Di tengah gempita pidato pelantikan dan janji manis kepala daerah baru, satu prinsip dasar birokrasi modern justru semakin terpinggirkan yaitu meritokrasi.
Idealnya, sistem merit menjadi fondasi dalam setiap proses penempatan pejabat publik, menjamin bahwa hanya mereka yang berkompetensi dan berintegritaslah yang menduduki posisi strategis.
Namun hari ini, di banyak daerah, meritokrasi tak lebih dari jargon kosong. Ia diperkosa oleh syahwat kekuasaan, dibungkam oleh politik balas budi, dan dikubur oleh kepentingan sempit elite kekuasaan lokal.
Setiap selesai pemilihan kepala daerah, drama ini selalu berulang. Para relawan, tim sukses, kolega, dan bahkan kerabat,yang dulu berdiri di barisan belakang saat kampanye,bergegas menagih “jatah” kekuasaan.
Bukan rahasia lagi, jabatan kepala dinas, kepala badan dan jabatan lainnya bahkan posisi penting di BUMD, kerap diberikan bukan karena kompetensi, melainkan karena kedekatan.
Seorang staf biasa bisa melompat menjadi Pelaksana Tugas (Plt) kepala dinas hanya karena dianggap berjasa saat kampanye.
Praktik ini tidak hanya melanggar etika pemerintahan, tetapi juga peraturan formal. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen ASN jelas menyatakan bahwa jabatan pimpinan tinggi (JPT) hanya boleh diisi oleh mereka yang memenuhi kualifikasi, kompetensi, dan rekam jejak yang terbukti.
Bahkan Surat Edaran BKN membatasi wewenang Plt dan menegaskan bahwa setiap penempatan harus berdasarkan jenjang dan prosedur struktural.
Namun sebagaimana sering terjadi dalam politik lokal, regulasi hanya menjadi formalitas.
Di atas kertas semuanya tampak baik, tetapi realitas di lapangan jauh dari ideal. Jabatan publik diperlakukan bak kue kemenangan yang harus dibagi rata untuk loyalis politik.
Ini bukan sekadar pelanggaran administratif,ini adalah pengkhianatan terhadap semangat reformasi birokrasi yang menjadi amanat pascareformasi 1998.
Guru Besar Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Prof. Agus Pramusinto, pernah mengingatkan bahwa “pengangkatan pejabat tanpa prosedur merit akan menggerogoti profesionalisme birokrasi dan pada akhirnya merugikan pelayanan publik.”
Sementara itu, Peneliti LIPI Siti Zuhro menyebut fenomena ini sebagai bentuk “patronase politik yang merusak sistem dan menyuburkan mental feodal dalam birokrasi.”
Ketidakadilan sistemik pun lahir dari praktik ini. Pegawai negeri yang telah meniti karier dengan kinerja dan integritas justru tersingkir karena tidak memiliki akses ke pusat kekuasaan.
Mereka yang berada di lingkar kekuasaanlah yang melesat naik, meskipun tak memiliki kualifikasi yang memadai.
Birokrasi pun berubah menjadi panggung nepotisme gaya baru, siapa dekat, dia dapat.
Lebih jauh lagi, jabatan yang diduduki oleh orang tak kapabel akan menciptakan kebijakan yang lemah, layanan publik yang buruk, serta sistem birokrasi yang mandek.
Ini bukan prediksi,ini sudah terjadi di banyak daerah. Masyarakat pun semakin kehilangan kepercayaan kepada negara karena merasa dikelola oleh “orang dalam”, bukan oleh profesional.
Sudah saatnya Presiden, Menteri Dalam Negeri, KASN, hingga BKN mengambil tindakan tegas.
Kepala daerah yang mempermainkan jabatan semestinya diberi sanksi yang nyata, bukan sekadar teguran administratif.
Proses seleksi pejabat harus transparan, terbuka, dan diawasi ketat. Reformasi birokrasi harus kembali ke relnya: menjadikan meritokrasi sebagai prinsip, bukan formalitas.
Jika praktik perusakan sistem merit ini terus dibiarkan, bukan hanya masa depan birokrasi yang terancam, tetapi juga fondasi kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
Sebab kepercayaan adalah mata uang utama dalam demokrasi. Dan jika meritokrasi terus diperkosa seperti ini, jangan salahkan publik jika suatu saat ia memutuskan menceraikan pemerintah dari kepercayaannya.
Wallahu a’lam bishawab. Tabik mahappun ngalimpuro.










Komentar