Di alam liar, monyet punya satu hukum alam yang sederhana yaitu siapa yang paling cepat memanjat pohon, dia yang dapat pisang.
Pisang itu tak pernah cukup, dan di tengah rebutan, ekor berkibas, gigi mencuat, dan suara teriak bersahutan.
Di dunia politik pasca pilkada, pemandangan ini ternyata bukan hanya milik hutan tropis , ia hidup subur di ruang-ruang lobi hotel, kantor pemerintahan, bahkan di grup WhatsApp relawan.
Bedanya, pisang di sini bukan buah kuning yang manis, melainkan posisi strategis berupa kursi direksi BUMD, jabatan tenaga ahli, calo jabatan, hingga makelar proyek.
Mereka yang merasa paling “berkeringat” saat kampanye menempelkan baliho, mengatur kerumunan, bahkan sampai jadi tameng serangan lawan ,kini menuntut bagian.
“Kami yang bikin menang, kami yang harus diprioritaskan,” begitu kira-kira logika mereka.
Yang ironis, dalam kerumunan “monyet” berebut pisang ini, justru relawan tanpa pamrih yang benar-benar bergerak karena idealisme, bukan imbalan malah tersingkir pelan-pelan.
Mereka difitnah, dibisiki, dan dipinggirkan oleh rekan seperjuangan sendiri, demi memberi ruang bagi mereka yang lebih pandai membisikkan nama ke telinga penguasa.
Bung Hatta pernah berpesan, “Kekuasaan yang tak diiringi moral akan melahirkan kerakusan.
” Pesan itu seperti lukisan lama yang kini tergantung berdebu di dinding, tak lagi dibaca, apalagi dihayati.
Dalam konteks ini, kerakusan itu menjelma dalam rupa daftar usulan nama untuk jabatan, yang lebih mirip lelang tertutup daripada proses seleksi meritokratis.
Dr. Lestari Wulandari, akademisi politik Universitas Indonesia, dalam sebuah diskusi publik mengatakan, “Fenomena ini adalah paradoks demokrasi elektoral, partisipasi politik yang semestinya membangun legitimasi justru menjadi pintu masuk bagi transaksionalisme.”
Sedangkan Prof. Wirawan Prasetyo dari Universitas Gadjah Mada menyebutnya sebagai “rudapaksa meritokrasi” yakni ketika jabatan publik dipaksa tunduk pada balas budi politik, bukan kompetensi.
Lama-lama, politik kita bukan lagi arena gagasan, tapi kandang besar penuh monyet lapar, di mana setiap ekor sibuk mencakar, menggigit, dan menendang, sementara sang “pemilik kebun pisang” hanya menonton sambil menghitung siapa yang paling berguna untuk kelangsungan kekuasaannya.
Yang lebih menyedihkan, perebutan ini sering kali dibungkus dengan bahasa manis yaitu,
“Ini demi kelanjutan perjuangan”, “Ini amanah dari rakyat”, atau “Kita hanya ingin membantu pemimpin bekerja”.
Padahal, di balik layar, daftar “penerima pisang” disusun bukan berdasarkan siapa yang paling layak, tapi siapa yang paling piawai menyusup di belakang panggung kekuasaan.
Di titik ini, publik sebagai pemilik sebenarnya dari “kebun pisang” justru tak kebagian apa-apa.
Mereka hanya menonton dari jauh, menunggu janji kampanye yang entah kapan ditepati.
Relawan sejati yang dulunya menghidupi gerakan dengan darah dan keringat, malah tercebur dalam jurang kecewa, melihat kolega seperjuangan mereka berubah menjadi makelar kursi.
Para pendiri bangsa mengingatkan bahwa demokrasi adalah jalan menuju kemakmuran bersama, bukan alat memperkaya lingkaran sempit.
Namun, demokrasi kita sering tersandung di tahap pasca-pilkada ,saat kemenangan belum benar-benar untuk rakyat, melainkan untuk mengatur siapa duduk di kursi mana, siapa memegang kunci proyek apa, dan siapa memanen pisang paling besar.
Maka, pertanyaan mendesak bagi kepala daerah terpilih adalah,apakah Anda ingin dikenang sebagai pemimpin yang membagi pisang berdasarkan jasa dan kompetensi, atau sekadar sebagai pemilik kebun yang membiarkan monyet-monyetnya saling mencabik demi sepotong kulit manis?
Jika jawabannya yang kedua, maka selamat, sejarah akan mencatat Anda hanya sebagai bagian dari siklus lama yaitu “Monyet berganti, pohon tetap sama, pisang tetap jadi rebutan.”
Dan kepada para relawan yang kini berubah menjadi pemangsa pisang, ingatlah, rakyat yang Anda anggap penonton adalah pemilik sebenarnya dari pohon itu.
Mereka bisa saja diam, tapi bukan berarti mereka lupa. Suatu hari, mereka bisa menebang pohon, mencabut akarnya, dan menanam pohon baru yang tak lagi memberi pisang pada monyet rakus.
Saat hari itu tiba, Anda akan sadar bahwa berebut pisang hari ini bisa berarti kehilangan seluruh hutan esok hari.
Wallahuallam Bissawab, Tabikpun mahhap Ngalimpuro
Komentar