan alisnya. “Mereka datang dengan kata-kata manis, bisikan ide yang dikemas kayak program unggulan.

Eh, tahu-tahu yang dapat jabatan bukan orang kompeten, tapi orang dekat.Makanya si Tomas Khanji itu aman-aman aja di kursi Kadis Pemukiman meski ketahuan main kucing-kucingan sama Ayu Semok. Gubernur kita, Suro Kedot, kayak dihipnotis. Padahal orangnya cerdas dan sholeh.”

“Nah itu si Saipul Buduk yang hanya staf kok bisa menjabat Plt Kadis,”tukas Madi Bingut.

“Sholeh pun kalau tiap hari dioles minyak klenik, lama-lama juga licin,” sindir Din Bacut. “saya cuma nggak mau Karang Tembung ini jadi arena sulap. Setiap ada pejabat baru nongol, selalu ada tangan-tangan tak terlihat yang menepuk-nepuk pundaknya.”

“Saya dengar,” lanjut Madi Bingut, “ada rencana rombak besar-besaran. Kepala dinas, dirut BUMD, bahkan pejabat eselon II,II dan IV. Dan kabarnya semua itu sudah dikantongi nama-namanya. Kantong siapa? Ya kantong celana para pendekar itu.”

Sarman Siway, yang kebetulan lewat karena mau rapat malam di kantor gubernur, sempat melirik ke kedai dan tersenyum tipis. Din Bacut yang melihatnya buru-buru mengepalkan tangan.

Baca Juga:  Legislator Pelakor

“Itu dia! Yang selalu pura-pura ramah tapi tangannya sibuk mengatur bidak di papan catur pemerintahan.”

Rustam menutup laptopnya, menyeruput kopi, lalu berkata dengan nada pelan tapi tegas, “Kalau tidak ada yang berani mengingatkan gubernur, jangan kaget nanti ada proyek jembatan angin, gedung sekolah yang roboh sebelum dipakai, atau jalan provinsi yang baru diaspal sudah mengelupas kayak kulit singkong.”

Dek Yanti menepuk tangan, “Kalau gitu ayo kita ramai-ramai kirim surat. Paling nggak, biar gubernur dengar suara dari Kedai Kopi Slemon ini.”

Din Bacut tertawa kecut. “Surat? Yang ada nanti surat kita dipakai bungkus gorengan.”

“Din,” potong Madi Bingut sambil menyulut rokoknya, “masalahnya bukan cuma soal jabatan. Kalau pejabat lahir dari bisikan sesat, kebijakannya juga pasti ngawur. Dana publik bisa bocor, proyek asal jadi, rakyat cuma dapat sisa remah.”

Rustam menambahkan, “Dan jangan lupa, tim relawan yang dulu katanya cuma bantu kampanye, sekarang sibuk bagi-bagi kursi empuk. Mereka ini pendekar tanpa pedang tapi bisa bikin birokrasi bertekuk lutut.”

Suasana kedai mendadak hening sesaat. Hanya suara sendok yang mengaduk kopi, dan bunyi sepatu pegawai P3K yang baru menerima SK namun sudah tergadai di Bank Daerah berderap di trotoar.

Sinar lampu jalan mulai menyala, membentuk bayangan panjang yang menutupi muka gedung gubernur.

Di dalam bayangan itu, seolah-olah berdiri beberapaa pendekar sosok samar yakni Midun Kicut dengan senyum setengah licik, Ipul Kuris membawa map berisi daftar nama, Sarman Siway sibuk mengangkat telepon, Sukar Senuk menggenggam kalkulator proyek, Mayzari Gerot  dan Agoy Tumbing membawa spidol untuk menandai siapa yang harus naik jabatan.

Rustam menatap gedung itu lama-lama, lalu menutup obrolan dengan kalimat lirih tapi menohok,

Baca Juga:  Tarik Menarik SiBeHa

Pendekar syair bernanah tak pernah menghunus pedang. Tapi ucapannya cukup tajam untuk mengiris provinsi dari dalam.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed